Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Kamis, 13 Maret 2014

Kosmetik Atau Autentik

Sedikit-sedikit pencitraan, apa-apa jadi bahan pemberitaan. Pasti bakal jadi calon legislatif atau presiden ” Begitu ujar seorang teman saya ketika melihat pemberitaan tokoh yang turut mondar-mandir dalam bursa pencalonan presiden. Memang ada benarnya yang diceletukkan teman saya. Menemani perjalanan ke pemilihan legislatif dan presiden membuat para tokoh ini kerap lebih sering berbakti sosial.

Tapi bakti bukan sembarang bakti, sosial bukanlah sekedar sosial (membantu sesama). Harus ada kamera dan wartawan dari berbagai media untuk pemanisnya. Dengan harapan, media akan menceritakan bahwa mereka orang baik—orang yang peduli sesama, memiliki bakti untuk negara—sungguh keterlaluan! Keterlaluan ketika kita melihat dibalik penderitaan sesama kita, mereka membantu sekedar upaya meningkatkan kepopuleran.

Kisah ini mengingatkan saya kepada sang legenda komedi dunia, Charlie Chaplin. Dengan berkosmetik bedak tebal dan kumis minimalis, komedian dengan nama lengkap Sir Charles Spencer Chaplin ini menghibur dunia. Tentu kelucuan dan dandanan seperti itu cuma digunakan ketika di atas panggung, ketika sedang di depan ribuan penonton dan penikmat komedi.

Charlie Chaplin dengan penampilan tanpa suara itu berhasil menggema dan menghibur para penonton. Tapi Charlie Chaplin yang terlihat membisu itu, bukanlah sosok sebenarnya. Hanya sekedar kosmetik! Sekedar topeng! Charles Spencer Chaplin tidaklah bisu, karena tidak mungkin orang bisu memiliki empat orang istri. Charles Spencer Chaplin adalah sosok yang sangat berbeda Charlie Chaplin dengan ketika berada di belakang panggung.

Memang yang dibutuhkan masyarakat adalah pimpinan autentik, yang mau melayani masyarakat. Bukan mengambil peran, seperti Sir Charles Spencer Chaplin dengan kumis minimalis dan bedak tebalnya. Citra autentik harus memimpin dengan tampil apa adanya dan dekat dengan rakyat. Mereka juga siap berjuang, berdebat, dan melakukan persuasi agar idenya dapat diterima masyarakat. Mereka tidak membangun jarak dengan massa. Tidak hanya turun menghadap massa hanya bermodalkan media, wartawan dan tentu tidak lupa. Bedak tebal dan senyum.

Bagaimana dengan tokoh kita di Indonesia, apa benar mereka lebih sering sekedar memakai kosmetik untuk tampil di atas panggung? Ketimbang memasang autentik mereka? Lebih serang memakai bedak tebal untuk menutupi bopeng di wajah. Coba lihat wajah para calon legislatif, lebih sering pamer senyum ketimbang visi dan misi. Lebih sering bakti sosial sebelum menjabat. Sudah menjabat malah lebih sering sakiti masa.

Kosmetik atau Autentik? Memang sulit untuk membedakan kedua hal ini. Tapi paling pasti adalah, autentik dan sifat asli, akan terbukti oleh waktu. Mereka tidak akan cuma muncul-muncul di peristiwa atau waktu tertentu. Autentik tidak butuh panggung yang disorot oleh ratusan kamera, dibangun dengan megah dan tata cahaya yang apik. Autentik atau keaslian tidak akan berakhir setelah momen tertentu. Autentik sejatinya adalah berbakti—benar-benar tanpa mengharapkan citra dan harapan jabatan—Padamu negeri kami berjanji. Padamu negeri kami berbakti. Padamu negeri kami mengabdi. Lagu yang penuh hikmat ini sangat tepat dan mungkin perlu menjadi sumpah para calon legislatif ataupun calon presiden.

Hah.. Sekedar menarik napas panjang tak cukup untuk membedah para calon-calon penentu kebijakan bangsa ini. Tapi doa saya dan teman yang berceletuk di atas tadi, semoga para pelakon berkosmetik dengan segala kepura-puraan mereka itu tidak tersedak debu bedak sendiri. Karena kelak masyarakat Indonesia akan tahu mana kosmetik mana autentik. Tak bisa lagi ditipu oleh kosmetik mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.