Kita acapkali melewatkan musim ide menumpuk dan
berkeliaran—melewatkan sebuah kesempatan bahwa ide yang berenang beramai-ramai
melintasi otak bisa diolah menjadi santapan sedap dan bahkan menjadi sebuah
keuntungan. Ide yang melintas ini sama sekali tak berharga, ia memiliki
kecenderungan bagaikan suara nyamuk yang hanya mendengung di telinga tanpa
menggigit. Tentu saya dan Anda pasti sering kali mengalami hal ini, misalnya,
ketika sedang mengendarai kendaraan sendirian dan kemudian suara-suara ide ini
menghantui Anda. Membuat kita berpikir dan celakanya malah sering diabaikan.
Kita tak pernah sadar bahwa diabaikannya ide-ide
tersebut, membuat kita melewatkan sebuah karya. Tak banyak yang bisa
mengartikan karya, itu yang membuat ia menjadi istimewa dan mahal. Bahkan dalam
bahasa Inggris karya diartikan work
(bekerja)—padahal karya bukanlah sebuah pekerjaan. Karya bisa saja dihargai
dengan uang dan tidak. Sebagai contoh seorang bapak dengan pekerjaannya sebagai
polisi berhasil memukat ide bahwa ia dengan talentanya bermain musik, dan
berkarya dalam menciptakan lagu. Karya dan kerja bukanlah hal yang
sama—menariknya hanya milik orang Indonesia. Negara yang berbudaya dan tentu
memiliki keragaman ide.
Konsep memukat ide cukup sederhana sebenarnya. Ide
yang berenang hilir mudik di pikiran biasanya berasal dari berbagai dari
bermacam-macam sumber. Ada yang berasal dari pemikiran sendiri, pemikiran orang
lain, pengalaman, pengetahuan, dan sebagainya. Dalam hal ini pukat ikan tak
pernah hanya menangkap satu ekor ikan saja dalam jerat. Hal yang sama
diterapkan dengan memukat ide, mengumpulkan berbagai ide yang berenang hilir
mudik dan kemudian menggabungkannya dalam bentuk sebuah ide orisinal.
Sebuah ide orisinal hasil pukat ini yang kemudian
menjadi sebuah karya mahal. Tak dapat dipungkiri kita membutuhkan uang untuk
membiarkan dapur tetap berkebul. Hal ini dapat kita terima dengan bekerja
dan berkarya. Seorang koki yang memasak di restoran dari jam 10 pagi hingga
sembilan malam mungkin menganggap selama waktu tersebut dia bekerja karena dia
memasak untuk dibayar. Ia menjual keterampilannya dalam hal memasak kepada
pemilik restoran. Namun pada saat dia pulang dan memasak untuk keluarganya dia
menganggap memasak bukan lagi sebagai pekerjaan melainkan sebuah karya. Sang
koki memasak untuk keluarganya dan ia merasakan kepuasan dan kesenangan ketika
melihat keluarganya menyantap masakan dengan lahap, walaupun Sang koki tidak
dibayar.
Perbedaan antara kerja dan karya terletak pada imbal
balik yang kita dapat. Menjual sebuah karya dan kemudian diganjar oleh sebuah
kepuasan. Lihat betapa berharga sebuah ide! Ide menelurkan sebuah ganjaran yang
tak akan kita pernah dapat selagi kita hanya melakukan rutinitas kehidupan,
bekerja dan kemudian diupah. Karya menjadi hasil olah rasa, olah hati dan
olah pikiran dalam balutan pukat ide. Ketika memukat ide menjadi aktivitas
abstrak yang hanya bisa dirasakan sendiri, berkarya adalah aktivitas yang dapat
menghasilkan sesuatu yang bisa dirasakan, bisa diapresiasi oleh orang
lain.
Sejarah telah membuktikan, orang-orang besar dan
berpengaruh dalam sejarah adalah mereka yang memiliki ide dan kemudian menjual
karya. Einstein telah berkarya dengan teori relativitasnya, Newton telah
berkarya dalam teori gravitasinya, Tsai Lun telah berkarya dengan penemuan
kertasnya. Mereka yang berkarya selama hidupnya akan dikenang oleh manusia
sepeninggal hidupnya. Manusia tak pernah lepas dari sebuah ide dan karya.
Seperti seorang ikan-ikan dalam jerat pukat, dan kemudian dikumpulkan dan
diolah menjadi hidangan sedap—sekumpulan ide akan menjadi sedap pula ketika
kita Si peramu dapat mengolah, menjual sebuah karya. Sebuah kebanggaan yang menjadi
milik Sang pencipta – Sang peramu – Sang empunya ide, melihat kita sebagai
karya ciptaannya memahami untuk apa ia diciptakan di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar