Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?
Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?
Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?
Di tengah suasana
pergantian tahun, tepat 1 Januari 2014, Pertamina memberikan kejutan besar.
Bagaikan ledakan besar, keputusan Pertamina ini mendapat reaksi begitu luar
biasa dari masyarakat. Pertamina dan pemerintah sukses membuat panik terkait
keputusan mereka untuk menaikan harga elpiji 12 kilogram. Tak tanggung-tanggung
dibandingkan dengan harga bahan bakar minyak beberapa waktu lalu, persentase
kenaikan harga elpiji jauh lebih besar.
Merujuk harga di
Jakarta, misalnya, elpiji 12 kilogram yang sebelumnya seharga Rp. 78.000 naik
68 persen hingga melonjak drastis menjadiRp. 138.000. Bayangkan berapa harga yang harus kita keluarkan untuk
sebuah tabung elpiji 12 kilogram di daerah Papua? Benar-benar sebuah kejutan di
awal tahun ini. Sebagai konsumen, masyarakat pun sangat keberatan karena harus
merogoh kocek yang lebih besar lagi per bulannya. Di luar dari perdebatan soal
angka “penyesuaian” harga yang dipilih pemilik otoritas (baca:pemerintah),
kenaikan ini seperti kembali membuka bekas luka di tubuh pemerintah.
Bukan tanpa alasan,
ketika kejutan ini mendapat penolakan besar dari masyarakat, pemilik otoritas
kembali ke kebiasaan lama. Pemerintah hadir dengan dalih tidak mengetahui
rencana kenaikan ini. Dan kemudian, dari pihak Pertamina dan pemerintah saling
menyalahkan dan tidak mau mengambil tanggung jawab.
Ketika Pertamina
menyatakan pihak mereka sudah melakukan sesuai prosedur dan telah memberi tahu
pemerintah (bahkan sejak 2010), menteri terkait justru berkelit. Padahal dalam
penalaran yang wajar, untuk sebuah kebijakan yang terkait langsung dengan hajat
hidup orang banyak, sulit untuk dipahami jika Hatta Rajasa, Jero Wacik, dan
Dahlan sama sekali tidak mengetahui rencana ini. Melihat gelagat lempar batu sembunyi tangan ini,
masyarakat dengan amat mudah menerka lakon di awal tahun ini.
Rencana kenaikan ini
berawal dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menemukan ada
kerugian lebih dari tujuh triliun yang disebabkan harga elpiji non subsidi
terlalu rendah. Dan jika memang benar, seharusnya pemerintah abai dengan tugas
pokoknya melindungi rakyat. Apalagi pemerintah disini juga berperan sebagai
pemilik saham utama Pertamina. Dengan melihat fakta terabaikan tugas pokok
pemerintah tersebut, kekhawatiran bahwa semakin dekat dengan agenda pemilihan
umum, para menteri seperti kehilangan fokus.
Beruntung kita
akhirnya sudah mengetahui keputusan akhir pemerintah dan Pertamina. Himbauan
presiden di hadapan rakyat menghadirkan lakon lawakan yang tidak kalah lucu.
"Dan saya meminta Pertamina dan menteri-menteri
terkait untuk melakukan peninjauan kembali itu dalam waktu satu hari, 1x24
jam," ujar presiden SBY usai memimpin sidang kabinet terbatas di
Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Minggu (5/1/2014). Seperti melihat
adegan film dengan presiden SBY sebagai aktor pahlawan utama.
Bagi semacam
masyarakat, segala macam kejutan dan reaksi yang dipertontonkan pemerintah di
sekitar polemik kenaikan harga elpiji, benar-benar menjadi sebuah lakon kejutan
awal tahun baru. Benar-benar menjadi sebuah lakon yang jauh dari kata lucu. Membuat
konflik yang seharusnya dapat dicegah, tetapi malah diabaikan untuk mendapat
tepuk tangan dari para penonton. Semoga ini memang bukan kejutan dan tontonan yang
dibuat-buat dalam rangka memperbaiki citra dimasa akhir pemerintahan. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar