Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Sabtu, 07 Maret 2015

Tak Ramah Bagi Difabel

Teramat susah melihat kita pada umumnya bercakap-cakap bersama kelompok difabel. Jarang pula berpapasan di pinggir jalan dan sekedar bertukar sapa. Mungkin benar negara dan kota ini tidak ramah bagi kaum difabel. Gambaran tak ramah mungkin teramat tepat, mereka tak memiliki akses untuk hanya sekedar menilik bagian sudut kota ini, terlebih melintasinya. Bahkan jalan pun terlihat sinis melihat mereka karena kecacatan mereka.

Difabel bukan kelompok orang-orang berkekurangan, kondisi fisik mereka hanya berbeda dan hanya mampu melakukan aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula. Kenapa pemerintah cukup sulit untuk membuat kota ini ramah kepada mereka? Mereka tak bisa terus-terusan bersusahan untuk naik ke pintu masuk gedung beranak tangga. Mereka tak bisa selalu bersusahan naik angkutan umum atau naik ke atas panggung menampilkan karyanya.

Perhatian pemerintah terhadap permasalahan difabel amat rendah. Masyarakat pun tak memiliki keramahan, kaum difabel seperti dipandang sinis sebelah mata. Lalu bagaimana pemerintah seharusnya bisa menjadi kontribusi besar bagi menciptakan negara ramah bagi kaum difabel dengan masuk akal dan bertanggung jawab ?

Mendorong media televisi dan film sebagai pembongkar bentuk-bentuk kekerasan yang selama ini disembunyikan oleh budaya, serta mengubah pandangan masyarakat yang semula diskriminatif menjadi ramah dan mulai peduli menempatkan difabel setara dengan dirinya. Dalam perkembangan sejarah umat manusia, media ini terbukti berpengaruh terhadap pembentukan pola pikir masyarakat mulai dari promosi suatu produk, hiburan, propaganda sampai syiar agama bisa memakai media ini.


Bagaimanapun juga film adalah cermin dari budaya bangsa, sehingga pesan pesan atau muatan yang terkandungnya juga merupakan refleksi budaya dan perilaku yang terjadi di masyarakat. Bahkan di negara seperti Rusia dan Amerika, mereka memiliki Festival Cinema for The Deaf, acara tahunan di Chicago untuk film-film bagi kaum tuna rungu. Kita membayangkan di antara gegap gempitanya film-film Holywood, mereka masih bisa memproduksi (dan banyak) film-film khusus dengan adegan tidak memakai dialog suara, tetapi gerakan-gerakan tangan untuk berkomunikasi. Media televisi dan film memang dinilai paling pas untuk membangun pola pikir ramah bagi para difabel.

Lantas bagaimana dengan pemberdayaan serta peran pemerintah? Tentu amat penting. Pasca tumbangnya orde baru, kita memiliki kesempatan yang luar biasa besarnya untuk menaikan kesetaraan komunitas difabel ini, mengapa tidak, dengan memiliki presiden dan ibu negara yang (kebetulan) difabel, seharusnya keramahan ini bisa menjadi program rutin dari pemerintahan mereka. Mengapa sama sekali tidak ada alokasi dana untuk pembuatan iklan layanan masyarakat mengenai aspirasi dan kesetaraan kaum difabel. Ini menjadi bukti ketidakramahan pemerintah terhadap masalah difabel. Padahal banyak BUMN, Bank atau perusahaan rekanan pemerintah yang bisa dengan mudahnya mendanai pembuatan iklan layanan masyarakat ini.

Dengan angka 1 miliar rupiah saja sudah bisa membuat sebuah iklan layanan masyarakat termasuk dengan biaya pemasangan di media televisi selama sebulan. Dengan adanya iklan layanan masyarakat yang ditayangkan berulang, terlebih ditambah jatah penayangan secara gratis dari pemilik TV swasta, maka akan menggulirkan bola kesadaran kepada seluruh lapisan masyarakat. Pemilik gedung, manufaktur kendaraan, pengelola fasilitas dan sarana transportasi umum, sampai perusahaan atau kantor-kantor. Semua akan terkena imbas. Pola pikir ramah terhadap kaum difabel akan terbentuk. Mau tidak mau pihak swasta akan berlomba-lomba membuat proyek pelayanan terbaik bagi kaum difabel. Memberi keramahan untuk difabel membuat kita menciptakan panggung itu sendiri. Panggung untuk mereka tak lagi sungkan untuk memulai komunikasi, menampilkan karya dan lainnya.

Siapa tidak mau melihat negara seindah ini? Di mana kaum difabel dan orang-orang biasa berdampingan, bercakapan, beranda gurau makan siang bersama sembari menanti jam masuk kerja selepas rehat siang. Tentu semua orang mau, asalkan media, pemerintah dan pihak lainnya mau berkumpul bersama dan bersinergi untuk meramahkan difabel negara ini. Tidak lagi memandang sebelah mata kaum difabel, tapi kembali merangkul sebagaimana kita merangkul seorang sahabat dengan penuh keramahan ala budaya negara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.