Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Senin, 21 April 2014

Mengapa Harus Kartini?

Perempuan ini seorang bangsawan. Mulus di telapak tangan, tanda bahwa dia tak pernah pegang senjata. Kaki perempuan ini pun tak pernah tiarap bersembunyi melawan Belanda di dalam kubangan lumpur. Lantas apakah putri bangsawan Jawa, bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat ini dinobatkan sebagai pahlawan? Karena kita tahu pejabat pada masa itu sangat pro Belanda sebagai pemberi pekerjaan dan gaji.

Hari ini 21 April. Ini membuat satu-satunya hari peringatan untuk menghormati seorang pahlawan (terlebih ini seorang perempuan). Tapi tenanglah tulisan ini bukanlah sebuah gugatan terhadap penokohan Kartini. Mengapa ia terkenal? Bukankah sehari-hari dia hanya duduk diam di rumah—dan menulis untuk mengusir jenuh.

Mari kita sedikit menilik dari kisah pahlawan emansipasi ini. Kartini hidup pada era politik etis. Politik etis adalah politik balas budi pemerintah Belanda terhadap Indonesia, di mana Belanda harus bertanggung jawab atas Indonesia. Salah satu dari ketiga poin itu adalah mendapat hak pendidikan. Kartini memperoleh itu.

Tentu dengan edukasi dari Belanda, Kartini adalah sosok cerdas—banyak membaca dan menulis—namun terkekang. Kartini tak punya cukup banyak teman. Seseorang dilihat dari ucapan dan dari tindakan. Berdasarkan pengumpulan surat dan buku (pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa)  yang dikumpulkan oleh Mr. J.H. Abendanon. Tentu kita bisa memahami Kartini membenci atas pengekangan terhadap wanita. Tapi hal ini tidak sejalan. Kartini terlalu penurut untuk memberontak.

Bahkan ia tak bisa berjuang untuk dirinya sendiri. Kartini penurut dan rela mengikuti suami, bahkan ia mengurungkan niat untuk bisa sekolah di Batavia dan Belanda. Lantas kenapa bisa jadi pahlawan dengan hanya menulis surat? Sementara ada perempuan lain seperti Cut Nyak Dhien, Christina Martha Tiahahu, dan lain-lain mereka berperang berdarah melawan Belanda sampai mati.

Bahasan berbahasa Belanda berjudul Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata) ini menjadi salah satu bacaannya dan pasti cukup berhasil memengaruhi pemikiran seorang Kartini. Kartini tidak menawarkan lengan untuk turut mengusir senjata. Tapi pemikiran dan buah pikir dari seorang Kartini ini luar biasa. Habis Gelap Terbitlah Terang menghadirkan sebuah harapan. Menawarkan sebuah masa depan. Kartini tidak ingin melihat generasi perempuan setelah itu hanya duduk diam seperti dia. Menghadirkan inspirasi untuk semua pembaca perempuan Indonesia. Kecemasan pengamat sejarah hanyalah takut bahwa Kartini cuma simbol yang diangkat oleh Belanda. Ketakutan bahwa Belanda ingin seluruh wanita Indonesia menjadi seperti Kartini, penurut dan tak pernah membangkang.

Terlepas dari semua itu, saya percaya seperti Kartini, bahwa pernikahan adalah jalan terbaik bagi hidupnya dan dia percaya itu selagi memberontak hanya dengan tulisannya. Namun zaman sekarang, tak sedikit wanita cuma ingin memberontak dan menerapkan apa yang Kartini pikirkan dengan cara negatif. Ini jelas salah!

Cobalah kritis dan jangan hanya mengikuti arus. Cobalah lebih membuka pemikiran dan tidak hanya mengikuti aliran pola. Banyak perempuan zaman sekarang ingin menjadi seperti laki-laki, namun bukankah pada hakikat kita memiliki tempat dan porsi masing-masing? Wanita dan laki-laki harus saling mendukung.

Merayakan Hari Kartini nampak seperti mengada-ada, kurang greget dibanding tahun baru dan cenderung terbentur sejarah. Tapi ide Habis Gelap Terbitlah Terang sudah melampau Kartini. Surat ini melebihi alamat teman-teman Kartini di Eropa. Biarlah semangat kumpulan tulisan Kartini membuat perempuan lebih dari perempuan. Berusaha memahami maksud dari Kartini bukan sekedar hafal tanggal peringatan ini. Menduplikasi Kartini pun bukan dengan kebaya atau batik, tetapi juga buah ide dan pemikiran. Demi masa depan perempuan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.