Di antara para
pendiri bangsa ini, mungkin Bung Hatta yang paling mencintai buku. Setidaknya
ada empat kekasih Bung Hatta: Indonesia, rakyat Indonesia, buku, dan Rahmi
Hatta. Cinta Bung Hatta terhadap buku demikian tinggi sehingga ketika dibuang
ke Digoel ia sampai membawa empat peti besar berisi buku-bukunya. Entah Hatta
tahu bahwa keintiman beliau dengan buku-buku berbuah pemikiran yang membantu
teman akrabnya membawa Indonesia menuju kemerdekaan.
Marilah
kita berandai, andai Hatta hadir ditengah-tengah kita—Indonesia di era digital.
Saat itu umurnya 17 belas tahun, buku-buku bahasa dari sang ayah dan buku
ekonomi menjadi teman yang menemani jalan juang Hatta. Hatta adalah salah satu
anak Indonesia beruntung yang mengambil keuntungan dari kesempatan berteman buku—tak
banyak anak Indonesia pada jaman Belanda bisa berteman dengan pendidikan
apalagi akrab dengan buku. Situasi mirip dengan masa ini—buku adalah bara
langka walau aksesnya tak terbatas—sosial media, ponsel dan konten lain pada
masa kini terlihat lebih menarik. Tetapi tentu Hatta tak mengutamakan itu,
andai Hatta ada lagi, ia tentu tak mau pengetahuannya dibatasi kuota internet.
Buku yang
dibaca Hatta membuahkan pikiran murni—membentuk bagaimana cara Hatta memandang
Indonesia. Kegemaran Bung Hatta membaca dan menulis membawanya kepada dunia
pergerakan dan intelektual di Indonesia. Keintimannya dengan buku berbuah
pemikiran-pemikiran dan tulisan dengan nyawa yang membuat Belanda rapat
panjang. Hatta menggunakan buku sebagai referensi bagi pemikiran-pemikirannya.
Tapi bukan berarti Hatta tak mempunyai pendapatnya sendiri. Hatta mengelaborasi
pandangan para intelektual di masa lampau dan menciptakan pemikirannya sendiri.
Mungkin
masa kini anak-anak muda ingin lebih realistis—meninggalkan buku yang dilabeli
hanya sekedar teori dan jauh berbeda
dengan kenyataan dunia. Ya Hatta pun berpikir demikian. Anti-teori namun bukan berarti anti ilmu.
Kalau kita baca tulisan-tulisan Hatta, ia amat jarang mengutip pendapat
tokoh-tokoh pemikir tertentu. Gagasan-gagasan cemerlangnya berasal dari
pikirannya sendiri. Walaupun Hatta banyak membaca buku, ia tidak kehilangan
orisinalitas pemikirannya. Buku yang mengajarkan kita dan Hatta untuk melihat
dunia tak harus membuat kita lupa untuk berpijak pada masalah sekitar, masalah
Indonesia.
Tulisan-tulisan
Hatta mencerminkan idealisme tinggi akan kemerdekaan Indonesia. Tulisan-tulisan
Hatta dibaca luas oleh berbagai kalangan terpelajar di kota-kota besar di
Indonesia. Hatta adalah serang konseptor. Ia tidak mengandalkan kemampuan
bicara tapi kemampuannya menulis. Kemampuannya menulis ini yang jarang dimiliki
kaum pergerakan lainnya. Soekarno memang menulis, akan tetapi ia lebih menawan
dalam orasinya di mana-mana dalam membangkitkan semangat perjuangan rakyat.
Sedangkan Hatta seorang penulis yang lebih intelektual yang kadang kala
tulisannya dipertimbangkan oleh banyak kalangan terutama dari kalangan masyarakat
terpelajar.
Gagasan
besar lahir dari ratusan buku-buku ekonomi koleksi Hatta dan kemudian diolah
menjadi sebuah pemikiran orisinal. Mendamba lahir Hatta baru di Indonesia hanya
adalah sebuah angan. Langkah tepat adalah bagaimana kita dan buku-buku digital
dapat membentuk pola pikir jujur—sesuai dengan kesenangan dan hasrat setiap
pribadi. Jika Hatta menjadikan ketertarikannya terhadap ekonomi dan politik
menjadi landasan pemikiran beliau untuk membangun bangsa—terlebih kita yang
pekerjaan dan hobi kini lebih beragam dan jutaan bacaan bisa kita dapat dalam
mesin pencari Google dan jaringan internet lainnya.
Beragam
ide dan buah pikir sudah jauh-jauh hari membentuk bangsa kita dalam
keberagaman. Sebuah hal yang seharusnya kita lakukan dan kita tinggalkan buat
anak cucu kelak. Dari ragam buku kepada ragam ide dan buah pikir mengalir
kepada ragam langkah kongkret. Soekarno dan Hatta sesungguhnya adalah sahabat
karib namun mereka berbeda pandangan dan berbeda jalan. Namun hal itu tidak
membuat mereka bermusuhan. Soekarno dan Hatta mengerti posisi masing-masing.
Hatta adalah seorang sosialis sedangkan Soekarno adalah seorang pemimpin
revolusioner.
Soekarno
juga adalah pencinta buku. Namun Hatta lebih cinta kepada buku. Hatta adalah
seorang rasional sedangkan Soekarno cenderung kepada mistik. Dari banyak
peninggalan Hatta, tulisan adalah yang paling berharga. Ia masih hidup di benak
rakyat Indonesia. Mengandaikan Hatta kembali hadir di tengah-tengah kita hanya
sebuah angan, semua pemikirannya masih kita dapat baca dalam bentuk buku. Hatta
sudah hadir dalam pemikirannya dalam buku berkembang menjadi salah satu dari
empat kasih kita di dunia ini. Indonesia – Buku – Pasangan yang kamu kasihi –
dan? Ponsel mungkin?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar