Masalah Papua adalah masalah integritas
Indonesia. Bahwa beberapa mutiara hitam sangat menginginkan merdeka. Mereka
ingin hidup aman, tenteram, dan merdesa selayaknya mutiara lain di barat
Indonesia. Ketegasan dari pemerintah Indonesia memang dibutuhkan, sepatutnya
dalam pemerintahan Joko Widodo, tumpukan mutiara hitam menjadi hal penting
dalam rapat kabinet. Bukankah yang diinginkan mutiara-mutiara hitam ini
bagaimana dapat melihat adik mereka bersekolah dengan pantas? Bapak dan ibu
mereka bekerja dengan uang pantas sehingga dapur di surga kecil ini pun bisa
berasap layaknya dapur di barat Indonesia. Namun entah kenapa keraguan-keraguan
tak pernah mengganggu kemantapan Merah Putih di tanah Papua.
Merah Putih bahkan menjadi sebuah
budaya tradisi Ararem dari suku Biak. Ararem adalah sebuah tradisi lamaran
masyarakat di tanah Papua, terdengar biasa memang dan tak menyangkal suku-suku
lain pun memiliki tradisi lamaran. Uniknya tradisi Ararem dilakukan para
mutiara hitam dengan membawa dan mengibar-ngibarkan bendera merah putih, tak
banyak referensi yang dapat menjelaskan mengapa dalam tradisi ini bendera
tersebut digunakan. Keunikan tradisi di Papua oleh suku Biak dalam mengantar
mas kawin dengan arak-arakan, serta membawa bendera negara tersebut,
kemungkinan besar hanya satu-satunya di Indonesia dan tidak dilakukan oleh suku
lain di luar Papua. Siapa pernah peduli? Siapa pula yang mau dengan mantap
mengibarkan Merah Putih bukan di hari kemerdekaan?
Papua melakukan itu setiap hari. Merah
Putih di tengah Papua menggambarkan hati para mutiara hitam. Seolah mengatakan
kami tetap bersandar kepada engkau, ibu pertiwi. Entah hal apa yang dapat tepat
menggambarkan kesetiaan mereka menemani republik ini. Mutiara hitam hanya
memberikan kilau ketulusan, semangat kecintaan terhadap bangsa ini. Sayang
kilaunya hanya menjadi bahan jualan kepada para penanam modal asing.
Perlindungan terhadap hak mutiara hitam
beserta keluarga mereka merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Hal yang
sudah sepantasnya menjadi komitmen
internasional. Yang harus dijadikan tolok ukur, bagaimana praktik kegiatan
pertambangan PT. Freeport selama ini menggusar hak-hak warga setempat. Tidak
ada pilihan bagi setiap perusahaan, termasuk Freeport, harus menghormati hak asasi
manusia warga setempat jika ingin kegiatan usahanya berkelanjutan. Bila kontrak
karya PT Freeport diperpanjang tapi pemerintah tidak mengevaluasi apa yang
terjadi selama ini, yang terjadi adalah penambahan masalah yang justru akan
menyulitkan pemerintah Indonesia. Terlebih bagi mutiara-mutiara hitam, bagian
dari ibu pertiwi ini. Bukankah sudah menjadi impian dan dasar negara ini ketika
dibentuk? Melindungi hak setiap warga negara Indonesia.
Freeport atau mungkin pemerintah tak
bisa terus mengekang hak-hak dari setiap bilik rumah di Papua. Kebijakan yang
diambil sepatutnya tidak lantas menempatkan kepentingan negara dalam tingkat
elite, tapi juga melihat bagaimana korporasi bisa bekerja sama dengan
masyarakat setempat dan adakah dampak positifnya bagi masyarakat. Selama ini
keluarga mutiara hitam hanya ditengok oleh korporasi bila dibutuhkan. Bila ada
protes dari dunia internasional, barulah keluarga mutiara hitam diperhatikan.
Selama ini apa mereka dipedulikan? Apa pernah kemilau mutiara hitam dihargai—dilap
dan dipuji dengan tulus? Tanpa harus menjualnya kepada bangsa lain? Tentu kita,
korporasi kampret ini tak mau tetap seperti ini hingga konflik meletus di
sebelah timur bumi pertiwi.
Tentu tidak mau ketika mutiara hitam
mulai jengah dan merobek merah putih. Tentu tidak mau jika mutiara hitam tak
lagi menjadi bagian bumi pertiwi ini. Bumi pertiwi tidak bisa dikotak
berdasarkan pulau—berdasarkan mata angin. Indonesia tak akan pernah sama lagi
tanpa Papua menjadi bagiannya. Pulau mutiara hitam tak boleh menjadi sekedar
pelengkap lagi—tidak boleh hanya menjadi bahan jualan kepada bangsa asing.
Pulau mutiara hitam adalah Indonesia. Tak ada alasan lain untuk terus
mempertahankan Sumatra-Jawa-Kalimantan-Sulawesi-Papua beserta gugusan pulau
lain dalam untaian perhiasan bernama Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar