Beberapa bulan ini akan terlihat betapa pak SBY akan sangat berusaha
untuk menjadi presiden terbaik dalam era demokrasi. Kebijakan-kebijakan yang
dibuat akan diprioritaskan untuk membuat akhir indah untuk masa kepemimpinan
beliau. Lantas termasuk menolak menaikkan harga BBM kah?
Ya benar. Kebijakan ini awal mula memang bom waktu, kelak tak akan bisa
terus memakai subsidi dan SBY tentu sudah tahu itu. Dan tentu SBY sudah
memperkirakan dana mereka tak mampu untuk terus mengelola subsidi di tahun 2014
dan 2015. Lantas bagaimana? SBY tanpa latar belakang politik, malah sangat baik
dalam politik kali ini—bukan pertama kali memang. SBY akan “bunuh diri” jika
menaikkan harga BBM saat ini. Presiden kita ini tidak mau menaikkan harga BBM
di era pemerintahan beliau. Baik sekali bukan?
Terdengar pro rakyat memang. Pantaslah pak Jokowi pun begitu memaksakan
beliau segera menaikkan harga—Jokowi pun tak mau terdengar tidak memihak kepada wong cilik. Tak mau nanti akan
terdengar di halaman depan koran atau media televisi koalisi partai oposisi
“Langkah pertama Jokowi di pemerintahan membunuh rakyat”. PDIP dulu terkenal
dengan seolah olah “memihak rakyat kecil” dengan menolak kebijakan BBM tapi
sekarang mereka tak mau SBY melimpahkan beban berat tidak memihak kepada
rakyat. Menarik sekali bila melihat dinamika politik ini.
Sama seperti naik turun kondisi APBN kita sekarang ini. Seperti sesak
nafas. Kemampuan fiskal pemerintah kembang kempis. Sampai 4 kali SBY menaikkan
harga BBM untuk menyelamatkan APBN. Tapi kali ini SBY tidak mau, tentu tidak
mau citra beliau buruk di mata orang. Berusaha mengakhiri era pemerintahan
dengan akhir indah. Simalakama memang. Dua-dua dari sosok ini sama-sama ingin
citra baik.
Kali ini langkah perbaikan citra SBY sangat buruk dan akan bertambah
buruk jika Jokowi pun akan ikut-ikut dengan tidak mau menaikkan harga. Karena
konon alkisah jika pemerintah mau aman, pencitraan adalah langkah tepat—langkah
politik harus terlihat pro rakyat. Pencitraan politik tentu tidak salah. Tidak
pula sejahat yang orang-orang sering pikirkan akibat media oposisi. Susah untuk
menjadi tidak populer di era demokrasi. Rembesan tidak populer bahkan akan
berdampak sampai di pemilu berikut.
Suka atau tidak suka, Jokowi harus berani untuk tidak populer di awal
pemerintahan. Jokowi harus memastikan, harga BBM
akan dinaikkan saat beliau mulai menjabat sebagai presiden seusai 20 Oktober
2014 mendatang. Jokowi pun perlu mendengar pendapat ahli ekonomi untuk
memberikan masukan pada mereka secara hitung-hitungan, seberapa jauh devisa negara
masih bisa menahan subsisdi yang sudah bocor di sektor energi.
Mencari akhir indah ini adalah keinginan SBY dan terlebih partai
Demokrat. Langkah politik ini harus dipastikan pak Jenderal 10 tahun ini dengan
amat hati-hati. Mengambil momen-momen genting untuk mengakhiri jabatan dengan
indah. ISIS misal. Bahkan UU MD3 pun adalah kesempatan untuk SBY mengakhiri
jabatan dengan indah. Akhir indah memang jika SBY pun memihak demokrasi dan
menolak rancangan UU MD3 dari koalisi merah putih. SBY mau akhir indah di akhir jabatan? Ini adalah waktu yang tepat.
Langkah SBY untuk menolak menaikkan harga BBM di tengah sesak anggaran
adalah cara beliau untuk mengakhir jabatan dengan indah. Paling tidak citra
Demokrat terangkat lagi setelah Jero Wacik terangkap. Tentu tak ada yang
menyalahkan langkah ini, saya pun tidak—tapi jika melihat rakyat seperti
dipermainkan lama-lama juga bisa gerah. Sekarang giliran SBY, berani menentukan
menjadi presiden terbaik Indonesia dalam era demokrasi? menjadi seorang pahlawan seperti kisah Power Rangers atau memilih menjadi
presiden sama dengan Romeo di kisah Romeo dan Juliet?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar