Mungkin ada benarnya
celetukan teman saya ini. Mungkin masyarakat Indonesia pun jenuh dengan film
Indonesia dengan kualitas hanya sebatas ukuran dada pemain. Lembaga sensor pun
menjadi sasaran keluhan para penonton akibat meloloskan film yang dengan
gamblang menampilkan belahan dada secara beruntun. Film Indonesia yang bagus
secara naskah dan pemain pun terkena imbas, masyarakat mulai hilang kepercayaan
dan hasrat menonton film Indonesia.
Seberapa buruk film
yang membawa ukuran dada menjadi andalan? Lantas seberapa penting Lembaga
Sensor Film? Dan bagaimana dengan imbas
terhadap pasar film Indonesia lain. Marilah kita ulik satu-persatu.
Ukuran dada tentu
tidak bisa menjadi andalan, naskah, arahan, dan akting pantas untuk dijadikan
senjata perfilman Indonesia—demi mentabiskan film Indonesia menjadi raja di
negeri sendiri. Jadi apakah film dengan keseksian, adegan kekerasan, dan hal
yang seringkali disensor sebelumnya bukan film bagus? Tidak juga. Jika semua
itu disadur dan dibalut dengan penampilan apik seorang pemain dan bertabur
naskah dan arahan yang keren tentulah menjadi film yang teramat bagus, bahkan
bisa bersaing di film Internasional.
Marilah kita menilik
ke kiblat perfilman dunia di Hollywood, tentu tidak jarang kekerasan dan
keseksian menjadi bagian dari film mereka, sebagai contoh serial James Bond dan
film bernuansa perang lain. Film serial James Bond senantiasa konsisten
menampilkan keseksian dan kemolekan tubuh Bond
Ladies di setiap kesempatan—namun tak pernah menjadikan itu sebagai pusat
film—cukup Bond sebagai bintang utama dan aksi. Begitu juga film bernuansa
perang lainnya, tak pernah mengurangi kesyahduan dan keapikan film, begitu asik
dilihat karena tatanan sinematografi.
Tentu lain sistem
perfilman Indonesia, lain pula sistem di perfilman barat. Pada bulan Februari
lalu, Badan Ekonomi Kreatif mewacanakan pengapusan lembaga sensor film dan
mengalihkan pengawasan film melalui sistem peringkat. Pernyataan ini
disampaikan oleh kepala Badan Ekonomi Kreatif, Triana Munaf dalam diskusi
kebijakan dan langkah strategis dalam pengembangan industri unggulan nasional
di Universitas Indonesia. Ide ini pun seringkali dilontarkan dalam debat
panjang di komisi satu DPR RI. Saya mungkin salah satu penikmat film yang amat
setuju dengan hal ini.
Bukan tanpa alasan
saya dan penikmat gambar bergerak di bioskop serta DVD sepakat atas kebijakan ini, lembaga sensor film acap kali
berlebihan ketika empat sampai lima menit adegan berdarah yang mempengaruhi
cerita dipotong tanpa belas asih. Di pihak lain, produsen dan kreator film
misalnya, pemotongan film setelah fase gubahan akhir amat merugikan—patut mengingat kembali, pasar film dalam negeri
amat sulit meraih sukses—sering kreator merasa film dalam adegan-adegan dalam fase
gubahan akhir yang dianggap wajar malah dibabat oleh pihak lembaga sensor film.
Indonesia adalah
bangsa timur! Budayanya tentu tak mengenal gambar seronok apalagi mengumumkan
bahwa ide pembunuhan dengan darah di mana-mana dan adegan dewasa lain itu lazim.
Tentu tidak sebebas itu. Solusinya adalah sistem peringkat film yang sudah banyak
diterapkan oleh industri film dunia lain. Film-film dibagi dan disebarkan
sesuai dengan kualifikasi umur dan konten film. Konten dan muatan film tentu
dikaji dari Lembaga Kualifikasi dan menerapkan di setiap tahap promosi dan penjualan.
Sistem kendalinya tentu ada di pihak bioskop dan gerai DVD, karena sistem ini pun tanpa pengendalian dan pengawasan sama
saja tak berguna.
Saya kira hal ini
pun patut coba ditawarkan oleh pihak Pak Triana Munaf dan teman-teman Badan Industri
Kreatif bentukan Jokowi, Lembaga sensor beralih jadi Lembaga kualifikasi. Ya
memang sistem baru butuh pula waktu untuk menjalankan sistem dan jika seperti
ini sudah diterapkan bertahun-tahun lalu sebelum Badan Industri Kreatif, tak
pernah terpikirkan film petualangan Sherina mendapat kualifikasi remaja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar