“Pertandingan ini juga akan dikenang sebagai sebuah sejarah”, ujar
Fernando Hazzan, seorang suporter Brasil setelah menonton laga Brasil melawan
Jerman dari kota tempat tinggalnya di Sao Paulo. Stadion Mineirao memang akan makin selalu dikenang oleh para pendukung
Brasil sebagai sejarah terburuk. Bahkan lebih buruk dari Maracana.
Kejadian Maracana sebenarnya
cukup memalukan. Di piala dunia tahun 1950 Brasil berhadapan melawan Uruguay di
partai final. Brasil cukup diunggulkan mengingat tuan rumah—situasi sama dengan
piala dunia 2014 kali ini. Wajar rasanya jika harapan para suporter setia
Brasil membumbung tinggi mengingat ini rumah mereka. Tempat mereka lahir dan
dididik untuk sepakbola.
Menggambarkan kekalahan Brasil dari Jerman lebih pantas kondisi ini
disebut memalukan daripada kata kejam. Memalukan identik dengan aib. Dan aib
yang akan selalu dikandung dan dikenang-kenang secara tidak enak sepanjang
masa. Lebih parah mungkin Stadion Mineirao
mungkin akan dicoret di kompetisi internasional Brasil lain waktu.
Dari sejarah memalukan Brasil ini, seluruh media menatap dua nama menjadi
tumpuan kesalahan. Scolari dan Fred. Entah apa pikiran Scolari untuk tetap
memasukkan nama Fred dalam tim inti dengan sumbangan satu gol saja di piala
dunia. Taktik Scolari dengan tanpa Neymar dan Thiago Silva memang cukup aneh. Bukan
meremehkan kualitas tapi malah cenderung meragukan posisi Fred.
Ketika seorang pemain bermain di posisi yang tidak biasa atau berfungsi
berbeda dengan seharusnya, perkembangan sepak bola modern menuntut kita untuk
berpikir bahwa ada inovasi yang dilakukan oleh pelatih yang membuat hal
tersebut menjadi revolusioner. Tetapi lain hal dengan kasus Brasil dan Fred.
Bukan inovasi namanya kalau taktik bermasalah selalu dipakai berulang dalam
pertandingan sepenting piala dunia.
Scolari adalah orang yang menghidupkan kembali karier Fred di tim
nasional Brasil. Ia menjadi pilihan utama di lini depan Brasil. Sejak Scolari
kembali menjadi pelatih Brasil tahun 2012, Fred telah mencetak 10 gol untuk tim
nasional. Sebuah pencapaian yang hanya bisa dilampaui oleh Neymar.
Melempemnya Fred sebagai striker membuat publik Brasil terkenang kembali pada sosok Serginho, penyerang Selecao saat bermain di Piala Dunia 1982. Dalam skuat yang dipenuhi seniman-seniman Samba seperti Socrates dan Zico, Serginho dianggap sebagai robot kaku yang tak jelas fungsinya apa di lapangan.
Tidak menonjolnya penampilan Serginho kala itu karena ia lebih banyak ditugaskan untuk sebagai poros di depan untuk membuka ruang dan membiarkan para gelandang kreatif di belakangnya untuk berkreasi. Ini membuat Serginho berperan sebagai pahlawan yang tak pernah mendapat cukup apresiasi karena aktivitasnya yang tak kasat mata.
Baru pada beberapa tahun belakangan saja berbagai tulisan dan analisa yang diturunkan para wartawan Eropa mencoba untuk menggali lagi kiprah Serginho dan merehabilitasi namanya. Memang sepak bola modern memang lekat dengan para striker sehingga tidak harus mencetak gol dalam sebuah pertandingan (false nine / defensive Forward). Sederhana. Penonton sepak bola modern sudah bisa menerima bahwa terkadang ada penyerang yang bertugas bukan untuk mencetak gol. Hal ini membuat pemain seperti Serginho sekarang tak terlihat aneh, namun tidak pada dekade 80-an di mana strategi belum serumit sekarang.
Hanya di skema Scolari sajalah Fred bisa terpakai. Dalam deretan artis di dalam starting line-up Brasil, Fred cuma pemeran pembantu dengan keberadaan untuk menegaskan peran para aktor utama. Fungsi Fred di lapangan adalah untuk menggelar karpet merah agar para pangeran seperti Neymar dan Oscar bisa berjalan di atasnya.
Melempemnya Fred sebagai striker membuat publik Brasil terkenang kembali pada sosok Serginho, penyerang Selecao saat bermain di Piala Dunia 1982. Dalam skuat yang dipenuhi seniman-seniman Samba seperti Socrates dan Zico, Serginho dianggap sebagai robot kaku yang tak jelas fungsinya apa di lapangan.
Tidak menonjolnya penampilan Serginho kala itu karena ia lebih banyak ditugaskan untuk sebagai poros di depan untuk membuka ruang dan membiarkan para gelandang kreatif di belakangnya untuk berkreasi. Ini membuat Serginho berperan sebagai pahlawan yang tak pernah mendapat cukup apresiasi karena aktivitasnya yang tak kasat mata.
Baru pada beberapa tahun belakangan saja berbagai tulisan dan analisa yang diturunkan para wartawan Eropa mencoba untuk menggali lagi kiprah Serginho dan merehabilitasi namanya. Memang sepak bola modern memang lekat dengan para striker sehingga tidak harus mencetak gol dalam sebuah pertandingan (false nine / defensive Forward). Sederhana. Penonton sepak bola modern sudah bisa menerima bahwa terkadang ada penyerang yang bertugas bukan untuk mencetak gol. Hal ini membuat pemain seperti Serginho sekarang tak terlihat aneh, namun tidak pada dekade 80-an di mana strategi belum serumit sekarang.
Hanya di skema Scolari sajalah Fred bisa terpakai. Dalam deretan artis di dalam starting line-up Brasil, Fred cuma pemeran pembantu dengan keberadaan untuk menegaskan peran para aktor utama. Fungsi Fred di lapangan adalah untuk menggelar karpet merah agar para pangeran seperti Neymar dan Oscar bisa berjalan di atasnya.
Perdebatan mengenai peran Fred bisa sangat panjang bila memakai argumen
yang sama dalam mengapresiasi Serginho. Tapi betapa pun seorang striker diplot
menjadi seorang pemain post-modern, pola gerak Fred yang minim
sentuhan dan tusukan di wilayah pertahanan lawan benar-benar memprihatinkan.
Sebenarnya keberadaan Fred ini hanya puncak gunung es dari masalah
sebenarnya yaitu minimnya striker berkualitas yang dimiliki Brasil sekarang.
Cadangan dari Fred hanyalah Jo dan kedua pemain ini bahkan tak layak untuk
mengikat sepatu para penyerang Brasil terdahulu seperti Ronaldo dan Romario.
Mari kita sejenak melupakan kekalahan telak Brasil dari Jerman—seandainya
Brasil jadi juara dunia kali ini pun. Tentu tak akan banyak orang mengingat
Fred. Bahkan kiper lawan pun sering lupa kalau Fred bermain di lapangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar