Malam-malam kemarin ketika memperbaharui kicauan di twitter saya dengan
tulisan. “Baru saja menonton Argo, Ben Affleck hebat. Sudah saatnya pensiun
dari dunia aktor dan fokus menjadi sutradara”. Kemudian salah satu teman dari
industri film memberi komentar “Pasti dvd
bajakan, gw laporin deh..he he”. Tiba-tiba saya merasa aneh, sekaligus ada
perasaan bersalah. Tentu saja teman saya hanya bercanda, walau saya yakin dia
mungkin memiliki dvd bajakan film-film pilihannya.
Hal ini membuat saya teringat mengenai Industri kreatif Indonesia. Teringat
seminar nasional Industri Kreatif untuk Kesejaheraan Bangsa. Seminar yang dihadiri
oleh Departemen Perdagangan, bersama-sama dengan pelaku sektor industri kreatif,
seperti periklanan, arsitekur, kerajinan, desain, film, fotografi, seni
pertunjukan, dan lainnya merupakan proyek dari Menteri Mari E. Pangestu dan SBY
dalam mendongkrak perekonomian bangsa.
Tentu proyek ini tidak semulus jabat tangan SBY dan Mari E. Pangestu
ketika menggagas ide ini. Masalah didalam industri kreatif pun beragam.
Pemerintah tidak punya visi bagaimana memahami industri kreatif itu. Mereka
cenderung membayangkan otak-otak manusia Indonesia harus kreatif, sekaligus
menciptakan lapangan kerja dan memajukan ekpsor. Pemerintah hanya tut wuri
handayani, padahal tidak sesimpel itu. Banyak hal yang menjadi masalah, mulai dari
birokrasi dan apresiasi. Belum masalah ketidakpunyaan mereka terhadap pemetaan
indutri kreatif.
Menoleh ke negara luar seperti Singapura, mereka telah memiliki pemetaan
industri ekonomi kreatif. Industri ekonomi kreatif Singapura memiliki
kontribusi sebesar 5% dari PDB atau sekitar Rp 47 triliun. Pada tahun 2012,
pertumbuhan industri ini diperkirakan tumbuh 10%. Hal ini melampaui pendapatan
negara dari sektor industri manufaktur. Singapura yang tidak mempunyai laut,
tetapi banyak mencetak buku-buku yang berisi kumpulan foto dalam air. Dan
kemudian buku terbitan negara itu banyak yang menjadi referensi bagi para
fotografer. Ketika fotografer Singapura datang ke Indonesia, memberi workshop
dan seminar. Kita hanya terkagum-kagum melihat hasil karyanya, tentu saja
semuanya berisi alam laut Indonesia.
Dan kita hanya bisa tercekat mengagumi betapa hebatnya Matt Mullenweg
menciptakan mesin wordpress yang legendaris. Mungkin dia tersenyum-senyum dalam
hati membayangkan potensi yang bakal didapatkan dari sekian puluh juta manusia
Indonesia yang gandrung dengan internet. Pertanyaan bodoh, kenapa kita yang
gandrung dengan internet ini tidak mau menciptakan mesin blog seperti itu?
Dataworks Indonesia memetakan revolusi Industri kreatif dengan menarik, yakni
bagaimana peluang industri ekonomi kreatif Indonesia ini di tataran global.
Tentu saja, agar kompetitif, ada syarat yang mesti dipenuhi. Jangan pernah
menganggap industri ekonomi kreatif identik
dengan kerjaan seniman. Kembangkan ide-ide kreatif yang orisinil dari dalam
diri tanpa harus merisaukan kondisi persaingan global. Pemerintah pun harus
serius memberikan dukungan (baca:apresiasi) pengembangan industri ekonomi
kreatif.
Kembali ke cerita diatas, teman saya seharusnya pun tidak perlu kuatir
bahwa film-filmnya akan dibajak. Percaya atau tidak, hampir jarang menemui dvd
bajakan untuk film Indonesia. Konon para mafia pembajak telah sepakat untuk
bersikap nasionalis membela produk dalam negerinya.
Tentu kreatif industri tidak hanya sekadar masalah pembajakan, birokrasi
atau proteksi penurunan tarif impor bahan baku komputer misalnya. Ada yang jauh
lebih penting. Bagaimana membangun budaya kewiraswastaan dan menciptakan produk
produk inovatif. Juga jangan takut bersaing di pasar bebas. Begitu keran
perdagangan bebas dibuka, hanya dua pilihan. Kita tergilas hanya menjadi penonton
dan kerap mengundang orang orang seperti Matt Mullenweg atau fotografer
Singapura. Atau sebaliknya mungkin saja kita akan menjadi pemimpin pasar yang tangguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar