Di mana
sawah luas menghijau/Di mana bukit biru menghimbau/Itu tanahku, tumpah
darahku/Tanah pusaka yang kaya raya/Harum namanya, Indonesia1
Indah
terdengar lirik lagu “Indonesia Tumpah Darahku” karya Ibu Sud (1908-1993),
seorang pemusik, pencipta lagu, penyiar radio, dramawan, dan seniman batik
Indonesia. Lewat lagu tersebut, wanita yang dikenal sebagai tokoh musik tiga
zaman itu2 menuturkan kepada kita warisan tanah tumpah darah yang
kaya raya, berhiaskan sawah luas dan bukit biru. Cita-cita besar merebak dari
lirik Ibu Sud demi harumnya Indonesia, tanah pusaka kita.
Menapaki
usia 70 tahun, tanah pusaka kita tampaknya kian lama tak lagi kaya, apalagi
kaya raya. Sawah-sawah berganti gedung bertingkat dan perumahan, bukit-bukit
gersang—sama sekali tak tampak indah—bentangan langit bersambut asap polusi.
Jika tanah tumpah darah Indonesia adalah manusia, tentulah ia rindu kembali
mengharum, dengan kabar-kabar baik tentang namanya tersebar ke seluruh dunia.
Harum tanah
pusaka memang harus tercium lagi di negeri-negeri lain. Maka mewarisi
pulau-pulau zamrud khatulistiwa ini bukanlah perkara kecil. Kita, sebagai ahli
waris, memiliki kewajiban dan tanggung jawab besar untuk menjaganya,
memastikannya tetap kaya raya, dan menyemerbakkan keharuman namanya. Menjaga
tanah pusaka Indonesia, layaknya seorang anak menjaga pusaka orang tuanya,
harus kita lakukan dengan mengolah kekayaan alam Indonesia secara tepat guna
demi kesejahteraan rakyat semesta. Kita harus mempertahankan kesatuan bangsa,
karakter baik bangsa (ramah, tenggang rasa, dsb.), dan budaya baik bangsa
sebagai modal pembangun negeri.
Indonesia
harus jadi rumah yang nyaman bagi seluruh penduduknya, yakni kita semua.
Sawahnya bagai tempat kita beristirahat, bukitnya tempat kita bersenda gurau,
dan langitnya tempat kita menaruh harapan. Memastikan tanah pusaka Indonesia
tetap kaya raya harus kita lakukan dengan melestarikan lingkungan dan mengelola
sumber daya alam sebaik-baiknya. Untuk itu kita harus memberlakukan sistem
ekonomi yang tepat, mengemas dan memasarkan produk dalam negeri secara kreatif,
membuat peraturan niaga yang menguntungkan bangsa, dll.
Kekayaan
negeri Indonesia bukan untuk dinikmati sekarang saja, tetapi harus bisa
dinikmati juga oleh generasi-generasi pewaris di masa mendatang. Tentulah kita
ingin mereka terus bisa melihat kenyataan subur makmur Indonesia—“sawah luas
menghijau” dan “bukit biru menghimbau”—di zaman mereka. Menyemerbakkan
keharuman nama tanah pusaka Indonesia harus kita lakukan dengan karya-karya
bermutu kelas dunia. Kita harus meraih pencapaian-pencapaian besar di bidang
olahraga, militer, akademi, seni, industri, dll. demi kemasyhuran
Indonesia di jagat.
Harum
Indonesia adalah harum kita. Artinya, perilaku dan pola pikir yang harum, tidak
busuk, harus mewarnai hidup kita—supaya negeri kita pun harum. Biarlah harumnya
seperti aroma lembut padi di sawah hijau dan aroma segar kembang di bukit biru.
Tujuh puluh tahun sudah Indonesia merdeka menjadi pusaka kita yang terindah.
Merayakan kemerdekaannya, lantunan lagu karya Ibu Sud kiranya kembali
mengingatkan kita tentang kewajiban mengharumkan tanah air tercinta. Cita-cita
besar dari lirik “Indonesia Tumpah Darahku” selamanya harus menjadi cita-cita
kita, para pewaris pusaka raya nan harum.
Catatan
1 Ibu Sud. Indonesia Tumpah Darahku. Lirik
bisa dilihat, antara lain, dalam situs Lirik Lagu Indonesia.
<https://liriklaguindonesia.net/ibu-sud-indonesia-tumpah-darahku.htm>
2 Karya dan pengabdian Ibu Sud
bagi Indonesia membentang dari zaman Belanda, zaman Jepang, hingga zaman
Indonesia merdeka. Lihat “Sejarah Ibu Soed Pencipta ‘Tanah Air’” dalam situs Indonesia Berdendang.
<http://www.indonesiaberdendang.com/2013/03/sejarah-ibu-soed-pencipta-tanah-air/>.
Tulisan yang saya tulis ini juga dapat ditemui di
Komunitas Ubi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar