Krisis karakter belum menunjukkan gejala perbaikan. Janji negara hadir di
setiap persoalan, realisasinya masih belum memenuhi harapan publik. Hampir satu
tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, rancangan dan konsep revolusi
mental belum terlihat. Jangan sampai revolusi mental tinggal slogan semata.
Kisah ini pun menarik jika dikaitkan dengan dongeng klasik Cinderella. Dalam
hitungan detik impian sang putri pun menjadi kenyataan—baju berdebu usang
menjadi gaun mahal nan berkilau. Sepatu robek menjadi sepatu kaca berhiaskan
kilau. Teramat disayangkan revolusi mental tak seperti kisah Cinderella.
Gotong royong menjadi nilai dasar sebuah bangsa, yang seharusnya dimaknai
sikap saling tolong-menolong dalam kebaikan dan pembangunan, malah memudar.
Gotong royong kini menonjol dari sisi negatif, tolong-menolong dalam kejahatan
dan perusakan. Dari sisi kualitas, pelayanan negara kepada rakyat pun belum
optimal. Reformasi birokrasi belum mampu menciptakan aparatur sipil negara yang
bekerja keras, bekerja tangkas, dan gigih untuk meraih mutu terbaik melayani
rakyat. Nilai-nilai luhur seperti kejujuran, amanah, dan bersih masih kerap
diabaikan. Padahal, bukankah pemerintahan Joko Widodo beserta kabinet kerja
menjadikan revolusi mental sebagai sikap kerja melayani rakyat menjalankan Nawa
Cita. Gaung revolusi mental tak lagi sekencang masa kampanye Pemilihan Presiden
2014.
Revolusi Mental memang tak seperti kisah Cinderella. Dikatakan revolusi
pun tidak bisa dituntut amat cepat mengingat hal ini berurusan dengan mental
dan kepribadian tiap individu dalam bangsa ini. Bayangkan sekitar 256 juta
rakyat Indonesia akan diperbaharui mental oleh pemerintah Joko Widodo. Joko
Widodo dan kabinet kerja bukanlah ibu peri yang dengan keajaibannya menyulap
Cinderella menjadi cantik jelita.
Kita semua tentu sepakat ide revolusi mental merupakan hal baik. Revolusi
mental diyakini bisa membawa bangsa Indonesia menjadi karakter yang kuat,
jujur, dan memiliki etos kerja tinggi sehingga mampu menyusul keberhasilan
Singapura, Jepang, dan Korea Selatan. Cara terbaik adalah melibatkan
partisipasi aktif masyarakat Indonesia dengan jiwa demokrasi sebagai agen
sosial dari kalangan masyarakat sipil, masyarakat media, pekerja budaya, dunia
pendidikan, dan dunia usaha. Tidak ada kata terlambat untuk itu. Namun jelas
tak perlu terburu-buru. Karena negara-negara besar pun tak mengalami perubahan
dalam hitungan setahun atau dua tahun.
Tidak ada keajaiban ibu peri dalam menjadikan Singapura, Jepang, dan
Korea Selatan menjadi negara terpandang. Jepang dan Korea Selatan merupakan
contoh dua negara yang bangkit menjadi raksasa ekonomi dunia setelah luluh
lantak akibat perang. Bangsa Indonesia dengan sumber daya manusia seharusnya
merupakan kunci keunggulan bangsa ini. Investasi sumber daya alam dengan mantra
revolusi mental dapat membangun karakter yang tahan banting, mengutamakan
kejujuran, terdidik, dan toleran. Siapa yang tak mau kelak mental setiap 256
juta rakyat Indonesia—berkali lipat dari jumlah rakyat Singapura, Jepang, dan
Korea Selatan--berkarakter kuat, jujur, dan memiliki etos kerja tinggi.
Sulit jika melihat rancangan revolusi mental ini—apalagi dengan tuntutan
masyarakat untuk segera dan membuktikan bahwa pemerintah ini dapat membangun
karakter Indonesia untuk mempertegas kepribadian dan jadi diri bangsa. Bagian
akhir kisah Cinderella pun diharapkan tidak terjadi dalam revolusi mental.
Terburu-buru dan instan membuat keajaiban Cinderella pun hanya bersifat
sementara. Kita sebagai rakyat Indonesia tentu tidak ingin keinstanan dalam
revolusi mental. Cepat tak harus buru-buru—ada sekian banyak hal yang harus
dipikirkan—dari Sabang Aceh hingga Merauke Papua. Gebrakan Revolusi Mental
secara bertahap suatu saat nanti akan menancap erat ke dalam pribadi bangsa
Indonesia—entah itu ke dalam setiap pendukung Jokowi atau bukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar