Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti
Nurbaya mengatakan, berdasarkan data yang dihimpun, Sumatera Selatan
(Sumsel) berada di perangkat ke-3 kategori luas hutan atau lahan yang terbakar,
setelah Kalimantan Tengah dan Papua. Kebakaran hutan yang tak kunjung larut membuat Asia Tenggara mendapat
sorotan dunia. Mata dunia mengarah pada Indonesia—bukan karena persiapan
perayaan kemerdekaan—melainkan bentangan lautan kabut di langit Indonesia.
Sesuatu hal yang lazim ditemui di pertengahan tahun. Kabut asap sudah seperti
kawan lama yang senantiasa mampir singgah ke rumah untuk bercakap-cakap,
melepas rindu.
Memasuki
musim peralihan atau pancaroba sudah hal rutin setiap tahun bagi masyarakat
Kalimantan dan Sumatra menjadikan asap sebagai santapan romantis di pagi hari
bahkan hingga matahari terbenam. Amat romantis. Lantas kenapa baru kali ini
se-Indonesia ribut? Satu jawaban. Teknologi. Sosial media. Pekat asap ini
semakin lama kian parah setiap tahunnya. Perusahaan-perusahaan pekebunan
semakin bandel untuk memainkan bensin dan api untuk membuka lahan. Kepulan asap
ini yang menyulut tanda pagar (tagar) melawan asap membumbung di sosial media
setiap harinya.
Pada
tanggal 14 September 2015, Indeks Standar Pencemaran Udara di Kota Pekanbaru,
Riau mencapai 984 psi yang jauh berada di atas batas kualitas udara sehat yang
seharusnya lebih kecil dari 50 psi. Pada tanggal 15 September Indeks Pencemaran
Udara di Kuala Selangor, Malaysia mencapai angka 200. Asap melingkupi Indonesia,
Malaysia hingga Singapura. Hal ini sudah berlangsung selama 20 tahun lamanya. Mungkin
Sang anak pak direktur perusahaan kini sudah besar dan sudah siap menggantikan
ayahnya mengelola perusahaan-perusahaan lagi. Tentu tak akan ada asap jika tak
ada api.
Berawal
dari sulutan kebakaran hutan dan musim kemarau menyebabkan polusi asap terjadi
hampir setiap tahun di Indonesia, terutama di provinsi-provinsi yang pembakaran
lahan ilegal dilakukan secara rutin untuk melakukan peladangan. Pembebasan
lahan untuk ditanami kelapa sawit merupakan salah satunya. Hampir sepanjang
tahun hal ini berkontribusi besar pada jumlah polusi yang dihasilkan.
Berkontribusi besar pada jumlah setiap orang yang terserang penyakit pernapasan
bahkan hingga tewas.
Melawan
asap tak semudah tanda pagar yang begitu cepat menjadi barisan topik dunia
populer di sosial media. Melawan asap sesulit pada kenyataannya. Mengharapkan
pemerintah untuk menyidik 400 perusahaan-perusahaan perkebunan yang diduga
bertanggung jawab pada kebakaran hutan itu benar-benar perkara rumit. Menangkap
dan membuat asap mengaku perbuatan dan kemudian menjauhkan hukuman itu sulit.
Mengapa susah? Bukankah di era baru revolusi mental ini semua akan terlihat
lebih cepat beres?
Indonesia
telah menjadi negara pengekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia sejak
tahun 2006. Nilai ekspor kelapa sawit ke seluruh dunia dari tahun ke tahun
semakin meningkat. Kelapa sawit merupakan komoditas penghasil minyak nabati
paling efisien di dunia dan penghasil devisa negara. Industri kelapa sawit
mampu menyerap empat setengah juta hektar di sektor perladangan. “Sawit ini
komoditas strategis jadi harus didukung. Sawit telah menyumbang devisa sebesar 250
triliun Rupiah di tahun 2014," ujar Amran Sulaiman, sang menteri
pertanian. Penyerapan tenaga kerja ini akan lebih besar termasuk tenaga kerja
di sektor perusahaan dan jasa di bidang agribisnis kelapa sawit. Hal yang
dinilai amat mendorong berkembangnya ekonomi berbasis sawit seperti
Sumatera dan Kalimantan. Celaka kita ini!
Ya
pemerintah dan menteri kehutanan terlihat cekatan dalam menanggapi kabut asap
ini. Pemberian sanksi itu merupakan langkah cepat, cukup menjanjikan. Namun
apakah langkah ini akan menghantui perusahaan-perusahaan besar penghasil devisa
negara dan penggerak ekonomi? Melawan asap tak semudah perkiraan, kita sudah
mengetahui bahwa asap akan datang setiap tahunnya tanpa pernah bergeser tanggal
kedatangannya—namun tak pernah tahu kapan akan berakhir. Perlu langkah jelas
untuk ini tanpa harus membakar hutan tanpa harus memutuskan roda ekonomi di
Sumatra dan Kalimantan.
Melawan
asap tak harus sehebat tanda pagar di sosial media yang baru muncul ketika asap
sudah membumbung tinggi dan korban berjatuhan. Bukan perkara penyebaran masker
dan tabung oksigen untuk tahun-tahun berikutnya melainkan bagaimana membatasi
lahan perkebunan. Membatasi bensin dan sulut sebelum jatuh menjadi api dan
asap. Jika seperti ini terus tidakkah kita dapat menjadikan kedatangan asap sebagai hari libur nasional? Yang kita
selalu rayakan tiap tahun sebagai bibit awal devisa negara. Hai. Tahun depan
bagaimana kabarmu asap? Mampirlah. Duduk dan kita bercakap-cakap sembari
menikmati es teh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar