Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?
Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?
Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?
Tunai
sudah janji Megawati kepada publik, bahwa dia memang tidak berambisi menjadi
Presiden ataupun wakil RI berikut. 14 Maret 2014 di kantor DPP, ia memberikan
surat mandat penunjukan Jokowi sebagai calon Presiden dari PDIP. Surat mandat
itu menjadi sangat dramatis karena ditulis dengan tangan Megawati sendiri. Membuat
kita teringat dengan coretan tangan Bung Karno ketika menuliskan rumusan
proklamasi hasil diskusi dengan Hatta dan Achmad Soebardjo.
Begitu
juga hari ini, setelah Abraham Samad, Puan dan bahkan Megawati sendiri
mondar-mandir dalam bursa pendamping calon presiden Jokowi muncul nama baru nan
lama – Jusuf Kalla. Muncul lelucon seperti bu Mega menghantarkan Jokowi sebagai
calon pengantin kepada teman lamanya dengan ucapan “ini anak emas baru kami lho
pak Kalla”. Menarik sekali keputusan Megawati.
Lantas
kenapa Jusuf Kalla ? Apa mungkin Mega juga tak kuasa menahan desakan publik
yang sebagian besar menginginkan pasangan ini sebagai pasangan ideal? Ini tentu
membuat sebagian besar orang kaget karena di sini Jokowi seperti pengantin
rupawan banyak orang yang ingin meminang. Tentu para peminang adalah
orang-orang hebat. Tetapi keberuntungan jatuh ke tangan Jusuf Kalla.
Sebentar mari kita telisin alasan tepat sembari mengucapkan selamat kepada dua
calon mempelai. Kenapa harus Kalla ? Itu mungkin pertanyaan sama dilemparkan
publik ketika SBY memilih sekondannya untuk dalam pemilu calon presiden 2004. Jusuf Kalla sekarang memiliki kesamaan pada
tahun 2004, sama-sama tak punya kendaraan politik. Di tahun 2004 lalu dia baru
dipecat dari Golkar setelah malah berpihak ke SBY.
Kalla
adalah seorang politikus hebat, sudah banyak pengalaman dan jabatan dia raih
karena pengaruh integritas dan bisa dibilang dia adalah salah satu negarawan.
Pernah masuk dalam jajaran MPR dan menteri pun membuktikan kualitas dari bapak
kelahiran Sulawesi Selatan ini. Belum lagi wakil presiden pada tahun 2004.
Jelas Megawati memutuskan Kalla sebagai pendamping Jokowi sebagai pembimbing
pengalaman dan teman kerja.
Kalla
pun adalah orang pengusaha yang sukses. Populer di kawasan Indonesia timur. Ini
mungkin selalu menjadi bahan pertimbangan Jokowi dan Megawati sebagai
representasi keseimbangan antara Jawa dan non Jawa. Setidaknya elektabilitas
Kalla di luar Jawa akan membantu sang pengantin menuju istana.
Memilih
Kalla sebagai wakil tentu membuat pikiran bertanya-tanya. Bukan meragukan sosok
seorang Kalla tetapi seberapa besar pengaruh Kalla terhadap pemerintahan Jokowi
kelak. Kalla tidak bodoh dan penuh perhitungan matematis. Semuanya ada
perhitungan logis dan untung rugi. Ketakutan terbesar saya pribadi adalah,
kepada Jokowi ia meminta kontrak politik lebih jauh sebagai imbalan permohonan
bimbingan Mega.
Pengaruh
dan seniornya membuat Kalla berpikir bahwa wakil Presiden tidak boleh menjadi ban
serep dan itu bagus mengingat kemarin Boediono seperti tidak terlihat di
pemerintahan. Kalla memang cenderung praktis dan mengabaikan birokrasi yang
bertele-tele. Kesamaan cara ini mungkin menjadi keseimbangan luar biasa dengan
Jokowi dan akan berbeda ketika Kalla dengan SBY. SBY tidak suka dengan wakil
dengan hobi turun ke jalan dan tak mau duduk manis dibalik meja.
Seorang
Kalla bisa potong kompas dalam penunjukan pengadaan helikopter bencana tsunami
Aceh, sementara kalau mengikuti prosedur tender akan memakan waktu berbulan
bulan. Seorang Kalla bisa langsung mengganti direktur direktur BUMN atau
menyemprot seorang menteri karena kelambatan perkembangan pembangunan
infrastruktur.
Namun
Kalla kadang terlihat terlalu kebablasan. Ia tak perlu harus turun tangan
menentukan disain arsitektur Bandar Udara Hasanudin di Makasar. Dan ia juga
semestinya tak perlu bersikap reaktif membela bisnis kolega koleganya seperti
Aburizal Bakrie. Ini memang masalah Jusuf Kalla sebagai seorang pebisnis. Jusuf
Kalla tersandera dengan kepentingan bisnis rekan kerja yang kadang bisa membuat
sakit sebagian besar bangsa ini. Ia bisa
marah jika pembangunan jalan tol atau pembangkit listrik lambat, sementara lambatnya
penyelesaian kasus Lapindo, ia hanya diam saja.
Kini
Jusuf Kalla harus membuktikan bahwa perasaan dan intuisinya maju sebagai calon presiden
benar-benar penuh perhitungan sebagaimana apa yang biasa lakukan. Saya menduga
hati kecilnya sudah cukup puas menjadi RI – 2. Cukup puas untuk menjadi
mempelai mendampingi Jokowi. Hari-hari kampanye dan sepanjang tahun ini akan
merupakan hari-hari melelahkan bagi Jokowi dan Jusuf Kalla.
Ia
harus mulai berhitung secara cermat dan membuat strategi pemenangan pemilu. Dalam
politik, matematika memang tak selalu bilangan genap. Bisa ganjil atau bilangan
prima. Siapa tahu ? Hanya saja sebaiknya ia melupakan untuk terus-terusan
memakai pesawat pribadi milik Aburizal Bakrie dalam perjalanan dinas. Dalam
politik memang harus rela mengorbankan teman dekat. Bukankah itu perhitungan
paling logis untuk memenangkan pemilu? Bagaimana Jokowi dan Kalla nanti mengambil
hati rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar