Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Sabtu, 07 Februari 2015

Film dan Sebuah Karya Orisinil

Film adaptasi memang menjadi juara di tiap tahun—keuntungan berkali-kali lipat didapat hasil mengadaptasi novel, permainan konsol, dan komik. Tumpukan film pahlawan super di kiblat industri perfilman dunia/Hollywood menjadi bukti bahwa membuat film adaptasi bagaikan memancing ikan di dalam bak 3x3 meter dan diisi dengan 30 ekor ikan didalamnya. Keuntungan berkali-kali lipat menjadi garansi. Tak kalah dari film adaptasi komik, mengadaptasi permainan konsol seperti Fast Furious dan mainan seperti Transformers pun membuat perusahaan-perusahaan film besar berlomba mendapatkan hak waralaba film.

Kecenderungan dunia perfilman yang mengadaptasi cerita dari novel sudah berlangsung lama. Sebut saja beberapa judul seperti Gone With The Wind (1939), Pride and Prejudice (1940), The Old Man and The Sea (1958), dan Forrest Gump (1994), yang semuanya merupakan adaptasi novel, pun sama halnya di Indonesia, kita juga disuguhkan film adaptasi novel seperti Atheis (1974), Badai Pasti Berlalu (1977), Lupus (1986), dan film-film lain.

Begitu banyak pandangan penikmat film terhadap masalah orisinalitas sebuah karya seni. Beberapa menganggap film orisinil itu haruslah sebuah karya murni buah pikir sang sineas. Beberapa pula menganggap film adaptasi buku dan media lain pun bisa disebut orisinil jika disesuaikan dengan interpretasi sang sineas sehingga menjadi karya baru. Tentu keduanya benar masalahnya ialah seberapa sering kita melihat karya orisinil dengan kualitas hebat. Menantikan ledakan orisinalitas seperti Avatar dan Star Wars pun merupakan hal langka. Bahkan untuk seluas tugu 107 meter dan nama besar industri film Amerika Serikat, Hollywood.

Menuju kebangkitan perfilman Indonesia, ibarat garis besar film di studio bioskop, film-film Indonesia sebelas duabelas dengan perfilman Amerika. Popularitas film-film terlaris Indonesia bersandar pada budaya populer lain yaitu novel dan biografi tokoh. Maraknya adaptasi dari karya sukses novel menjadi bulan-bulanan sutradara ternama Indonesia. Sehingga muncul sebuah banyolan seseorang merilis novel untuk dijadikan film dan kemudian novel tersebut dirilis ulang dengan sampul poster film. Kasihan sekali. Masalah naskah dan minim ide cerita menjadi masalah utama sineas Indonesia—selain set tempat dan dana tentu. Sineas cenderung malas berfikir sehingga ide untuk mencaplok mentah naskah novel pun terbesit. Kenapa tidak? Bukankah dengan membuat film adaptasi, akan mempermudah promosi karena para penonton sebagian besar penggemar penulis buku tersebut atau suka ceritanya? Bukankah menguntungkan? Mungkin seperti itu pikir dan perkataan mereka.
Sebuah fenomena yang muncul ketika suatu novel diadaptasi ke dalam film adalah terjadinya simbiosis mutualisme, karena pada akhirnya, kedua karya tersebut saling menguntungkan satu sama lain. Di satu sisi, penjualan tiket film akan terdongkrak oleh popularitas dari novel tersebut. Di sisi lain, jika film itu dianggap baik dan mendapatkan apresiasi dari penonton awam yang belum membaca novel itu sebelumnya, penjualan buku pun akan ikut melonjak. Membuat film berdasarkan naskah adaptasi menjadi sebuah simbiosis mutualisme menguntungkan bagi pihak produksi film dan novel yang diadaptasi. Sedangkan film dengan naskah asli, tak kunjung selesai, proyeknya lebih seperti rilis segan bubar pun tak mau.

Susahkah menciptakan naskah asli? Ide asli? Dan konsep baru dalam dunia perfilman khususnya di Indonesia? Susah. Jika ingin hemat dan menguntungkan. Susah jika sineas Indonesia ingin membuat film instan. Satu bulan satu film. Bahkan kurang dari satu bulan satu film sudah bisa dibungkus. Seperti membuat FTV saja. Bahkan ketika perfilman Indonesia membuat sebuah karya orisinil The Raid yang mendunia pun, beberapa orang masih belum puas karena Gareth Evans sang sutradara bukan orang Indonesia. Lantas kenapa film ini tidak bisa dibilang karya orisinil Indonesia? Bukankah karena film Duologi The Raid, Bahasa dan aktor Indonesia bisa mendunia?

Menantikan dahsyatnya film orisinil memang sulit di Indonesia pantaslah dukungan penuh untuk film sekelas Tabula Rasa dan Pendekar Tongkat Emas harus kita berikan. Seedan ide Star Wars, sebuah film yang malah sebaliknya kemudian diadaptasi menjadi mainan, konsol, komik dan animasi. Perfilman dunia amat merindukan ide-ide hebat. Setumpukan ide baru yang kemudian diramu apik menjadi visual megah hanya demi satu tujuan, memuaskan mata para penikmat film.

Film adaptasi tidaklah semerta pantang ditonton, jika bagus kenapa tidak? Film orisinil pun tidaklah semerta selalu bagus, terkadang bisa dengan konsep gila dengan eksekusi buruk. Maraknya film adaptasi dan sedikitnya film dengan ide orisinil pada akhirnya akan bertarung dengan kualitas film dan cerita, tidak melulu berbicara tentang lembar-lembar keuntungan film.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.