Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Sabtu, 06 Januari 2018

Mobil dan Pembuatnya yang Masih Menulis

1 komentar:

Apa yang baru dari sebuah tulisan? Hampir tak ada. Pertanyaan ini sama saja seperti melontarkan, apa yang berbeda dari sebuah keluaran mobil terbaru dari merek yang sama. Masih beroda empat, kaca depan tebalnya tak lebih dari satu sentimeter. Kaca spion di sisi kiri luar dan kanan mobil, satu spion di samping atas pengemudi disertai dua kursi utama di bagian depan, kemudian sisa kursi mengikuti kebutuhan dan sasaran pasar kendaraan masing-masing. Setiap produsen tak boleh sembarang membuat mobil tanpa tujuan.

 

Tulisan yang baik pun harus pula memiliki sebuah tujuan. Mungkin bedanya hampir tak ada, tapi selayaknya memproduksi mobil, tulisan harusnya tak sembarang. Polesan menjadi salah satu pembeda, gaya penulisan jadi warna dan ragam tersendiri. Tulisan dan opini seharusnya mencerminkan cara berpikir dan komunikasi penulis sendiri, bukan? Ragam tulisan kemudian membuat saya berpikir untuk kemudian membuat dan menerbitkan tulisan baru di tahun ini. Tahun baru, tulisan baru.

 

Satu tahun tak menerbitkan hal baru dalam wadah ini, memang canggung rasanya. Setahun ini tak menuangkan opini rasanya seperti menelan jeruk manis tanpa mengupas kulit. Seperti memiliki mobil tapi tak pernah digunakan, hanya jadi hiasan pengisi pranala situs di media sosial lain. Selama setahun lebih memilih menulis cerita-cerita pendek, rencana buku yang tak kunjung selesai, ulasan-ulasan film, dan sekadar mengicaukan opini di utasan twitter. Setahun ini bukannya tak menulis, hanya kembali menerbitkan tulisan baru di tempat ini.

 


Tempat ini benar-benar menjadi sebuah perjalanan berpikir dan berkomunikasi. Jika yang sudah mengikuti dan baru menjelajahi wadah ini sedari awal maka tentu akan sedikit memahami prosesnya. Materi serta opini. Penulisan dan cara bertutur. Semuanya jadi hal-hal terus diperbaharui seiring bertumbuh dan cara berpikir. Pengetahuan yang diolah menjadi opini, bukankah seharusnya dibagi? Omong kosong rasanya apabila seseorang menghabiskan umurnya tanpa mendapat hal-hal baru. Kecuali ia seorang putri tidur atau kapten yang membeku.

 

Opini akan menjadi hal baru dalam wadah ini. Bentuknya tak akan terlalu baru memang. Opini yang masih tak kurang dari 600 kata, dibuat lebih dalam dari sebuah utasan twitter dengan muatan yang lebih mengerucut dan beraturan. Tentu saja harus konsisten. Saya tentu tak mau ditertawakan produsen mobil, apabila membuat sesuatu, dengan hanya menambah sebuah nama unik sebagai sandingan nama merek tanpa membuat sebuah fitur-fitur baru di kendaraannya dengan bentuk yang tak berkhianat pula.

 

Kembali menulis beragam hal-hal baru dengan opini yang menyenangkan. Membuat opini tanpa mau menggurui. Mengilustrasikan sesuatu dengan canda. Sedikit humor (tentu) tak akan membuat tulisan saya menjadi tak beraturan dan menurunkan kualitas opini. Secara garis besar tak akan berbeda jauh dari tulisan-tulisan sebelum ini. Membahas apa yang saya baca dan ketahui setiap hari. Apa yang ada di dalam otak saya. Bagaimana cara saya mengolahnya. Wadah ini tak akan mengkhianati perjalanan awalnya. Saya bisa pastikan hal itu.

 

Jika 2015 dan 2016, ada beberapa ulasan film menjadi selingan—maka dengan sukacita—tak akan ada lagi. Biarlah ulasan film menjadi bahan kicauan dalam batas 280 karakter di twitter setiap malamnya. Tempat lain yang melatih saya untuk cerdas memadatkan kata-kata dan pendapat. Menempatkan materi kepada tempat masing-masing, membuat saya lebih teratur dalam berpikir. Jika ada muatan film dalam wadah ini, jangan cepat memaki, karena tentu isinya adalah sebuah opini dan dibuat secara komprehensif. Tentu saja tanpa hiasan skor dengan skala 10 di akhir tulisannya!

 

Suatu saat di tahun 2018, mungkin saya letih membuat cerita lain atau terlalu sibuk berkendara hingga lupa, bahkan tak tahu caranya duduk dan membagikan sesuatu di wadah ini. Saya tidak bisa memungkiri hal itu. Saya masih manusia dengan semua masalah pribadi, rencana dan target lain yang menguras waktu dan pemikiran. Jika itu terjadi ingatkan saya untuk singgah sebentar, beristirahat tak lama dan membeli gantungan penyemangat bertuliskan konsisten, kemudian menggantungkannya di sisi kiri atas kaca spion tengah.  Lalu, menulis lagi.

 

Kembali menulis, membagikan sesuatu yang baru. Jika sepertinya terlihat tak ada yang baru dari opini saya—beberapa orang membacanya dan melihat artikelnya masih memakai roda yang sama. Setirnya masih terlihat bundar dengan klakson di tengah dan kaca spion di sisi kiri luar dan kanan. Bagian depan masih diisi dua kursi utama dan sisanya mengikuti panjang dan kebutuhan argumen. Saya hanya bisa memastikan kualitasnya tak menurun. Atau mungkin paling tidak, jangan biarkan saya harus terus mengunyah jeruk dengan kulitnya sepanjang berkendara di tahun 2018 ini.

Rabu, 13 Juli 2016

Rudy Habibie – Mata Air?

Tidak ada komentar:
Apa yang mengagumkan dari sebuah mata air? Bukankah mata air adalah sebuah keindahan alami yang muncul dari celah batuan atau tanah kemudian mengalir ke permukaan tanah. Tenang, membawa kesegaran dan sejuk. Limpahan kejernihannya memengaruhi keruhnya aliran air sekitar. Menjadi mata air menjadi sebuah pesan yang dititipkan oleh ayah, Alwi Abdul Jalil Habibie dari seorang Rudy Habibie pada masa kecilnya. Tak banyak yang bisa kita ulik dari tokoh yang diperankan Donny Damara, namun kata-katanya akan menghiasi keseluruhan film dan tentu, tulisan ini.

Rudy Habibie mengambil latar waktu sebelum Habibie bertemu Ainun di awal mula film Habibie & Ainun. Ini adalah kisah masa muda Habibie (Reza Rahadian) ketika menjalani pendidikan penerbangan di RWTH Aachen, Jerman. Di masa-masa inilah ia bertemu dengan berbagai orang yang menjadi sahabatnya dan Ilona Ianovska (Chelsea Islan) untuk menjalin kisah cinta yang tak membawa nama Ilona menjadi sandingan judul utama film pertama Habibie.

Adegan dibuka dengan cepat menampilkan kampung halaman Habibie kecil dan perang kala itu. Dibuka dengan kisah hidup Habibie dengan seorang ayah yang bijaksana dan cita-cita besar untuk menciptakan pesawat terbang. Kemudian dilanjutkan dengan kisah Habibie muda dalam masa pendidikannya. Namun kegelisahan mulai muncul di satu jam setengah ke depan. Di mana beragam konflik seperti mata air melimpah terjun ke dalam masa muda Habibie. Berlebihan dan rakus.

Entah gambaran apa yang ingin dihadirkan dalam konflik film Rudy Habibie—nasionalisme, religius, nilai moral, kisah cinta beda agama, konflik persahabatan, politik dan sejarah. Rudy Habibie terasa seperti mata air kecil dengan muatan air besar yang entah kenapa buru-buru ditampung dalam satu wadah cerita. Bukankah Rudy Habibie kelak akan menjadi waralaba film? Kenapa begitu terburu-buru? Saya salah satu dari sekian banyak orang yang mengagumi Habibie, namun dengan puluhan konflik yang datang tidakkah terlalu “dewa” jika Habibie muda berhasil memenangkan itu dalam 10 menit berikutnya?

Dalam urusan cerita, film besutan Hanung Bramantyo ini adalah korban dari bagaimana film biopik tokoh sejarah dipaksa dihadapkan dengan kebutuhan pasokan pesan moral dan wacana yang menggugah inspirasi pada penonton. Ia menjadi tokoh yang habis-habisan tanpa ragu dipompa, diperas, dikeruk untuk tampilan protagonis, jenius dan sempurna. Tentu bukan hal yang salah jika ingin menghadirkan sosok yang seperti itu, namun pendekatan konflik yang begitu instan terselesaikan dengan musik megah di akhir penyelesaian konflik terasa begitu melelahkan.

Dalam hal cerita saya pernah melihat Ginatri S. Noer menulis dengan lebih baik dari Rudy Habibie. Tentu memang tak seburuk itu, Rudy Habibie secara teknis dan kematangan para pemainnya lebih baik dari Habibie & Ainun—hanya saja kegemukan untuk diolah dalam satu film. Entah mungkin saya hanya berharap melihat karakter ini berdinamika saja—ingin melihat bagaimana Habibie muda terlihat seperti anak muda pada umumnya, berambisi namun tidak jarang salah mengambil keputusan.

Seberapa pun melimpahnya mata air ini namun tenang, ia tetap menyegarkan. Rudy Habibie tertolong dengan puluhan sisi lainnya dan kali ini adalah para pemainnya. Kemahalakonan Reza Rahadian tak lagi terbantahkan. Ia telah menjadi ikon autentik dengan cara jalan, gerak bibir dan cara berkomunikasi, terlepas apakah itu mirip dengan Habibie asli maupun tidak. Beruntung bagi  Rudy Habibie, Pandji Pragiwaksono, Ernest Prakasa, Indah Permatasari dan Boris Bokir berhasil menjadi mata air lain yang menyegarkan. Jika Reza Rahardian adalah mata air yang tenang, Ernest – Pandji – Boris membawa kesegaran maka Indah Permatasari adalah kesejukan di setiap kemunculannya di layar.

Kehadiran empat tokoh ini memang menjadi pendamping yang pas untuk seorang Habibie. Saya amat suka bagaimana empat karakter ini disuguhkan dan dikenalkan kepada penonton. Rapi dan lembut, empat tokoh ini menjadi salah satu kenapa Rudy Habibie pantas untuk ditonton. Namun tidak kali ini dengan Chelsea Islan, karakternya yang muncul tiba-tiba dalam tengah film dan menjadi kisah cinta instan sungguh hal yang tidak begitu baik.

Ada hal yang tidak begitu baik memang dalam film ini, namun banyak pula hal mengagumkan. Rudy Habibie memang lebih terasa seperti mata air segar yang berlimpah sehingga beberapa bagian sempat terkena tanah dan menjadi sedikit keruh. Pergi dan menonton Rudy Habibie bersama keluarga, teman terkasih, pasangan namun beda agama, tak akan seburuk yang kita pikir setelah membaca ulasan ini. Film amat baik dalam beberapa hal, dan akan menjadi lebih menarik jika kita memang sedang ingin menonton sekaligus perlu kiat singkat dan motivasi mengatasi masalah hidup ketimbang membeli buku “dua jam menjadi mata air”. Sungguh Rudy Habibie adalah mata air ini yang penuh dengan motivasi. 7/10

Sabtu, 12 Desember 2015

Seorang serakah dari Mars

Tidak ada komentar:

Seorang tamak ini berasal dari mars, tempat yang katanya punya kehidupan namun tak satu pun yang tersisa bahkan hanya bekas pertanda jalur air. Entah kenapa orang ini pun kemudian pergi dan menuju bumi. Bumi terlihat berbeda dari planet lain, terlihat cukup biru dan hijau untuk dijarah sistemnya dan hasil alamnya.

Dahulu mars tidak seperti itu, ia merah namun tak gersang. Ia sunyi namun memiliki kehidupan. Lalu muncullah seorang serakah ini, ia yang mirip dengan rupa kita, yang sedang menulis juga sedang membaca. Yang sedang menyusun rencana untuk menatap kesuksesan. Yang sedang berusaha menindas anak-anak kecil pinggiran—mereka sudah hidup di tepian, kenapa tidak sekalian menceburkan mereka? Mungkin kira-kira begitu ujar mereka, orang-orang bumi yang menyerupai seorang serakah dari Mars.

Seorang serakah dari mars memang menarik. Ia melihat target dan pencapaian luar biasa dalam pemikiran mereka. Jika aku bisa mencapai titik J. Kenapa aku tidak bisa mencapai titik G dan kemudian menyentuh A. Bahkan tidak jarang ia menginjak bebatuan sekitarnya hingga rusak untuk melompat melampaui titik sebelumnya. Terbesitlah ia yang melihat tidak ada yang tersisa lagi dari Mars kemudian mendongak ke atas. Ke Luar angkasa.
Luar angkasa memang menarik ditaklukkan tapi tak ada yang menyangkal kebahagiaan penaklukan adalah hal yang lebih penting pemandangan antariksawan dalam merayakan keberhasilan dan kru NASA yang bahagia misi mereka berhasil dengan selamat, serta keluarga yang menonton dari televisi. Tidak ada yang lebih membahagiakan daripada itu. Tidak bahkan tidak lebih indah dari pemandangan bumi dari bulan.

Pencapaian tentu tidak salah. Tujuan dan target adalah penting untuk setiap manusia, celakalah kita yang memainkan permainan dalam gim tanpa rasa penasaran ingin menyelesaikan tujuan akhirnya. Namun celakalah kita yang semakin mirip orang serakah dari mars yang lebih memilih berbuat curang untuk mendapatkan hasil singkat dan amat berambisi. Celakalah kita yang menjadikan orang sekitar kita sebagai pijakan dan melontarkan badan ke depan.

Seorang serakah ini tak butuh teman. Ia lupa akan orang sekitar sibuk menentukan mana yang harus dijarah dan dibawa pulang untuk dihabiskan sendiri. Siapa yang butuh teman untuk menghabiskan harta di Mars? Jika pun ada mereka akan berguna untuk sekedar mengangkut jarahan, menyimpannya di mobil dan menikamnya dari belakang. Sesuatu yang tentu bukan pertama kali dilakukan oleh seorang serakah dari mars.

Ia merasa tak terkalahkan dan selalu merasa bahwa dirinya paling benar dan paling baik. Seorang serakah dari mars melihat dari atas gunung tinggi dari puncak planet merah. Gagah tegap ia merasa sudah mengalahkan seisi mars dan merasa planetnya terlihat merah, baik dan sempurna. Mendongak ke angkasa, melihat bumi, sebuah planet biru, membosankan.

Seorang serakah dari Mars turun ke Bumi, berkeliling, melihat sekitar, kemudian tersenyum. Ia tahu tidak ada gunanya ia di sini. Seorang serakah dari Mars melihat jutaan orang serakah dari bumi. Ia melihat hutan dibabat. Laut dan pantai yang mengeruh dan berlimpah sampah. Ia melihat gunung yang tergerus menyisakan tanah yang curam dan kemudian pergi.

Jauh dari sana, seorang serakah dari Mars tidak tahu berapa orang yang memanjatkan doa untuk memulihkan planetnya. Berapa orang yang berjuang hingga merasakah dingin penjara untuk memelihara planetnya. Berapa orang yang berusaha membersihkan sampah dari jalanan dan menjaga lingkungan. Merawat planet biru ini membutuhkan tak cukup seorang. Mereka harus bersama, saling rangkul, menjadikan kepala temannya untuk bertukar pikiran. Mereka sekumpulan orang berani dan peduli dari bumi.
© Agata | WS
x x x x x x x.