Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Sabtu, 04 April 2015

Sensorin Film Indonesia

Apa ini? Sedikit-sedikit paha dada. Film Indonesia itu tidak banget. Kenapa tidak disensor? Jadi repot kalau bawa anak nanti nonton film Indonesia liat adegan yang begitu.” – begitu ujar salah satu teman saya, mengeluhkan betapa film Indonesia hanya menampilkan para talenta baru, mantan model dengan kualitas akting yang tidak mumpuni melainkan hanya memperlihatkan bagian tubuhnya.

Mungkin ada benarnya celetukan teman saya ini. Mungkin masyarakat Indonesia pun jenuh dengan film Indonesia dengan kualitas hanya sebatas ukuran dada pemain. Lembaga sensor pun menjadi sasaran keluhan para penonton akibat meloloskan film yang dengan gamblang menampilkan belahan dada secara beruntun. Film Indonesia yang bagus secara naskah dan pemain pun terkena imbas, masyarakat mulai hilang kepercayaan dan hasrat menonton film Indonesia.

Seberapa buruk film yang membawa ukuran dada menjadi andalan? Lantas seberapa penting Lembaga Sensor Film?  Dan bagaimana dengan imbas terhadap pasar film Indonesia lain. Marilah kita ulik satu-persatu.

Ukuran dada tentu tidak bisa menjadi andalan, naskah, arahan, dan akting pantas untuk dijadikan senjata perfilman Indonesia—demi mentabiskan film Indonesia menjadi raja di negeri sendiri. Jadi apakah film dengan keseksian, adegan kekerasan, dan hal yang seringkali disensor sebelumnya bukan film bagus? Tidak juga. Jika semua itu disadur dan dibalut dengan penampilan apik seorang pemain dan bertabur naskah dan arahan yang keren tentulah menjadi film yang teramat bagus, bahkan bisa bersaing di film Internasional.

Marilah kita menilik ke kiblat perfilman dunia di Hollywood, tentu tidak jarang kekerasan dan keseksian menjadi bagian dari film mereka, sebagai contoh serial James Bond dan film bernuansa perang lain. Film serial James Bond senantiasa konsisten menampilkan keseksian dan kemolekan tubuh Bond Ladies di setiap kesempatan—namun tak pernah menjadikan itu sebagai pusat film—cukup Bond sebagai bintang utama dan aksi. Begitu juga film bernuansa perang lainnya, tak pernah mengurangi kesyahduan dan keapikan film, begitu asik dilihat karena tatanan sinematografi.
Tentu lain sistem perfilman Indonesia, lain pula sistem di perfilman barat. Pada bulan Februari lalu, Badan Ekonomi Kreatif mewacanakan pengapusan lembaga sensor film dan mengalihkan pengawasan film melalui sistem peringkat. Pernyataan ini disampaikan oleh kepala Badan Ekonomi Kreatif, Triana Munaf dalam diskusi kebijakan dan langkah strategis dalam pengembangan industri unggulan nasional di Universitas Indonesia. Ide ini pun seringkali dilontarkan dalam debat panjang di komisi satu DPR RI. Saya mungkin salah satu penikmat film yang amat setuju dengan hal ini.

Bukan tanpa alasan saya dan penikmat gambar bergerak di bioskop serta DVD sepakat atas kebijakan ini, lembaga sensor film acap kali berlebihan ketika empat sampai lima menit adegan berdarah yang mempengaruhi cerita dipotong tanpa belas asih. Di pihak lain, produsen dan kreator film misalnya, pemotongan film setelah fase gubahan akhir amat merugikan—patut  mengingat kembali, pasar film dalam negeri amat sulit meraih sukses—sering kreator merasa film dalam adegan-adegan dalam fase gubahan akhir yang dianggap wajar malah dibabat oleh pihak lembaga sensor film.

Indonesia adalah bangsa timur! Budayanya tentu tak mengenal gambar seronok apalagi mengumumkan bahwa ide pembunuhan dengan darah di mana-mana dan adegan dewasa lain itu lazim. Tentu tidak sebebas itu. Solusinya adalah sistem peringkat film yang sudah banyak diterapkan oleh industri film dunia lain. Film-film dibagi dan disebarkan sesuai dengan kualifikasi umur dan konten film. Konten dan muatan film tentu dikaji dari Lembaga Kualifikasi dan menerapkan di setiap tahap promosi dan penjualan. Sistem kendalinya tentu ada di pihak bioskop dan gerai DVD, karena sistem ini pun tanpa pengendalian dan pengawasan sama saja tak berguna.

Saya kira hal ini pun patut coba ditawarkan oleh pihak Pak Triana Munaf dan teman-teman Badan Industri Kreatif bentukan Jokowi, Lembaga sensor beralih jadi Lembaga kualifikasi. Ya memang sistem baru butuh pula waktu untuk menjalankan sistem dan jika seperti ini sudah diterapkan bertahun-tahun lalu sebelum Badan Industri Kreatif, tak pernah terpikirkan film petualangan Sherina mendapat kualifikasi remaja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.