Hari ini 21 April. Ini membuat satu-satunya hari peringatan untuk
menghormati seorang pahlawan (terlebih ini seorang perempuan). Tapi tenanglah
tulisan ini bukanlah sebuah gugatan terhadap penokohan Kartini. Mengapa ia
terkenal? Bukankah sehari-hari dia hanya duduk diam di rumah—dan menulis untuk
mengusir jenuh.
Mari kita sedikit menilik dari kisah pahlawan emansipasi ini. Kartini
hidup pada era politik etis. Politik etis adalah politik balas budi pemerintah
Belanda terhadap Indonesia, di mana Belanda harus bertanggung jawab atas
Indonesia. Salah satu dari ketiga poin itu adalah mendapat hak pendidikan.
Kartini memperoleh itu.
Tentu dengan edukasi dari Belanda, Kartini adalah sosok cerdas—banyak
membaca dan menulis—namun terkekang. Kartini tak punya cukup banyak teman.
Seseorang dilihat dari ucapan dan dari tindakan. Berdasarkan pengumpulan surat
dan buku (pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa) yang dikumpulkan oleh Mr. J.H. Abendanon.
Tentu kita bisa memahami Kartini membenci atas pengekangan terhadap wanita.
Tapi hal ini tidak sejalan. Kartini terlalu penurut untuk memberontak.
Bahkan ia tak bisa berjuang untuk dirinya sendiri. Kartini penurut dan
rela mengikuti suami, bahkan ia mengurungkan niat untuk bisa sekolah di Batavia
dan Belanda. Lantas kenapa bisa jadi pahlawan dengan hanya menulis surat?
Sementara ada perempuan lain seperti Cut Nyak Dhien, Christina Martha Tiahahu,
dan lain-lain mereka berperang berdarah melawan Belanda sampai mati.
Bahasan berbahasa Belanda berjudul Die Waffen Nieder (Letakkan
Senjata) ini menjadi salah satu bacaannya dan pasti cukup berhasil
memengaruhi pemikiran seorang Kartini. Kartini tidak menawarkan lengan untuk
turut mengusir senjata. Tapi pemikiran dan buah pikir dari seorang Kartini ini
luar biasa. Habis Gelap Terbitlah Terang menghadirkan sebuah harapan. Menawarkan sebuah masa depan. Kartini tidak
ingin melihat generasi perempuan setelah itu hanya duduk diam seperti dia.
Menghadirkan inspirasi untuk semua pembaca perempuan Indonesia. Kecemasan
pengamat sejarah hanyalah takut bahwa Kartini cuma simbol yang diangkat oleh
Belanda. Ketakutan bahwa Belanda ingin seluruh wanita Indonesia menjadi seperti
Kartini, penurut dan tak pernah membangkang.
Terlepas dari semua itu, saya percaya seperti Kartini, bahwa pernikahan
adalah jalan terbaik bagi hidupnya dan dia percaya itu selagi memberontak hanya
dengan tulisannya. Namun zaman sekarang, tak sedikit wanita cuma ingin
memberontak dan menerapkan apa yang Kartini pikirkan dengan cara negatif. Ini
jelas salah!
Cobalah kritis dan jangan hanya mengikuti arus. Cobalah lebih membuka
pemikiran dan tidak hanya mengikuti aliran pola. Banyak perempuan zaman
sekarang ingin menjadi seperti laki-laki, namun bukankah pada hakikat kita
memiliki tempat dan porsi masing-masing? Wanita dan laki-laki harus saling
mendukung.
Merayakan Hari Kartini nampak seperti mengada-ada, kurang greget dibanding tahun baru dan
cenderung terbentur sejarah. Tapi ide Habis Gelap Terbitlah Terang sudah melampau Kartini. Surat ini melebihi
alamat teman-teman Kartini di Eropa. Biarlah semangat kumpulan tulisan Kartini
membuat perempuan lebih dari perempuan. Berusaha memahami maksud dari Kartini
bukan sekedar hafal tanggal peringatan ini. Menduplikasi Kartini pun bukan dengan kebaya atau batik, tetapi juga buah ide dan pemikiran. Demi masa depan perempuan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar