Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Sabtu, 22 Agustus 2015

Andai Ada Hatta Lagi



Di antara para pendiri bangsa ini, mungkin Bung Hatta yang paling mencintai buku. Setidaknya ada empat kekasih Bung Hatta: Indonesia, rakyat Indonesia, buku, dan Rahmi Hatta. Cinta Bung Hatta terhadap buku demikian tinggi sehingga ketika dibuang ke Digoel ia sampai membawa empat peti besar berisi buku-bukunya. Entah Hatta tahu bahwa keintiman beliau dengan buku-buku berbuah pemikiran yang membantu teman akrabnya membawa Indonesia menuju kemerdekaan.

Marilah kita berandai, andai Hatta hadir ditengah-tengah kita—Indonesia di era digital. Saat itu umurnya 17 belas tahun, buku-buku bahasa dari sang ayah dan buku ekonomi menjadi teman yang menemani jalan juang Hatta. Hatta adalah salah satu anak Indonesia beruntung yang mengambil keuntungan dari kesempatan berteman buku—tak banyak anak Indonesia pada jaman Belanda bisa berteman dengan pendidikan apalagi akrab dengan buku. Situasi mirip dengan masa ini—buku adalah bara langka walau aksesnya tak terbatas—sosial media, ponsel dan konten lain pada masa kini terlihat lebih menarik. Tetapi tentu Hatta tak mengutamakan itu, andai Hatta ada lagi, ia tentu tak mau pengetahuannya dibatasi kuota internet.

Buku yang dibaca Hatta membuahkan pikiran murni—membentuk bagaimana cara Hatta memandang Indonesia. Kegemaran Bung Hatta membaca dan menulis membawanya kepada dunia pergerakan dan intelektual di Indonesia. Keintimannya dengan buku berbuah pemikiran-pemikiran dan tulisan dengan nyawa yang membuat Belanda rapat panjang. Hatta menggunakan buku sebagai referensi bagi pemikiran-pemikirannya. Tapi bukan berarti Hatta tak mempunyai pendapatnya sendiri. Hatta mengelaborasi pandangan para intelektual di masa lampau dan menciptakan pemikirannya sendiri.

Mungkin masa kini anak-anak muda ingin lebih realistis—meninggalkan buku yang dilabeli hanya sekedar teori dan  jauh berbeda dengan kenyataan dunia. Ya Hatta pun berpikir demikian.  Anti-teori namun bukan berarti anti ilmu. Kalau kita baca tulisan-tulisan Hatta, ia amat jarang mengutip pendapat tokoh-tokoh pemikir tertentu. Gagasan-gagasan cemerlangnya berasal dari pikirannya sendiri. Walaupun Hatta banyak membaca buku, ia tidak kehilangan orisinalitas pemikirannya. Buku yang mengajarkan kita dan Hatta untuk melihat dunia tak harus membuat kita lupa untuk berpijak pada masalah sekitar, masalah Indonesia.


Tulisan-tulisan Hatta mencerminkan idealisme tinggi akan kemerdekaan Indonesia. Tulisan-tulisan Hatta dibaca luas oleh berbagai kalangan terpelajar di kota-kota besar di Indonesia. Hatta adalah serang konseptor. Ia tidak mengandalkan kemampuan bicara tapi kemampuannya menulis. Kemampuannya menulis ini yang jarang dimiliki kaum pergerakan lainnya. Soekarno memang menulis, akan tetapi ia lebih menawan dalam orasinya di mana-mana dalam membangkitkan semangat perjuangan rakyat. Sedangkan Hatta seorang penulis yang lebih intelektual yang kadang kala tulisannya dipertimbangkan oleh banyak kalangan terutama dari kalangan masyarakat terpelajar.

Gagasan besar lahir dari ratusan buku-buku ekonomi koleksi Hatta dan kemudian diolah menjadi sebuah pemikiran orisinal. Mendamba lahir Hatta baru di Indonesia hanya adalah sebuah angan. Langkah tepat adalah bagaimana kita dan buku-buku digital dapat membentuk pola pikir jujur—sesuai dengan kesenangan dan hasrat setiap pribadi. Jika Hatta menjadikan ketertarikannya terhadap ekonomi dan politik menjadi landasan pemikiran beliau untuk membangun bangsa—terlebih kita yang pekerjaan dan hobi kini lebih beragam dan jutaan bacaan bisa kita dapat dalam mesin pencari Google dan jaringan internet lainnya.   

Beragam ide dan buah pikir sudah jauh-jauh hari membentuk bangsa kita dalam keberagaman. Sebuah hal yang seharusnya kita lakukan dan kita tinggalkan buat anak cucu kelak. Dari ragam buku kepada ragam ide dan buah pikir mengalir kepada ragam langkah kongkret. Soekarno dan Hatta sesungguhnya adalah sahabat karib namun mereka berbeda pandangan dan berbeda jalan. Namun hal itu tidak membuat mereka bermusuhan. Soekarno dan Hatta mengerti posisi masing-masing. Hatta adalah seorang sosialis sedangkan Soekarno adalah seorang pemimpin revolusioner.

Soekarno juga adalah pencinta buku. Namun Hatta lebih cinta kepada buku. Hatta adalah seorang rasional sedangkan Soekarno cenderung kepada mistik. Dari banyak peninggalan Hatta, tulisan adalah yang paling berharga. Ia masih hidup di benak rakyat Indonesia. Mengandaikan Hatta kembali hadir di tengah-tengah kita hanya sebuah angan, semua pemikirannya masih kita dapat baca dalam bentuk buku. Hatta sudah hadir dalam pemikirannya dalam buku berkembang menjadi salah satu dari empat kasih kita di dunia ini. Indonesia – Buku – Pasangan yang kamu kasihi – dan? Ponsel mungkin?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.