Pasca Reformasi media mengalami ekspansi besar-besaran. Seperti kebelet
pipis, media cetak maupun elektronik di negara ini mulai menunjukkan kritik
tajam terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak memihak kepada rakyat.
Sikap media yang dulu (orde baru) tak begitu total dipublikasikan. Namun tidak
jarang informasi yang dipublikasikan media ini cenderung beraroma kolusi karena
menguntungkan kelompok tertentu.
Lantas bagaimana harusnya sikap masyarakat terhadap media dengan
keberpihakan itu? Bukankah lebih buruk lagi karena ini bulan kampanye—waktu tepat
untuk memperbaiki gizi calon presiden yang didukung dan menjatuhkan calon
presiden lawan.
Ketua Dewan Pers Bagir Manan bahkan sampai meminta sejumlah pemilik media
untuk menghormati etika jurnalistik. Alasannya, karena para pemilik yang terjun
ke dunia politik menggunakan medianya sebagai sarana mengampanyekan diri atau
calon presiden yang didukung.
Menurut saya sendiri tidaklah masalah sebuah media mengutarakan
keberpihakan kepada salah satu tokoh ataupun calon presiden karena itu
demokrasi. Yang salah apabila kebenaran diputarbalikkan dan fitnah diluncurkan.
Keberpihakan media harus memiliki satu nilai, yaitu kebenaran. Kebenaran
merupakan nilai yang harus terus disuarakan, meski pada akhirnya tidak akan
menyenangkan bagi semua pihak.
Dalam hal kebenaran media harus berani memberitakan bahwa Sukarno turut
berperan dalam pembantaian PKI di tahun 1965. Media harus berani memberitakan
Soeharto yang dalam 32 tahun pemerintahan, telah terjadi penyalahgunaan
kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Dalam koridor semacam ini, jelas jika sebuah media perlu berpihak. Juga
terhadap Jokowi yang melanggar janji untuk membenah Jakarta selama masa tugas
dan Kalla dengan baju Pemuda Pancasila berkata, “Kita butuh preman yang dapat
menjalankan Pancasila.”
Tak terlebih Prabowo dengan mencoba membungkam kritik jurnalistik dan
politik pada tahun 1990-an. Dan kasus penculikan aktivis dan pembantaian di
kerusuhan 1998. Dan tentu keistimewaan anak Hatta Rajasa dalam kasus hukum. Dalam
koridor semacam ini, jelas jika sebuah media perlu berpihak.
Jelas hal yang dilarang dalam praktek media adalah memasukkan opini
wartawan atau pimpinan redaksi secara telanjang dalam pemberitaan pers. Karena
opini itu akan mencampuradukkan pendapat dan fakta sehingga dapat terjadi
penulisan berita yang tidak ada dasar dan faktanya. Selain beropini, hal lain
yang harus dihindari dalam pemberitaan adalah menulis fitnah, menghina, dan merendahkan
martabat orang lain. Termasuk membuat berita yang cabul dan sadis itu yang
dilarang dalam kode etik pers Indonesia.
Media harus berpihak di boleh tidak menurut saya. Karena itu yang membuat
media itu berbobot. Tapi tentu haruslah berisikan kebenaran. Semua media wajib
menjaga independensi. Dengan artian, setiap ruang redaksi tidak boleh dipengaruhi, diintervensi, dan
dikalahkan oleh kepentingan pihak yang lebih kuat, seperti pemerintah, militer,
atau pemilik modal.
Di pemilihan presiden tahun ini jelas Prabowo Hatta – Jokowi dan Jusuf
Kalla jelas memiliki masalah dalam karir mereka. Karena itu yang membuat mereka
manusia biasa tak sempurna seperti yang diberitakan media massa pendukung dan
teman-teman sosial media pendukung, serta tim sukses.
Baiklah kita berpikir jernih dan bijak dalam menyikapi setiap permasalahan
yang diumbar oleh media dan menyebarkan berita. Karena kita pun berperan
sebagai media. Mendukung bukan berarti menutup kebohongan dan keburukan.
Kebohongan tak pantas disebarkan karena yang akan dirusak bukan hanya manusia,
tapi akal sehat dan kejujuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar