Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Senin, 02 Juni 2014

Pemilu 2014 dan Pilihan


Kemarin malam tepat pada hari lahir Pancasila—tepat pada hari cabut undi nomor calon presiden, lahir pula perdebatan panjang di Facebook. Sudah biasa memang tetapi kali ini berbeda karena dilakukan sesama teman. Gawat bin kritis situasi seperti ini. Marilah sedikit kita tilik apa masalah di balik panas kemarin sembari duduk mengopi dan membaca tulisan ini.

 

Pemilihan presiden bukan arena mencari orang sempurna tetapi adalah penentuan pada siapa otoritas negeri ini akan dititipkan. Di Indonesia ada banyak pemimpin. Kita pun bisa memilih pemimpin kapan saja. Tetapi pergantian pemegang otoritas negeri ini cuma berlangsung sekali dalam lima tahun. Pertanyaan yang tiap kita harus jawab adalah pada pemimpin yang mana otoritas itu akan diberikan? Otoritas untuk mengatasnamakan kita selama lima tahun ke depan, untuk mengelola uang pajak kita, untuk menentukan arah perjalanan pemerintahan dan lain hal.

 

Hal ini cukup diperdebatkan teman-teman. Terutama dari dua kubu dan pastinya berbeda pendapat. Saat ini bangsa Indonesia dihadapkan pada dua pilihan pasangan calon pemegang otoritas: Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Pada pasangan mana otoritas akan kita titipkan? Beda pilihan figur itu normal, wajar dan manusiawi. Tetap tenang, tidak perlu kecewa dan marah pada orang lain dengan pilihan berbeda. Cobalah sedikit memahami mengapa mereka memilih salah satu pasangan calon pemegang otoritas. Karena seharusnya cinta kita kepada pasangan yang kita pilih harus tidak seperti cinta buta anak-anak ABG masa kini.

 

Pilihan kita itu adalah karena kecintaan kita pada Indonesia dan komitmen kita untuk memajukan bangsa tercinta ini. Apapun pilihan kita. Dengan begitu pilihan ini tidak boleh menyebabkan permusuhan. Lawan beda dengan musuh. Lawan debat adalah teman berpikir. Lawan badminton adalah teman berolah raga. Beda dengan musuh yang akan saling menghabisi. Lawan itu akan saling menguatkan.

 

Berbeda pilihan itu biasa, tidak usah risau apalagi bermusuhan. Jangan kita terlibat untuk saling menghabisi. Mari kita semua turun tangan untuk saling menguatkan. Bersatu ntuk saling mencintai Indonesia dan untuk membuat kita semua bangga bahwa kita jaga kehormatan dalam menjalani proses politik ini

 

Kenyataannya memang hanya akan ada dua pasangan untuk dipilih. Ini kenyataan yang harus kita hadapi. Dengan melihat prioritas masalah Indonesia dan perspektif yang kita miliki maka setiap kita bisa menentukan pilihan. Siapa pun orangnya, kita semua, bila diteropong dengan amat detail dan seksama setiap aspek dalam dirinya, dalam kehidupannya pasti akan terlihat kekurangannya. Kita semua adalah manusia biasa, karena itu amat manusiawi jika kita tidak sempurna. Tentu karena kita masih diberi tugas untuk menjadi bagian, memilih para pemimpin dunia.

 

Siapa pun yang kita pilih, maka dia sedang akan terbebani dengan tanggung jawab yang amat besar. Kita pun punya tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa kita akan menghormati hasil pilihan rakyat dan selalu siap untuk terus bekerja bersama melunasi setiap Janji Kemerdekaan.

 

Di hari lahir Pancasila kemarin menegaskan kita bahwa Ke-Bhineka-an itu fakta bukan masalah. Jokowi bukanlah gubernur yang sudah banyak karya. Belakangan pun kesetiaan beliau cukup diragukan sebagai Gubernur tetapi dia adalah orang membawa harapan. Prabowo pun bukanlah mantan pejabat yang memiliki banyak karya bahkan sering disebut ada catatan khusus dalam perjalanan karirnya dulu. Namun dia pun turut menawarkan harapan. Maka calon baru ini jangan ditonjolkan pengalamannya karena pemilih bukan mencari orang paling berpengalaman. Pemilih sedang mencari orang yang bisa memberikan harapan—meneruskan kemajuan yang sudah diraih dan membawa Indonesia ke kondisi yang lebih baik. Kuncinya adalah menawarkan masa depan. Menawarkan harapan.

 

Setelah 15 tahun lebih pemerintahan baru berjalan, saya merasa Indonesia kita memerlukan penyegaran. Perlu cara pandang baru, semangat baru, pendekatan baru, cara kerja baru, dan bahkan orang baru. Baru memang bukan soal usia, walau memang usia muda sering diasosiasikan dengan baru. Kepemimpinan di pemerintahan  perlu  kebaruan. Saya melihat unsur kebaruan ini diperlukan untuk membuat terobosan dan membongkar berbagai kemacetan dalam pengelolaan negara ini.

 

Jangan diam dan mendiamkan negara ini dan harus berani untuk memilih dan membantu sesuai dengan kriteria. Di pemilu 2014 kali ini saya memilih Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai pemegang otoritas negara di tengah ketidaksempurnaan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.