Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Sabtu, 25 Juli 2015

Susahnya Melawan Asap



Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, berdasarkan data yang dihimpun, Sumatera Selatan (Sumsel) berada di perangkat ke-3 kategori luas hutan atau lahan yang terbakar, setelah Kalimantan Tengah dan Papua. Kebakaran hutan yang tak kunjung larut membuat Asia Tenggara mendapat sorotan dunia. Mata dunia mengarah pada Indonesia—bukan karena persiapan perayaan kemerdekaan—melainkan bentangan lautan kabut di langit Indonesia. Sesuatu hal yang lazim ditemui di pertengahan tahun. Kabut asap sudah seperti kawan lama yang senantiasa mampir singgah ke rumah untuk bercakap-cakap, melepas rindu.

Memasuki musim peralihan atau pancaroba sudah hal rutin setiap tahun bagi masyarakat Kalimantan dan Sumatra menjadikan asap sebagai santapan romantis di pagi hari bahkan hingga matahari terbenam. Amat romantis. Lantas kenapa baru kali ini se-Indonesia ribut? Satu jawaban. Teknologi. Sosial media. Pekat asap ini semakin lama kian parah setiap tahunnya. Perusahaan-perusahaan pekebunan semakin bandel untuk memainkan bensin dan api untuk membuka lahan. Kepulan asap ini yang menyulut tanda pagar (tagar) melawan asap membumbung di sosial media setiap harinya.

Pada tanggal 14 September 2015, Indeks Standar Pencemaran Udara di Kota Pekanbaru, Riau mencapai 984 psi yang jauh berada di atas batas kualitas udara sehat yang seharusnya lebih kecil dari 50 psi. Pada tanggal 15 September Indeks Pencemaran Udara di Kuala Selangor, Malaysia mencapai angka 200. Asap melingkupi Indonesia, Malaysia hingga Singapura. Hal ini sudah berlangsung selama 20 tahun lamanya. Mungkin Sang anak pak direktur perusahaan kini sudah besar dan sudah siap menggantikan ayahnya mengelola perusahaan-perusahaan lagi. Tentu tak akan ada asap jika tak ada api.

Berawal dari sulutan kebakaran hutan dan musim kemarau menyebabkan polusi asap terjadi hampir setiap tahun di Indonesia, terutama di provinsi-provinsi yang pembakaran lahan ilegal dilakukan secara rutin untuk melakukan peladangan. Pembebasan lahan untuk ditanami kelapa sawit merupakan salah satunya. Hampir sepanjang tahun hal ini berkontribusi besar pada jumlah polusi yang dihasilkan. Berkontribusi besar pada jumlah setiap orang yang terserang penyakit pernapasan bahkan hingga tewas.


Melawan asap tak semudah tanda pagar yang begitu cepat menjadi barisan topik dunia populer di sosial media. Melawan asap sesulit pada kenyataannya. Mengharapkan pemerintah untuk menyidik 400 perusahaan-perusahaan perkebunan yang diduga bertanggung jawab pada kebakaran hutan itu benar-benar perkara rumit. Menangkap dan membuat asap mengaku perbuatan dan kemudian menjauhkan hukuman itu sulit. Mengapa susah? Bukankah di era baru revolusi mental ini semua akan terlihat lebih cepat beres?

Indonesia telah menjadi negara pengekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia sejak tahun 2006. Nilai ekspor kelapa sawit ke seluruh dunia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Kelapa sawit merupakan komoditas penghasil minyak nabati paling efisien di dunia dan penghasil devisa negara. Industri kelapa sawit mampu menyerap empat setengah juta hektar di sektor perladangan. “Sawit ini komoditas strategis jadi harus didukung. Sawit telah menyumbang devisa sebesar 250 triliun Rupiah di tahun 2014," ujar Amran Sulaiman, sang menteri pertanian. Penyerapan tenaga kerja ini akan lebih besar termasuk tenaga kerja di sektor perusahaan dan jasa di bidang agribisnis kelapa sawit. Hal yang dinilai amat mendorong berkembangnya ekonomi berbasis sawit  seperti Sumatera dan Kalimantan. Celaka kita ini!

Ya pemerintah dan menteri kehutanan terlihat cekatan dalam menanggapi kabut asap ini. Pemberian sanksi itu merupakan langkah cepat, cukup menjanjikan. Namun apakah langkah ini akan menghantui perusahaan-perusahaan besar penghasil devisa negara dan penggerak ekonomi? Melawan asap tak semudah perkiraan, kita sudah mengetahui bahwa asap akan datang setiap tahunnya tanpa pernah bergeser tanggal kedatangannya—namun tak pernah tahu kapan akan berakhir. Perlu langkah jelas untuk ini tanpa harus membakar hutan tanpa harus memutuskan roda ekonomi di Sumatra dan Kalimantan.

Melawan asap tak harus sehebat tanda pagar di sosial media yang baru muncul ketika asap sudah membumbung tinggi dan korban berjatuhan. Bukan perkara penyebaran masker dan tabung oksigen untuk tahun-tahun berikutnya melainkan bagaimana membatasi lahan perkebunan. Membatasi bensin dan sulut sebelum jatuh menjadi api dan asap. Jika seperti ini terus tidakkah kita dapat menjadikan kedatangan  asap sebagai hari libur nasional? Yang kita selalu rayakan tiap tahun sebagai bibit awal devisa negara. Hai. Tahun depan bagaimana kabarmu asap? Mampirlah. Duduk dan kita bercakap-cakap sembari menikmati es teh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.