Kecenderungan
dunia perfilman yang mengadaptasi cerita dari novel sudah berlangsung lama.
Sebut saja beberapa judul seperti Gone
With The Wind (1939), Pride and
Prejudice (1940), The Old Man and
The Sea (1958), dan Forrest Gump
(1994), yang semuanya merupakan adaptasi novel, pun sama halnya di Indonesia,
kita juga disuguhkan film adaptasi novel seperti Atheis (1974), Badai Pasti
Berlalu (1977), Lupus (1986),
dan film-film lain.
Begitu
banyak pandangan penikmat film terhadap masalah orisinalitas sebuah karya seni.
Beberapa menganggap film orisinil itu haruslah sebuah karya murni buah pikir
sang sineas. Beberapa pula menganggap film adaptasi buku dan media lain pun
bisa disebut orisinil jika disesuaikan dengan interpretasi sang sineas sehingga
menjadi karya baru. Tentu keduanya benar masalahnya ialah seberapa sering kita
melihat karya orisinil dengan kualitas hebat. Menantikan ledakan orisinalitas
seperti Avatar dan Star Wars pun merupakan hal langka.
Bahkan untuk seluas tugu 107 meter dan nama besar industri film Amerika
Serikat, Hollywood.
Menuju
kebangkitan perfilman Indonesia, ibarat garis besar film di studio bioskop, film-film
Indonesia sebelas duabelas dengan perfilman Amerika. Popularitas film-film
terlaris Indonesia bersandar pada budaya populer lain yaitu novel dan biografi
tokoh. Maraknya adaptasi dari karya sukses novel menjadi bulan-bulanan
sutradara ternama Indonesia. Sehingga muncul sebuah banyolan seseorang merilis
novel untuk dijadikan film dan kemudian novel tersebut dirilis ulang dengan
sampul poster film. Kasihan sekali. Masalah naskah dan minim ide cerita menjadi
masalah utama sineas Indonesia—selain set tempat dan dana tentu. Sineas
cenderung malas berfikir sehingga ide untuk mencaplok mentah naskah novel pun
terbesit. Kenapa tidak? Bukankah dengan membuat film adaptasi, akan mempermudah
promosi karena para penonton sebagian besar penggemar penulis buku tersebut
atau suka ceritanya? Bukankah menguntungkan? Mungkin seperti itu pikir dan
perkataan mereka.
Sebuah
fenomena yang muncul ketika suatu novel diadaptasi ke dalam film adalah
terjadinya simbiosis mutualisme, karena pada akhirnya, kedua karya tersebut
saling menguntungkan satu sama lain. Di satu sisi, penjualan tiket film akan
terdongkrak oleh popularitas dari novel tersebut. Di sisi lain, jika film itu dianggap baik dan mendapatkan apresiasi
dari penonton awam yang belum membaca novel itu sebelumnya, penjualan buku
pun akan ikut melonjak. Membuat film berdasarkan naskah adaptasi menjadi sebuah simbiosis mutualisme menguntungkan bagi pihak produksi film dan novel yang diadaptasi. Sedangkan film dengan naskah asli, tak kunjung selesai, proyeknya lebih seperti rilis segan bubar pun tak mau.
Susahkah
menciptakan naskah asli? Ide asli? Dan konsep baru dalam dunia perfilman
khususnya di Indonesia? Susah. Jika ingin hemat dan menguntungkan. Susah jika
sineas Indonesia ingin membuat film instan. Satu bulan satu film. Bahkan kurang
dari satu bulan satu film sudah bisa dibungkus. Seperti membuat FTV saja. Bahkan
ketika perfilman Indonesia membuat sebuah karya orisinil The Raid yang mendunia pun, beberapa orang masih belum puas karena
Gareth Evans sang sutradara bukan orang Indonesia. Lantas kenapa film ini tidak
bisa dibilang karya orisinil Indonesia? Bukankah karena film Duologi The Raid, Bahasa dan aktor Indonesia
bisa mendunia?
Menantikan
dahsyatnya film orisinil memang sulit di Indonesia pantaslah dukungan penuh
untuk film sekelas Tabula Rasa dan Pendekar Tongkat Emas harus kita
berikan. Seedan ide Star Wars,
sebuah film yang malah sebaliknya kemudian diadaptasi menjadi mainan, konsol,
komik dan animasi. Perfilman dunia amat merindukan ide-ide hebat. Setumpukan
ide baru yang kemudian diramu apik menjadi visual megah hanya demi satu tujuan,
memuaskan mata para penikmat film.
Film
adaptasi tidaklah semerta pantang ditonton, jika bagus kenapa tidak? Film
orisinil pun tidaklah semerta selalu bagus, terkadang bisa dengan konsep gila
dengan eksekusi buruk. Maraknya film adaptasi dan sedikitnya film dengan ide
orisinil pada akhirnya akan bertarung dengan kualitas film dan cerita, tidak melulu
berbicara tentang lembar-lembar keuntungan film.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar