Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Rabu, 13 Juli 2016

Rudy Habibie – Mata Air?

Apa yang mengagumkan dari sebuah mata air? Bukankah mata air adalah sebuah keindahan alami yang muncul dari celah batuan atau tanah kemudian mengalir ke permukaan tanah. Tenang, membawa kesegaran dan sejuk. Limpahan kejernihannya memengaruhi keruhnya aliran air sekitar. Menjadi mata air menjadi sebuah pesan yang dititipkan oleh ayah, Alwi Abdul Jalil Habibie dari seorang Rudy Habibie pada masa kecilnya. Tak banyak yang bisa kita ulik dari tokoh yang diperankan Donny Damara, namun kata-katanya akan menghiasi keseluruhan film dan tentu, tulisan ini.

Rudy Habibie mengambil latar waktu sebelum Habibie bertemu Ainun di awal mula film Habibie & Ainun. Ini adalah kisah masa muda Habibie (Reza Rahadian) ketika menjalani pendidikan penerbangan di RWTH Aachen, Jerman. Di masa-masa inilah ia bertemu dengan berbagai orang yang menjadi sahabatnya dan Ilona Ianovska (Chelsea Islan) untuk menjalin kisah cinta yang tak membawa nama Ilona menjadi sandingan judul utama film pertama Habibie.

Adegan dibuka dengan cepat menampilkan kampung halaman Habibie kecil dan perang kala itu. Dibuka dengan kisah hidup Habibie dengan seorang ayah yang bijaksana dan cita-cita besar untuk menciptakan pesawat terbang. Kemudian dilanjutkan dengan kisah Habibie muda dalam masa pendidikannya. Namun kegelisahan mulai muncul di satu jam setengah ke depan. Di mana beragam konflik seperti mata air melimpah terjun ke dalam masa muda Habibie. Berlebihan dan rakus.

Entah gambaran apa yang ingin dihadirkan dalam konflik film Rudy Habibie—nasionalisme, religius, nilai moral, kisah cinta beda agama, konflik persahabatan, politik dan sejarah. Rudy Habibie terasa seperti mata air kecil dengan muatan air besar yang entah kenapa buru-buru ditampung dalam satu wadah cerita. Bukankah Rudy Habibie kelak akan menjadi waralaba film? Kenapa begitu terburu-buru? Saya salah satu dari sekian banyak orang yang mengagumi Habibie, namun dengan puluhan konflik yang datang tidakkah terlalu “dewa” jika Habibie muda berhasil memenangkan itu dalam 10 menit berikutnya?

Dalam urusan cerita, film besutan Hanung Bramantyo ini adalah korban dari bagaimana film biopik tokoh sejarah dipaksa dihadapkan dengan kebutuhan pasokan pesan moral dan wacana yang menggugah inspirasi pada penonton. Ia menjadi tokoh yang habis-habisan tanpa ragu dipompa, diperas, dikeruk untuk tampilan protagonis, jenius dan sempurna. Tentu bukan hal yang salah jika ingin menghadirkan sosok yang seperti itu, namun pendekatan konflik yang begitu instan terselesaikan dengan musik megah di akhir penyelesaian konflik terasa begitu melelahkan.

Dalam hal cerita saya pernah melihat Ginatri S. Noer menulis dengan lebih baik dari Rudy Habibie. Tentu memang tak seburuk itu, Rudy Habibie secara teknis dan kematangan para pemainnya lebih baik dari Habibie & Ainun—hanya saja kegemukan untuk diolah dalam satu film. Entah mungkin saya hanya berharap melihat karakter ini berdinamika saja—ingin melihat bagaimana Habibie muda terlihat seperti anak muda pada umumnya, berambisi namun tidak jarang salah mengambil keputusan.

Seberapa pun melimpahnya mata air ini namun tenang, ia tetap menyegarkan. Rudy Habibie tertolong dengan puluhan sisi lainnya dan kali ini adalah para pemainnya. Kemahalakonan Reza Rahadian tak lagi terbantahkan. Ia telah menjadi ikon autentik dengan cara jalan, gerak bibir dan cara berkomunikasi, terlepas apakah itu mirip dengan Habibie asli maupun tidak. Beruntung bagi  Rudy Habibie, Pandji Pragiwaksono, Ernest Prakasa, Indah Permatasari dan Boris Bokir berhasil menjadi mata air lain yang menyegarkan. Jika Reza Rahardian adalah mata air yang tenang, Ernest – Pandji – Boris membawa kesegaran maka Indah Permatasari adalah kesejukan di setiap kemunculannya di layar.

Kehadiran empat tokoh ini memang menjadi pendamping yang pas untuk seorang Habibie. Saya amat suka bagaimana empat karakter ini disuguhkan dan dikenalkan kepada penonton. Rapi dan lembut, empat tokoh ini menjadi salah satu kenapa Rudy Habibie pantas untuk ditonton. Namun tidak kali ini dengan Chelsea Islan, karakternya yang muncul tiba-tiba dalam tengah film dan menjadi kisah cinta instan sungguh hal yang tidak begitu baik.

Ada hal yang tidak begitu baik memang dalam film ini, namun banyak pula hal mengagumkan. Rudy Habibie memang lebih terasa seperti mata air segar yang berlimpah sehingga beberapa bagian sempat terkena tanah dan menjadi sedikit keruh. Pergi dan menonton Rudy Habibie bersama keluarga, teman terkasih, pasangan namun beda agama, tak akan seburuk yang kita pikir setelah membaca ulasan ini. Film amat baik dalam beberapa hal, dan akan menjadi lebih menarik jika kita memang sedang ingin menonton sekaligus perlu kiat singkat dan motivasi mengatasi masalah hidup ketimbang membeli buku “dua jam menjadi mata air”. Sungguh Rudy Habibie adalah mata air ini yang penuh dengan motivasi. 7/10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.