Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Selasa, 30 September 2014

Mendiskon Demokrasi

Siapa bilang mendapat diskon selalu membahagiakan? Beda dengan kali ini. Iktikad baik pemerintah pasca orde baru melalui perwujudan hak kebebasan untuk seluruh masyarakat Indonesia kini seperti didiskon. UU MD3 menjadi perbincangan hangat di berbagai media. Kemunculannya makin menambah panas isu politik dalam negeri setelah beberapa pekan sebelumnya kita terus terpapar pada sengitnya persaingan pemilihan presiden. UUMD3 (bukan lagi sebuah rancangan) pun menjadi lebih panas daripada sekedar diskon 75% di pusat perbelanjaan.

UU MD3 adalah kependekan dari Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Revisi UU ini disusun untuk membenahi pasal dan klausa UU Nomor 27 tahun 2009 karena dianggap sudah tidak lagi relevan. Salah satu isi dari rancangan tersebut adalah pemilihan kepala daerah akan dilaksanakan oleh DPRD.

Ketok palu mengenai UU Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) kemarin menuai protes kecaman seluruh negeri. Dalam voting rapat paripurna 226 anggota memilih kepala daerah ditentukan oleh DPRD, mengalahkan 135 anggota yang memilih pilkada langsung. Bahkan keputusan DPR mengembalikan proses pemilihan kepala daerah kepada DPRD mendapat sorotan media asing. Tercium aroma orde baru dari keputusan rapat ini. Kita seperti baru saja disambut di depan pusat perbelanjaan Orde Baru Department Store dengan seribu diskon dengan sambutan rekaman suara selamat datang dari Soeharto.

Mendadak negeri ini seperti kembali ke era orde baru. Harapan rakyat yang besar terhadap sistem demokrasi yang  melibatkan dirinya pudar begitu saja. Semangat untuk menguasai kekuasaan politik lokal dari koalisi merah putih memang sangat berapi-api seiring puluhan orang-orang baik sudah mulai bermunculan di politik. Analogi para pengusung RUU (koalisi merah putih) ini, bahwa pilkada langsung lebih banyak mudarat daripada manfaat, terasa dibuat-buat. Pada hakikatnya kedaulatan dari sistem demokrasi ada di tangan rakyat. Tapi jika sekarang demokrasi saja didiskon, diobral oleh dan untuk para pemilik kekuasaan, para pemimpin yang mengaku wakil dan pendengar seluruh rakyat. Pertanyaannya adalah demokrasi sekarang milik siapa?
 

“ Salah satu masalah terbesar negeri ini adalah memudarnya kepercayaan pada institusi negara dan pengelola negara. Kepercayaan ini sedikit demi sedikit dibangun lewat demokrasi dan pelibatan masyarakat, salah satu pilarnya adalah pilkada langsung “ – Anies Baswedan. Sebuah kutipan menarik dari Anies Baswedan tentang demokrasi negeri ini. Demokrasi kita masih muda, tentu dalam pelaksanaan pilkada langsung masih ditemui beberapa kelemahan, terutama dalam politik uang dan konflik horizontal. Itu menjadi tantangan untuk perbaikan di masa mendatang. Tetapi bukan berarti ini membuat kita harus mengubah mutlak sistem.

Masalah demokrasi Indonesia seharusnya diperbaiki, masyarakat sepatutnya diberi wawasan politik secara benar. Tidak lagi mudah menerima uang tak seberapa dibandingkan dengan masa depan lima tahun ke depan. Tidak lagi mudah "panas" karena berdebat dengan orang lain dengan pandangan politik berbeda. Memberi pemahaman dan pendidikan mental demokrasi seharusnya dapat menjadi solusi alternatif selain mengembalikan Indonesia ini ke orde baru. Mendiskon demokrasi hanya membuat orde baru dengan kemasan seolah-olah rakyat berdaulat.

Memelihara demokrasi di Indonesia seperti memelihara anak, sering berkelahi dengan teman sekolah tak lantas membuat orang tua harus melarang anak mereka untuk bersekolah. Memotong hak demokrasi bukan sebuah jalan terbaik untuk membuat demokrasi kita semakin dewasa. Pujian dari negara lain pun seperti tidak dapat diterima ketika masuk ke realita politik. Suram betul padahal Indonesia beserta sistem demokrasi sangat diperhatikan oleh dunia.

Secara tidak sadar, keberagaman Indonesia pun telah menjadi laboratorium demokrasi dunia. Sungguh diherankan kalau pengalaman demokrasi berharga itu hilang, dengan dikembalikannya pilkada ke tangan DPR. Bukan rakyat lagi. Demokrasi kini menjadi hak para elite. Mendiskon demokrasi membuat Indonesia kini, dari elite, oleh elite, dan jelas untuk kantong para elite. Mungkin memang benar, itu pun salah kita -- salah kita membiarkan orang-orang jahat ini masuk ke parlemen. Tapi setelah ini, para pendiskon demokrasi ini tak akan bisa tenang karena akan terus kami pantau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.