“Sedikit-sedikit pencitraan,
apa-apa jadi bahan pemberitaan. Pasti bakal jadi calon legislatif atau presiden
” Begitu ujar seorang teman saya ketika melihat pemberitaan tokoh yang
turut mondar-mandir dalam bursa pencalonan presiden. Memang ada benarnya yang
diceletukkan teman saya. Menemani perjalanan ke pemilihan legislatif dan
presiden membuat para tokoh ini kerap lebih sering berbakti sosial.
Tapi bakti bukan sembarang bakti, sosial bukanlah sekedar sosial
(membantu sesama). Harus ada kamera dan wartawan dari berbagai media untuk
pemanisnya. Dengan harapan, media akan menceritakan bahwa mereka orang
baik—orang yang peduli sesama, memiliki bakti untuk negara—sungguh keterlaluan!
Keterlaluan ketika kita melihat dibalik penderitaan sesama kita, mereka
membantu sekedar upaya meningkatkan kepopuleran.
Kisah ini mengingatkan saya kepada sang legenda komedi dunia, Charlie
Chaplin. Dengan berkosmetik bedak tebal dan kumis minimalis, komedian dengan
nama lengkap Sir Charles Spencer
Chaplin ini menghibur dunia.
Tentu kelucuan dan dandanan seperti itu cuma digunakan ketika di atas panggung,
ketika sedang di depan ribuan penonton dan penikmat komedi.
Charlie Chaplin dengan
penampilan tanpa suara itu berhasil menggema dan menghibur para penonton. Tapi Charlie
Chaplin yang terlihat membisu itu, bukanlah sosok sebenarnya. Hanya sekedar
kosmetik! Sekedar topeng! Charles Spencer Chaplin tidaklah bisu, karena tidak mungkin orang
bisu memiliki empat orang istri. Charles Spencer Chaplin adalah sosok yang sangat berbeda Charlie
Chaplin dengan ketika berada di belakang panggung.
Memang yang dibutuhkan masyarakat adalah pimpinan autentik, yang mau
melayani masyarakat. Bukan mengambil peran, seperti Sir Charles Spencer Chaplin
dengan kumis minimalis dan bedak tebalnya. Citra autentik harus memimpin dengan tampil apa adanya dan dekat
dengan rakyat. Mereka juga siap berjuang, berdebat, dan melakukan persuasi agar
idenya dapat diterima masyarakat. Mereka tidak membangun jarak dengan massa.
Tidak hanya turun menghadap massa hanya bermodalkan media, wartawan dan tentu
tidak lupa. Bedak tebal dan senyum.
Bagaimana dengan tokoh kita di
Indonesia, apa benar mereka lebih sering sekedar memakai kosmetik untuk tampil
di atas panggung? Ketimbang memasang autentik mereka? Lebih serang memakai
bedak tebal untuk menutupi bopeng di wajah. Coba lihat wajah para calon
legislatif, lebih sering pamer senyum ketimbang visi dan misi. Lebih sering bakti
sosial sebelum menjabat. Sudah menjabat malah lebih sering sakiti masa.
Kosmetik atau Autentik? Memang
sulit untuk membedakan kedua hal ini. Tapi paling pasti adalah, autentik dan
sifat asli, akan terbukti oleh waktu. Mereka tidak akan cuma muncul-muncul di
peristiwa atau waktu tertentu. Autentik tidak butuh panggung yang disorot oleh
ratusan kamera, dibangun dengan megah dan tata cahaya yang apik. Autentik atau
keaslian tidak akan berakhir setelah momen tertentu. Autentik sejatinya adalah
berbakti—benar-benar tanpa mengharapkan citra dan harapan jabatan—Padamu negeri kami
berjanji. Padamu negeri kami berbakti. Padamu negeri kami mengabdi. Lagu
yang penuh hikmat ini sangat tepat dan mungkin perlu menjadi sumpah para calon
legislatif ataupun calon presiden.
Hah.. Sekedar menarik napas panjang tak cukup untuk
membedah para calon-calon penentu kebijakan bangsa ini. Tapi doa saya dan teman
yang berceletuk di atas tadi, semoga para pelakon berkosmetik dengan segala
kepura-puraan mereka itu tidak tersedak debu bedak sendiri. Karena kelak
masyarakat Indonesia akan tahu mana kosmetik mana autentik. Tak bisa lagi
ditipu oleh kosmetik mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar