Sejatinya akronim bukanlah kata. Memang kerap menjadi keringkasan dalam
berkomunikasi. Tetapi sebenarnya, Ia hanya kata semu yang proses morfologisnya
menimbulkan tiga kecenderungan bunyi. Pencomotan kata dalam pembentukan akronim pun menggiring kita kepada
perangkap bunyi. Misalnya, “Golput” (Golongan Putih) beralusi bunyi seperti
kalut atau gol atau gol kalut.
Tetapi bukan itulah pilu utama dari pemilu. Kita tinggalkan sejenak para
calon dengan singkatan-singkatan yang membingungkan itu. Saya justru penasaran
apakah para kawula muda ini akan mencoblos? Ketakutan saya (mungkin kita) bahwa
golongan putih makin lama mendominasi partisipasi warga dalam pesta demokrasi
ini.
Golongan putih pada dasarnya adalah sebuah gerakan moral yang dicetuskan
pada 3 Juni 1971 di Balai Budaya Jakarta, sebulan sebelum hari pemungutan suara
pada pemilu pertama di era Orde Baru dilaksanakan.
Jika mengutip Majalah Tempo : minimnya partisipasi pemilih pada tingkat
paling ekstrem akan membuat demokrasi kehilangan rohnya. Suara terbanyak adalah
mereka yang menarik selimut pada hari pencoblosan dan sang pemenang adalah
mereka yang dipilih sekelompok kecil orang. Golput di Indonesia pun tercetus pada tahun
1971 adalah sebagai perlawanan politik terhadap rezim Soeharto yang otoriter.
Ketika atas nama demokrasi, negara dan militer membantu kemenangan Golkar.
Silu baru di era demokrasi dan dari beberapa pemilu terakhir. Kelas
menengah menjadi penyumbang terbanyak dalam angka Golput ini. Banyak mereka
lebih memilih Presiden daripada Partai. Jika diterjemahkan, Presiden yang
terpilih tidak akan didukung partai yang memiliki suara mayoritas di DPR. Ini
bakal merepotkan. Berbeda dengan masyarakat akar rumput yang cenderung antusias
pada pileg atau pilpres. Lebih dari itu. Jika mengingat pesan Bung Karno.
Sesungguhnya pemilihan umum bukan tempat untuk ajang pertempuran partai-partai
yang bisa memecah persatuan bangsa. Seperti akronim pemilihan umum, tidaklah
fasik kalor disebut pilum atau pemilum. Tidak juga pilu dan akan segera beralusi
bunyi dengan kata pilu yang kita
sudah tahu maknanya.
Akhirulkalam, bagaimana semestinya sikap kita terhadap akronim dan
Golput? Saya berpikir betapa menyedihkannya jika wakil rakyat yang terpilih,
bukanlah representasi yang kita inginkan. Jika kita apatis dalam proses
bernegara, kritik dan suara kita kelak seolah tidak memiliki legitimasi. Karena
itu peran warga negara menjadi penting, dengan memberikan suara kita pada
pemilu. Kita dipaksa untuk menjaga hak-hak kita. Pun saya menerima akronim
sebagai bentuk kreativitas dan permainan makna. Mari kita pergi mencoblos pada
hari pencoblosan !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar