Fakta di atas
pun menunjukkan angka-angka yang amat tinggi. Namun sebenarnya tak pantas
diperdebatkan, tak perlu membahas siapa peringkat pertama pengguna media sosial
di dunia. Toh jumlah kependudukan di Indonesia pun cukup banyak. Lebih banyak
dari Jepang sebagai perancang teknologi dan bahkan lebih banyak dari Kanada dan
benua Australia. Sosial media di masyarakat kenal internet memang seperti air
putih setelah makan, kegiatan adalah menu utamanya. Dalam setiap kegiatan sosial
media selalu menjadi kegiatan tambahan setelah beraktivitas. Unggah status,
foto dan video berdempetan, berimpit memenuhi ruang media sosial.
Kebiasaan
Indonesia untuk bercakap-cakap dan berkomunikasi mungkin salah satu alasan
mengapa Indonesia begitu tertarik bermedia sosial. Semarak lintas internet di
langit khatulistiwa pun diramaikan kedatangan aplikasi-aplikasi percakapan
setengah media sosial. Aplikasi-aplikasi ini menambah semarak lalu lintas sinyal internet di angkasa Indonesia.
Patutlah setiap media sosial yang muncul lantas dikerubungi oleh penikmatnya. Jumlah media sosial yang masuk dan kemudian
digandrungi oleh masyarakat Indonesia bukanlah sebuah masalah utamanya. Masalah
utama kini adalah seberapa bermanfaatnya ketergantungan kita terhadap media
sosial. Apalah arti air putih yang berlebihan setelah kita makan? Bukankah
membuat mual?
Media sosial
untuk anak-anak muda dan penggunanya kini akan kian bermasalah tanpa mengetahui
fungsi dari sosial media sejatinya. Seperti situs blogger atau wordpress yang
dipergunakan untuk situs porno atau mengunggah dan menyebarkan karya seni
bajakan. Atau seperti facebook yang
lebih sering melintas video seronok dan unggah-unggah penuh kebencian dari
pengguna ketimbang ajang reuni dan percakapan nan harmonis. Mungkin seperti twitter dengan konsep unik untuk berbagi
informasi dan ilmu malah sering menjadi ajang mencela lawan yang berbeda
pendapat dengan kita, menjadi sebuah arena baru dalam perang digital. Serakah
bermedia sosial menghilangkan keindahan media sosial ketika pertama kalinya ia
dibuat. Media sosial yang hadir untuk menutupi kehausan kita akan informasi
lebih cepat dan komunikasi lebih ringkas kini terlihat berlebihan karena
serakah menggunakannya.
Media sosial
sepatutnya dapat menjadi jembatan untuk berkarya. Tanpa karya, bermedia sosial
lantas seperti menganyam keranjang tanpa dijual atau tanpa menjadikannya hiasan
rumah berisi buah. Kecanduan kita akan media sosial seharusnya seiring dengan
karya yang dihasilkan dalam media sosial. Bermedia sosial. Seharusnya pun sosial
pula. Tak lagi hanya sekedar asyik dengan diri sendiri, mendapatkan informasi
dari media sosial dan sekeliling kita menjadikan informasi yang kita dapat
menjadi relevan dan berguna. Mengikuti arus media sosial pun menjadi tak
masalah jika hadir sebuah buah karya baru dan tren media.
Bermedia sosial
seharusnya bias amat menyenangkan dan bermanfaat. Kegandrungan dan kecanduan
kita memang mungkin tak dapat diobati lagi, maka dari itu alangkah eloknya jika
bias dimanfaatkan. Memahami keberagaman pandangan dan pola pikir setiap
pengguna media sosial adalah hal yang menarik bagi saya. Bermedia sosial memang
seperti minum air, memulihkan dan mengisi kembali tenaga dan suntuk—namun hal
berbeda jika terlalu berlebihan dan serakah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar