Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Sabtu, 16 Mei 2015

Merah Putih di antara Mutiara Hitam

Merah Putih itu tetap berkibar di batas Papua. Kibarannya seolah tak pernah menanyakan apakah mereka dipedulikan oleh Indonesia—oleh pemerintah dan kita para pekerja dan warga barat dengan ekonomi berkecukupan. Anak-anak muda Papua, mutiara hitam sebutan mereka, bisa saja berpindah selangkah, menyerahkan jati diri mereka sebagai bagian dari Indonesia ke Nugini. Tak berharap apa-apa memang, mungkin hanya ingin benar-benar merdeka, tak hanya sekadar melengkapi lembaran peta.

Masalah Papua adalah masalah integritas Indonesia. Bahwa beberapa mutiara hitam sangat menginginkan merdeka. Mereka ingin hidup aman, tenteram, dan merdesa selayaknya mutiara lain di barat Indonesia. Ketegasan dari pemerintah Indonesia memang dibutuhkan, sepatutnya dalam pemerintahan Joko Widodo, tumpukan mutiara hitam menjadi hal penting dalam rapat kabinet. Bukankah yang diinginkan mutiara-mutiara hitam ini bagaimana dapat melihat adik mereka bersekolah dengan pantas? Bapak dan ibu mereka bekerja dengan uang pantas sehingga dapur di surga kecil ini pun bisa berasap layaknya dapur di barat Indonesia. Namun entah kenapa keraguan-keraguan tak pernah mengganggu kemantapan Merah Putih di tanah Papua.

Merah Putih bahkan menjadi sebuah budaya tradisi Ararem dari suku Biak. Ararem adalah sebuah tradisi lamaran masyarakat di tanah Papua, terdengar biasa memang dan tak menyangkal suku-suku lain pun memiliki tradisi lamaran. Uniknya tradisi Ararem dilakukan para mutiara hitam dengan membawa dan mengibar-ngibarkan bendera merah putih, tak banyak referensi yang dapat menjelaskan mengapa dalam tradisi ini bendera tersebut digunakan. Keunikan tradisi di Papua oleh suku Biak dalam mengantar mas kawin dengan arak-arakan, serta membawa bendera negara tersebut, kemungkinan besar hanya satu-satunya di Indonesia dan tidak dilakukan oleh suku lain di luar Papua. Siapa pernah peduli? Siapa pula yang mau dengan mantap mengibarkan Merah Putih bukan di hari kemerdekaan?
Papua melakukan itu setiap hari. Merah Putih di tengah Papua menggambarkan hati para mutiara hitam. Seolah mengatakan kami tetap bersandar kepada engkau, ibu pertiwi. Entah hal apa yang dapat tepat menggambarkan kesetiaan mereka menemani republik ini. Mutiara hitam hanya memberikan kilau ketulusan, semangat kecintaan terhadap bangsa ini. Sayang kilaunya hanya menjadi bahan jualan kepada para penanam modal asing. 

Perlindungan terhadap hak mutiara hitam beserta keluarga mereka merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Hal yang sudah sepantasnya  menjadi komitmen internasional. Yang harus dijadikan tolok ukur, bagaimana praktik kegiatan pertambangan PT. Freeport selama ini menggusar hak-hak warga setempat. Tidak ada pilihan bagi setiap perusahaan, termasuk Freeport, harus menghormati hak asasi manusia warga setempat jika ingin kegiatan usahanya berkelanjutan. Bila kontrak karya PT Freeport diperpanjang tapi pemerintah tidak mengevaluasi apa yang terjadi selama ini, yang terjadi adalah penambahan masalah yang justru akan menyulitkan pemerintah Indonesia. Terlebih bagi mutiara-mutiara hitam, bagian dari ibu pertiwi ini. Bukankah sudah menjadi impian dan dasar negara ini ketika dibentuk? Melindungi hak setiap warga negara Indonesia.

Freeport atau mungkin pemerintah tak bisa terus mengekang hak-hak dari setiap bilik rumah di Papua. Kebijakan yang diambil sepatutnya tidak lantas menempatkan kepentingan negara dalam tingkat elite, tapi juga melihat bagaimana korporasi bisa bekerja sama dengan masyarakat setempat dan adakah dampak positifnya bagi masyarakat. Selama ini keluarga mutiara hitam hanya ditengok oleh korporasi bila dibutuhkan. Bila ada protes dari dunia internasional, barulah keluarga mutiara hitam diperhatikan. Selama ini apa mereka dipedulikan? Apa pernah kemilau mutiara hitam dihargai—dilap dan dipuji dengan tulus? Tanpa harus menjualnya kepada bangsa lain? Tentu kita, korporasi kampret ini tak mau tetap seperti ini hingga konflik meletus di sebelah timur bumi pertiwi.

Tentu tidak mau ketika mutiara hitam mulai jengah dan merobek merah putih. Tentu tidak mau jika mutiara hitam tak lagi menjadi bagian bumi pertiwi ini. Bumi pertiwi tidak bisa dikotak berdasarkan pulau—berdasarkan mata angin. Indonesia tak akan pernah sama lagi tanpa Papua menjadi bagiannya. Pulau mutiara hitam tak boleh menjadi sekedar pelengkap lagi—tidak boleh hanya menjadi bahan jualan kepada bangsa asing. Pulau mutiara hitam adalah Indonesia. Tak ada alasan lain untuk terus mempertahankan Sumatra-Jawa-Kalimantan-Sulawesi-Papua beserta gugusan pulau lain dalam untaian perhiasan bernama Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.