Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Rabu, 09 April 2014

Silu Pilu Pemilu - Mari Mencoblos!

Usai sudah hiruk kampanye partai-partai politik. Silu dari para petinggi partai terhadap partai lain sudah memudar seiring memasuki hari-hari tenang sebelum hari pencoblosan. Pemilihan umum (pemilu) pun bukan hanya pesta demokrasi, tapi juga pesta akronim (dan singkatan). Menjelang dan saat pemilu lah kita menyaksikan bangsa kita memproduksi akronim secara besar-besaran.

Sejatinya akronim bukanlah kata. Memang kerap menjadi keringkasan dalam berkomunikasi. Tetapi sebenarnya, Ia hanya kata semu yang proses morfologisnya menimbulkan tiga kecenderungan bunyi. Pencomotan kata dalam pembentukan akronim pun menggiring kita kepada perangkap bunyi. Misalnya, “Golput” (Golongan Putih) beralusi bunyi seperti kalut atau gol atau gol kalut.

Tetapi bukan itulah pilu utama dari pemilu. Kita tinggalkan sejenak para calon dengan singkatan-singkatan yang membingungkan itu. Saya justru penasaran apakah para kawula muda ini akan mencoblos? Ketakutan saya (mungkin kita) bahwa golongan putih makin lama mendominasi partisipasi warga dalam pesta demokrasi ini.

Golongan putih pada dasarnya adalah sebuah gerakan moral yang dicetuskan pada 3 Juni 1971 di Balai Budaya Jakarta, sebulan sebelum hari pemungutan suara pada pemilu pertama di era Orde Baru dilaksanakan.

Jika mengutip Majalah Tempo : minimnya partisipasi pemilih pada tingkat paling ekstrem akan membuat demokrasi kehilangan rohnya. Suara terbanyak adalah mereka yang menarik selimut pada hari pencoblosan dan sang pemenang adalah mereka yang dipilih sekelompok kecil orang.  Golput di Indonesia pun tercetus pada tahun 1971 adalah sebagai perlawanan politik terhadap rezim Soeharto yang otoriter. Ketika atas nama demokrasi, negara dan militer membantu kemenangan Golkar.

Silu baru di era demokrasi dan dari beberapa pemilu terakhir. Kelas menengah menjadi penyumbang terbanyak dalam angka Golput ini. Banyak mereka lebih memilih Presiden daripada Partai. Jika diterjemahkan, Presiden yang terpilih tidak akan didukung partai yang memiliki suara mayoritas di DPR. Ini bakal merepotkan. Berbeda dengan masyarakat akar rumput yang cenderung antusias pada pileg atau pilpres. Lebih dari itu. Jika mengingat pesan Bung Karno. Sesungguhnya pemilihan umum bukan tempat untuk ajang pertempuran partai-partai yang bisa memecah persatuan bangsa. Seperti akronim pemilihan umum, tidaklah fasik kalor disebut pilum atau pemilum. Tidak juga pilu dan akan segera beralusi bunyi dengan kata pilu yang kita sudah tahu maknanya.

Akhirulkalam, bagaimana semestinya sikap kita terhadap akronim dan Golput? Saya berpikir betapa menyedihkannya jika wakil rakyat yang terpilih, bukanlah representasi yang kita inginkan. Jika kita apatis dalam proses bernegara, kritik dan suara kita kelak seolah tidak memiliki legitimasi. Karena itu peran warga negara menjadi penting, dengan memberikan suara kita pada pemilu. Kita dipaksa untuk menjaga hak-hak kita. Pun saya menerima akronim sebagai bentuk kreativitas dan permainan makna. Mari kita pergi mencoblos pada hari pencoblosan !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.