Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?
Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?
Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?
Kemarin malam tepat pada hari lahir Pancasila—tepat pada hari
cabut undi nomor calon presiden, lahir pula perdebatan panjang di Facebook. Sudah biasa memang tetapi kali
ini berbeda karena dilakukan sesama teman. Gawat bin kritis situasi seperti
ini. Marilah sedikit kita tilik apa masalah di balik panas kemarin sembari
duduk mengopi dan membaca tulisan ini.
Pemilihan presiden bukan arena mencari orang sempurna tetapi
adalah penentuan pada siapa otoritas negeri ini akan dititipkan. Di Indonesia
ada banyak pemimpin. Kita pun bisa memilih pemimpin kapan saja. Tetapi
pergantian pemegang otoritas negeri ini cuma berlangsung sekali dalam lima
tahun. Pertanyaan yang tiap kita harus jawab adalah pada pemimpin yang mana otoritas
itu akan diberikan? Otoritas untuk mengatasnamakan kita selama lima tahun ke
depan, untuk mengelola uang pajak kita, untuk menentukan arah perjalanan
pemerintahan dan lain hal.
Hal ini cukup diperdebatkan teman-teman. Terutama dari dua
kubu dan pastinya berbeda pendapat. Saat ini bangsa Indonesia dihadapkan pada
dua pilihan pasangan calon pemegang otoritas: Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Pada
pasangan mana otoritas akan kita titipkan? Beda pilihan figur itu normal, wajar dan manusiawi. Tetap tenang,
tidak perlu kecewa dan marah pada orang lain dengan pilihan berbeda. Cobalah
sedikit memahami mengapa mereka memilih salah satu pasangan calon pemegang
otoritas. Karena seharusnya cinta kita kepada pasangan yang kita pilih harus
tidak seperti cinta buta anak-anak ABG masa kini.
Pilihan kita itu adalah karena kecintaan kita pada Indonesia dan komitmen
kita untuk memajukan bangsa tercinta ini. Apapun pilihan kita. Dengan begitu
pilihan ini tidak boleh menyebabkan permusuhan. Lawan beda dengan musuh. Lawan
debat adalah teman berpikir. Lawan badminton adalah teman berolah raga. Beda
dengan musuh yang akan saling menghabisi. Lawan itu akan saling menguatkan.
Berbeda pilihan itu biasa, tidak usah risau apalagi bermusuhan. Jangan
kita terlibat untuk saling menghabisi. Mari kita semua turun tangan untuk
saling menguatkan. Bersatu ntuk saling mencintai Indonesia dan untuk membuat
kita semua bangga bahwa kita jaga kehormatan dalam menjalani proses politik
ini
Kenyataannya memang hanya akan ada dua pasangan untuk dipilih.
Ini kenyataan yang harus kita hadapi. Dengan melihat prioritas masalah
Indonesia dan perspektif yang kita miliki maka setiap kita bisa menentukan
pilihan. Siapa pun orangnya, kita semua, bila diteropong dengan amat detail dan
seksama setiap aspek dalam dirinya, dalam kehidupannya pasti akan terlihat
kekurangannya. Kita semua adalah manusia biasa, karena itu amat manusiawi jika
kita tidak sempurna. Tentu karena kita masih diberi tugas untuk menjadi bagian,
memilih para pemimpin dunia.
Siapa pun yang kita pilih, maka dia sedang akan terbebani
dengan tanggung jawab yang amat besar. Kita
pun punya tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa kita akan menghormati
hasil pilihan rakyat dan selalu siap untuk terus bekerja bersama melunasi
setiap Janji Kemerdekaan.
Di hari lahir Pancasila kemarin menegaskan kita bahwa
Ke-Bhineka-an itu fakta bukan masalah. Jokowi bukanlah gubernur yang sudah
banyak karya. Belakangan pun kesetiaan beliau cukup diragukan sebagai Gubernur
tetapi dia adalah orang membawa harapan. Prabowo pun bukanlah mantan pejabat
yang memiliki banyak karya bahkan sering disebut ada catatan khusus dalam
perjalanan karirnya dulu. Namun dia pun turut menawarkan harapan. Maka calon
baru ini jangan ditonjolkan pengalamannya karena pemilih bukan mencari orang
paling berpengalaman. Pemilih sedang mencari orang yang bisa memberikan
harapan—meneruskan kemajuan yang sudah diraih dan membawa Indonesia ke kondisi
yang lebih baik. Kuncinya adalah menawarkan masa depan. Menawarkan harapan.
Setelah 15
tahun lebih pemerintahan baru berjalan, saya merasa Indonesia kita memerlukan
penyegaran. Perlu cara pandang baru, semangat baru, pendekatan baru, cara kerja
baru, dan bahkan orang baru. Baru memang bukan soal usia, walau memang usia
muda sering diasosiasikan dengan baru. Kepemimpinan di pemerintahan
perlu kebaruan. Saya melihat unsur kebaruan ini diperlukan
untuk membuat terobosan dan membongkar berbagai kemacetan dalam pengelolaan
negara ini.
Jangan diam dan
mendiamkan negara ini dan harus berani untuk memilih dan membantu sesuai dengan
kriteria. Di pemilu 2014 kali ini saya memilih Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai
pemegang otoritas negara di tengah ketidaksempurnaan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar