UU MD3 adalah
kependekan dari Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Revisi UU
ini disusun untuk membenahi pasal dan klausa UU Nomor 27 tahun 2009 karena dianggap
sudah tidak lagi relevan. Salah satu isi dari rancangan tersebut adalah
pemilihan kepala daerah akan dilaksanakan oleh DPRD.
Ketok palu mengenai UU Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) kemarin menuai
protes kecaman seluruh negeri. Dalam voting rapat paripurna 226 anggota memilih
kepala daerah ditentukan oleh DPRD, mengalahkan 135 anggota yang memilih pilkada
langsung. Bahkan keputusan DPR mengembalikan proses pemilihan kepala daerah
kepada DPRD mendapat sorotan media asing. Tercium aroma orde baru dari
keputusan rapat ini. Kita seperti baru saja disambut di depan pusat
perbelanjaan Orde Baru Department Store
dengan seribu diskon dengan sambutan rekaman suara selamat datang dari
Soeharto.
Mendadak negeri ini seperti kembali ke era orde baru. Harapan rakyat yang
besar terhadap sistem demokrasi yang
melibatkan dirinya pudar begitu saja. Semangat untuk menguasai
kekuasaan politik lokal dari koalisi merah putih memang sangat berapi-api seiring puluhan orang-orang baik sudah mulai bermunculan di politik. Analogi para pengusung RUU (koalisi merah putih) ini,
bahwa pilkada langsung lebih banyak mudarat daripada manfaat, terasa dibuat-buat.
Pada hakikatnya kedaulatan dari sistem demokrasi ada di tangan rakyat. Tapi
jika sekarang demokrasi saja didiskon, diobral oleh dan untuk para pemilik
kekuasaan, para pemimpin yang mengaku wakil dan pendengar seluruh rakyat.
Pertanyaannya adalah demokrasi sekarang milik siapa?
“ Salah satu masalah terbesar negeri ini adalah memudarnya kepercayaan
pada institusi negara dan pengelola negara. Kepercayaan ini sedikit demi
sedikit dibangun lewat demokrasi dan pelibatan masyarakat, salah satu pilarnya
adalah pilkada langsung “ – Anies Baswedan. Sebuah kutipan menarik dari Anies Baswedan
tentang demokrasi negeri ini. Demokrasi
kita masih muda, tentu dalam pelaksanaan pilkada langsung masih ditemui
beberapa kelemahan, terutama dalam politik uang dan konflik horizontal. Itu
menjadi tantangan untuk perbaikan di masa mendatang. Tetapi bukan berarti ini membuat kita harus mengubah mutlak sistem.
Masalah demokrasi Indonesia seharusnya diperbaiki, masyarakat sepatutnya diberi wawasan politik secara benar. Tidak lagi mudah menerima uang tak seberapa dibandingkan dengan masa depan lima tahun ke depan. Tidak lagi mudah "panas" karena berdebat dengan orang lain dengan pandangan politik berbeda. Memberi pemahaman dan pendidikan mental demokrasi seharusnya dapat menjadi solusi alternatif selain mengembalikan Indonesia ini ke orde baru. Mendiskon demokrasi hanya membuat orde baru dengan kemasan seolah-olah rakyat berdaulat.
Masalah demokrasi Indonesia seharusnya diperbaiki, masyarakat sepatutnya diberi wawasan politik secara benar. Tidak lagi mudah menerima uang tak seberapa dibandingkan dengan masa depan lima tahun ke depan. Tidak lagi mudah "panas" karena berdebat dengan orang lain dengan pandangan politik berbeda. Memberi pemahaman dan pendidikan mental demokrasi seharusnya dapat menjadi solusi alternatif selain mengembalikan Indonesia ini ke orde baru. Mendiskon demokrasi hanya membuat orde baru dengan kemasan seolah-olah rakyat berdaulat.
Memelihara demokrasi di Indonesia
seperti memelihara anak, sering berkelahi dengan teman sekolah tak lantas
membuat orang tua harus melarang anak mereka untuk bersekolah. Memotong hak
demokrasi bukan sebuah jalan terbaik untuk membuat demokrasi kita semakin dewasa. Pujian dari negara lain pun seperti tidak dapat diterima ketika masuk ke realita politik. Suram betul padahal Indonesia beserta sistem demokrasi sangat diperhatikan oleh dunia.
Secara tidak sadar, keberagaman Indonesia pun telah menjadi laboratorium
demokrasi dunia. Sungguh diherankan kalau pengalaman demokrasi berharga itu
hilang, dengan dikembalikannya pilkada ke tangan DPR. Bukan rakyat lagi. Demokrasi
kini menjadi hak para elite. Mendiskon demokrasi membuat Indonesia kini, dari
elite, oleh elite, dan jelas untuk kantong para elite. Mungkin memang benar, itu pun salah kita -- salah kita membiarkan orang-orang jahat ini masuk ke parlemen. Tapi setelah ini, para pendiskon demokrasi ini tak akan bisa tenang karena akan terus kami pantau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar