Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?
Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?
Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?
Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?
Sabtu, 06 Januari 2018
Rabu, 13 Juli 2016
Rudy Habibie – Mata Air?
Apa yang mengagumkan dari sebuah mata air? Bukankah mata air adalah
sebuah keindahan alami yang muncul dari celah batuan atau tanah kemudian
mengalir ke permukaan tanah. Tenang, membawa kesegaran dan sejuk. Limpahan
kejernihannya memengaruhi keruhnya aliran air sekitar. Menjadi mata air menjadi
sebuah pesan yang dititipkan oleh ayah, Alwi Abdul Jalil Habibie dari seorang Rudy Habibie pada masa
kecilnya. Tak banyak yang bisa kita ulik dari tokoh yang diperankan Donny Damara, namun kata-katanya akan
menghiasi keseluruhan film dan tentu, tulisan ini.
Rudy Habibie mengambil latar waktu sebelum Habibie bertemu
Ainun di awal mula film Habibie & Ainun. Ini adalah kisah
masa muda Habibie (Reza Rahadian) ketika
menjalani pendidikan penerbangan di RWTH Aachen, Jerman. Di masa-masa inilah ia
bertemu dengan berbagai orang yang menjadi sahabatnya dan Ilona Ianovska (Chelsea Islan) untuk menjalin kisah
cinta yang tak membawa nama Ilona menjadi sandingan judul utama film pertama
Habibie.
Adegan dibuka dengan cepat
menampilkan kampung halaman Habibie kecil dan perang kala itu. Dibuka dengan
kisah hidup Habibie dengan seorang ayah yang bijaksana dan cita-cita besar
untuk menciptakan pesawat terbang. Kemudian dilanjutkan dengan kisah Habibie
muda dalam masa pendidikannya. Namun kegelisahan mulai muncul di satu jam
setengah ke depan. Di mana beragam konflik seperti mata air melimpah terjun ke
dalam masa muda Habibie. Berlebihan dan rakus.
Entah gambaran apa yang ingin
dihadirkan dalam konflik film Rudy Habibie—nasionalisme, religius, nilai
moral, kisah cinta beda agama, konflik persahabatan, politik dan sejarah. Rudy
Habibie terasa
seperti mata air kecil dengan muatan air besar yang entah kenapa buru-buru ditampung
dalam satu wadah cerita. Bukankah Rudy Habibie kelak akan menjadi waralaba film?
Kenapa begitu terburu-buru? Saya salah satu dari sekian banyak
orang yang mengagumi Habibie, namun dengan puluhan konflik yang datang tidakkah
terlalu “dewa” jika Habibie muda berhasil memenangkan itu dalam 10 menit
berikutnya?
Dalam urusan cerita, film
besutan Hanung Bramantyo ini adalah
korban dari bagaimana film biopik tokoh sejarah dipaksa dihadapkan dengan
kebutuhan pasokan pesan moral dan wacana yang menggugah inspirasi pada
penonton. Ia menjadi tokoh yang habis-habisan tanpa ragu dipompa, diperas,
dikeruk untuk tampilan protagonis, jenius dan sempurna. Tentu bukan hal yang
salah jika ingin menghadirkan sosok yang seperti itu, namun pendekatan konflik
yang begitu instan terselesaikan dengan musik megah di akhir penyelesaian
konflik terasa begitu melelahkan.
Dalam hal cerita saya pernah
melihat Ginatri S. Noer menulis
dengan lebih baik dari Rudy Habibie. Tentu
memang tak seburuk itu, Rudy Habibie secara
teknis dan kematangan para pemainnya lebih baik dari Habibie & Ainun—hanya saja kegemukan untuk diolah dalam satu film.
Entah mungkin saya hanya berharap melihat karakter ini berdinamika saja—ingin
melihat bagaimana Habibie muda terlihat seperti anak muda pada umumnya,
berambisi namun tidak jarang salah mengambil keputusan.
Seberapa pun melimpahnya mata
air ini namun tenang, ia tetap menyegarkan. Rudy Habibie tertolong dengan puluhan sisi
lainnya dan kali ini adalah para pemainnya. Kemahalakonan Reza Rahadian tak lagi terbantahkan. Ia
telah menjadi ikon autentik dengan cara jalan, gerak bibir dan cara
berkomunikasi, terlepas apakah itu mirip dengan Habibie asli maupun tidak. Beruntung
bagi Rudy Habibie, Pandji Pragiwaksono, Ernest
Prakasa, Indah Permatasari dan Boris Bokir berhasil menjadi mata air
lain yang menyegarkan. Jika Reza Rahardian adalah mata air yang tenang, Ernest
– Pandji – Boris membawa kesegaran maka Indah Permatasari adalah kesejukan di
setiap kemunculannya di layar.
Kehadiran empat tokoh ini
memang menjadi pendamping yang pas untuk seorang Habibie. Saya amat suka
bagaimana empat karakter ini disuguhkan dan dikenalkan kepada penonton. Rapi
dan lembut, empat tokoh ini menjadi salah satu kenapa Rudy Habibie pantas untuk ditonton. Namun tidak kali ini dengan Chelsea Islan, karakternya yang muncul
tiba-tiba dalam tengah film dan menjadi kisah cinta instan sungguh hal yang
tidak begitu baik.
Ada hal yang tidak begitu baik
memang dalam film ini, namun banyak pula hal mengagumkan. Rudy Habibie memang lebih terasa seperti mata air segar yang
berlimpah sehingga beberapa bagian sempat terkena tanah dan menjadi sedikit
keruh. Pergi dan menonton Rudy Habibie bersama
keluarga, teman terkasih, pasangan namun beda agama, tak akan seburuk yang kita
pikir setelah membaca ulasan ini. Film amat baik dalam beberapa hal, dan akan menjadi
lebih menarik jika kita memang sedang ingin menonton sekaligus perlu kiat
singkat dan motivasi mengatasi masalah hidup ketimbang membeli buku “dua jam menjadi mata air”. Sungguh Rudy
Habibie adalah
mata air ini yang penuh dengan motivasi. 7/10
Sabtu, 12 Desember 2015
Seorang serakah dari Mars
Seorang tamak ini berasal dari mars,
tempat yang katanya punya kehidupan namun tak satu pun yang tersisa bahkan
hanya bekas pertanda jalur air. Entah kenapa orang ini pun kemudian pergi dan
menuju bumi. Bumi terlihat berbeda dari planet lain, terlihat cukup biru dan
hijau untuk dijarah sistemnya dan hasil alamnya.
Dahulu mars tidak seperti itu, ia merah
namun tak gersang. Ia sunyi namun memiliki kehidupan. Lalu muncullah seorang serakah
ini, ia yang mirip dengan rupa kita, yang sedang menulis juga sedang membaca.
Yang sedang menyusun rencana untuk menatap kesuksesan. Yang sedang berusaha
menindas anak-anak kecil pinggiran—mereka sudah hidup di tepian, kenapa tidak
sekalian menceburkan mereka? Mungkin kira-kira begitu ujar mereka, orang-orang
bumi yang menyerupai seorang serakah dari Mars.
Seorang serakah dari mars memang menarik.
Ia melihat target dan pencapaian luar biasa dalam pemikiran mereka. Jika aku
bisa mencapai titik J. Kenapa aku tidak bisa mencapai titik G dan kemudian
menyentuh A. Bahkan tidak jarang ia menginjak bebatuan sekitarnya hingga rusak
untuk melompat melampaui titik sebelumnya. Terbesitlah ia yang melihat tidak
ada yang tersisa lagi dari Mars kemudian mendongak ke atas. Ke Luar angkasa.
Luar angkasa memang menarik ditaklukkan
tapi tak ada yang menyangkal kebahagiaan penaklukan adalah hal yang lebih
penting pemandangan antariksawan dalam merayakan keberhasilan dan kru NASA yang
bahagia misi mereka berhasil dengan selamat, serta keluarga yang menonton dari
televisi. Tidak ada yang lebih membahagiakan daripada itu. Tidak bahkan tidak
lebih indah dari pemandangan bumi dari bulan.
Pencapaian tentu tidak salah. Tujuan
dan target adalah penting untuk setiap manusia, celakalah kita yang memainkan
permainan dalam gim tanpa rasa penasaran ingin menyelesaikan tujuan akhirnya. Namun
celakalah kita yang semakin mirip orang serakah dari mars yang lebih memilih
berbuat curang untuk mendapatkan hasil singkat dan amat berambisi. Celakalah
kita yang menjadikan orang sekitar kita sebagai pijakan dan melontarkan badan
ke depan.
Seorang serakah ini tak butuh teman. Ia
lupa akan orang sekitar sibuk menentukan mana yang harus dijarah dan dibawa
pulang untuk dihabiskan sendiri. Siapa yang butuh teman untuk menghabiskan
harta di Mars? Jika pun ada mereka akan berguna untuk sekedar mengangkut
jarahan, menyimpannya di mobil dan menikamnya dari belakang. Sesuatu yang tentu
bukan pertama kali dilakukan oleh seorang serakah dari mars.
Ia
merasa tak terkalahkan dan selalu merasa bahwa dirinya paling benar dan paling
baik. Seorang serakah dari mars melihat dari atas gunung tinggi dari puncak
planet merah. Gagah tegap ia merasa sudah mengalahkan seisi mars dan merasa
planetnya terlihat merah, baik dan sempurna. Mendongak ke angkasa, melihat bumi,
sebuah planet biru, membosankan.
Seorang
serakah dari Mars turun ke Bumi, berkeliling, melihat sekitar, kemudian
tersenyum. Ia tahu tidak ada gunanya ia di sini. Seorang serakah dari Mars
melihat jutaan orang serakah dari bumi. Ia melihat hutan dibabat. Laut dan
pantai yang mengeruh dan berlimpah sampah. Ia melihat gunung yang tergerus
menyisakan tanah yang curam dan kemudian pergi.
Jauh
dari sana, seorang serakah dari Mars tidak tahu berapa orang yang memanjatkan
doa untuk memulihkan planetnya. Berapa orang yang berjuang hingga merasakah
dingin penjara untuk memelihara planetnya. Berapa orang yang berusaha
membersihkan sampah dari jalanan dan menjaga lingkungan. Merawat planet biru
ini membutuhkan tak cukup seorang. Mereka harus bersama, saling rangkul,
menjadikan kepala temannya untuk bertukar pikiran. Mereka sekumpulan orang
berani dan peduli dari bumi.
Langganan:
Postingan (Atom)
x x x x x x x.