Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Sabtu, 21 Maret 2015

Revolusi Mental - Tak Seperti Kisah Cinderella

Pada era pemilu ada hal menarik yang coba ditawarkan oleh bakal calon presiden Joko Widodo. Revolusi mental menjadi senjata utama Jokowi dan Kalla dan kemudian memuluskan langkah mereka menjadi orang nomor satu di Indonesia. Memasuki satu tahun pemerintahan, revolusi mental menjadi hal yang banyak dipertanyakan bukti nyatanya. Tanpa kabar berita. Tanpa kepastian jelas apa itu revolusi mental membuat satu tahun pemerintahan Jokowi JK disorot dalam hal janji kampanye.

Krisis karakter belum menunjukkan gejala perbaikan. Janji negara hadir di setiap persoalan, realisasinya masih belum memenuhi harapan publik. Hampir satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, rancangan dan konsep revolusi mental belum terlihat. Jangan sampai revolusi mental tinggal slogan semata. Kisah ini pun menarik jika dikaitkan dengan dongeng klasik Cinderella. Dalam hitungan detik impian sang putri pun menjadi kenyataan—baju berdebu usang menjadi gaun mahal nan berkilau. Sepatu robek menjadi sepatu kaca berhiaskan kilau. Teramat disayangkan revolusi mental tak seperti kisah Cinderella.

Gotong royong menjadi nilai dasar sebuah bangsa, yang seharusnya dimaknai sikap saling tolong-menolong dalam kebaikan dan pembangunan, malah memudar. Gotong royong kini menonjol dari sisi negatif, tolong-menolong dalam kejahatan dan perusakan. Dari sisi kualitas, pelayanan negara kepada rakyat pun belum optimal. Reformasi birokrasi belum mampu menciptakan aparatur sipil negara yang bekerja keras, bekerja tangkas, dan gigih untuk meraih mutu terbaik melayani rakyat. Nilai-nilai luhur seperti kejujuran, amanah, dan bersih masih kerap diabaikan. Padahal, bukankah pemerintahan Joko Widodo beserta kabinet kerja menjadikan revolusi mental sebagai sikap kerja melayani rakyat menjalankan Nawa Cita. Gaung revolusi mental tak lagi sekencang masa kampanye Pemilihan Presiden 2014.

Revolusi Mental memang tak seperti kisah Cinderella. Dikatakan revolusi pun tidak bisa dituntut amat cepat mengingat hal ini berurusan dengan mental dan kepribadian tiap individu dalam bangsa ini. Bayangkan sekitar 256 juta rakyat Indonesia akan diperbaharui mental oleh pemerintah Joko Widodo. Joko Widodo dan kabinet kerja bukanlah ibu peri yang dengan keajaibannya menyulap Cinderella menjadi cantik jelita.
Kita semua tentu sepakat ide revolusi mental merupakan hal baik. Revolusi mental diyakini bisa membawa bangsa Indonesia menjadi karakter yang kuat, jujur, dan memiliki etos kerja tinggi sehingga mampu menyusul keberhasilan Singapura, Jepang, dan Korea Selatan. Cara terbaik adalah melibatkan partisipasi aktif masyarakat Indonesia dengan jiwa demokrasi sebagai agen sosial dari kalangan masyarakat sipil, masyarakat media, pekerja budaya, dunia pendidikan, dan dunia usaha. Tidak ada kata terlambat untuk itu. Namun jelas tak perlu terburu-buru. Karena negara-negara besar pun tak mengalami perubahan dalam hitungan setahun atau dua tahun.

Tidak ada keajaiban ibu peri dalam menjadikan Singapura, Jepang, dan Korea Selatan menjadi negara terpandang. Jepang dan Korea Selatan merupakan contoh dua negara yang bangkit menjadi raksasa ekonomi dunia setelah luluh lantak akibat perang. Bangsa Indonesia dengan sumber daya manusia seharusnya merupakan kunci keunggulan bangsa ini. Investasi sumber daya alam dengan mantra revolusi mental dapat membangun karakter yang tahan banting, mengutamakan kejujuran, terdidik, dan toleran. Siapa yang tak mau kelak mental setiap 256 juta rakyat Indonesia—berkali lipat dari jumlah rakyat Singapura, Jepang, dan Korea Selatan--berkarakter kuat, jujur, dan memiliki etos kerja tinggi.

Sulit jika melihat rancangan revolusi mental ini—apalagi dengan tuntutan masyarakat untuk segera dan membuktikan bahwa pemerintah ini dapat membangun karakter Indonesia untuk mempertegas kepribadian dan jadi diri bangsa. Bagian akhir kisah Cinderella pun diharapkan tidak terjadi dalam revolusi mental. Terburu-buru dan instan membuat keajaiban Cinderella pun hanya bersifat sementara. Kita sebagai rakyat Indonesia tentu tidak ingin keinstanan dalam revolusi mental. Cepat tak harus buru-buru—ada sekian banyak hal yang harus dipikirkan—dari Sabang Aceh hingga Merauke Papua. Gebrakan Revolusi Mental secara bertahap suatu saat nanti akan menancap erat ke dalam pribadi bangsa Indonesia—entah itu ke dalam setiap pendukung Jokowi atau bukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.