Apa yang mengagumkan dari sebuah mata air? Bukankah mata air adalah
sebuah keindahan alami yang muncul dari celah batuan atau tanah kemudian
mengalir ke permukaan tanah. Tenang, membawa kesegaran dan sejuk. Limpahan
kejernihannya memengaruhi keruhnya aliran air sekitar. Menjadi mata air menjadi
sebuah pesan yang dititipkan oleh ayah, Alwi Abdul Jalil Habibie dari seorang Rudy Habibie pada masa
kecilnya. Tak banyak yang bisa kita ulik dari tokoh yang diperankan Donny Damara, namun kata-katanya akan
menghiasi keseluruhan film dan tentu, tulisan ini.
Rudy Habibie mengambil latar waktu sebelum Habibie bertemu
Ainun di awal mula film Habibie & Ainun. Ini adalah kisah
masa muda Habibie (Reza Rahadian) ketika
menjalani pendidikan penerbangan di RWTH Aachen, Jerman. Di masa-masa inilah ia
bertemu dengan berbagai orang yang menjadi sahabatnya dan Ilona Ianovska (Chelsea Islan) untuk menjalin kisah
cinta yang tak membawa nama Ilona menjadi sandingan judul utama film pertama
Habibie.
Adegan dibuka dengan cepat
menampilkan kampung halaman Habibie kecil dan perang kala itu. Dibuka dengan
kisah hidup Habibie dengan seorang ayah yang bijaksana dan cita-cita besar
untuk menciptakan pesawat terbang. Kemudian dilanjutkan dengan kisah Habibie
muda dalam masa pendidikannya. Namun kegelisahan mulai muncul di satu jam
setengah ke depan. Di mana beragam konflik seperti mata air melimpah terjun ke
dalam masa muda Habibie. Berlebihan dan rakus.
Entah gambaran apa yang ingin
dihadirkan dalam konflik film Rudy Habibie—nasionalisme, religius, nilai
moral, kisah cinta beda agama, konflik persahabatan, politik dan sejarah. Rudy
Habibie terasa
seperti mata air kecil dengan muatan air besar yang entah kenapa buru-buru ditampung
dalam satu wadah cerita. Bukankah Rudy Habibie kelak akan menjadi waralaba film?
Kenapa begitu terburu-buru? Saya salah satu dari sekian banyak
orang yang mengagumi Habibie, namun dengan puluhan konflik yang datang tidakkah
terlalu “dewa” jika Habibie muda berhasil memenangkan itu dalam 10 menit
berikutnya?
Dalam urusan cerita, film
besutan Hanung Bramantyo ini adalah
korban dari bagaimana film biopik tokoh sejarah dipaksa dihadapkan dengan
kebutuhan pasokan pesan moral dan wacana yang menggugah inspirasi pada
penonton. Ia menjadi tokoh yang habis-habisan tanpa ragu dipompa, diperas,
dikeruk untuk tampilan protagonis, jenius dan sempurna. Tentu bukan hal yang
salah jika ingin menghadirkan sosok yang seperti itu, namun pendekatan konflik
yang begitu instan terselesaikan dengan musik megah di akhir penyelesaian
konflik terasa begitu melelahkan.
Dalam hal cerita saya pernah
melihat Ginatri S. Noer menulis
dengan lebih baik dari Rudy Habibie. Tentu
memang tak seburuk itu, Rudy Habibie secara
teknis dan kematangan para pemainnya lebih baik dari Habibie & Ainun—hanya saja kegemukan untuk diolah dalam satu film.
Entah mungkin saya hanya berharap melihat karakter ini berdinamika saja—ingin
melihat bagaimana Habibie muda terlihat seperti anak muda pada umumnya,
berambisi namun tidak jarang salah mengambil keputusan.
Seberapa pun melimpahnya mata
air ini namun tenang, ia tetap menyegarkan. Rudy Habibie tertolong dengan puluhan sisi
lainnya dan kali ini adalah para pemainnya. Kemahalakonan Reza Rahadian tak lagi terbantahkan. Ia
telah menjadi ikon autentik dengan cara jalan, gerak bibir dan cara
berkomunikasi, terlepas apakah itu mirip dengan Habibie asli maupun tidak. Beruntung
bagi Rudy Habibie, Pandji Pragiwaksono, Ernest
Prakasa, Indah Permatasari dan Boris Bokir berhasil menjadi mata air
lain yang menyegarkan. Jika Reza Rahardian adalah mata air yang tenang, Ernest
– Pandji – Boris membawa kesegaran maka Indah Permatasari adalah kesejukan di
setiap kemunculannya di layar.
Kehadiran empat tokoh ini
memang menjadi pendamping yang pas untuk seorang Habibie. Saya amat suka
bagaimana empat karakter ini disuguhkan dan dikenalkan kepada penonton. Rapi
dan lembut, empat tokoh ini menjadi salah satu kenapa Rudy Habibie pantas untuk ditonton. Namun tidak kali ini dengan Chelsea Islan, karakternya yang muncul
tiba-tiba dalam tengah film dan menjadi kisah cinta instan sungguh hal yang
tidak begitu baik.
Ada hal yang tidak begitu baik
memang dalam film ini, namun banyak pula hal mengagumkan. Rudy Habibie memang lebih terasa seperti mata air segar yang
berlimpah sehingga beberapa bagian sempat terkena tanah dan menjadi sedikit
keruh. Pergi dan menonton Rudy Habibie bersama
keluarga, teman terkasih, pasangan namun beda agama, tak akan seburuk yang kita
pikir setelah membaca ulasan ini. Film amat baik dalam beberapa hal, dan akan menjadi
lebih menarik jika kita memang sedang ingin menonton sekaligus perlu kiat
singkat dan motivasi mengatasi masalah hidup ketimbang membeli buku “dua jam menjadi mata air”. Sungguh Rudy
Habibie adalah
mata air ini yang penuh dengan motivasi. 7/10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar