Difabel bukan kelompok orang-orang
berkekurangan, kondisi fisik mereka hanya berbeda dan hanya mampu melakukan
aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula. Kenapa pemerintah cukup
sulit untuk membuat kota ini ramah kepada mereka? Mereka tak bisa terus-terusan
bersusahan untuk naik ke pintu masuk gedung beranak tangga. Mereka tak bisa
selalu bersusahan naik angkutan umum atau naik ke atas panggung menampilkan
karyanya.
Perhatian pemerintah terhadap permasalahan
difabel amat rendah. Masyarakat pun tak memiliki keramahan, kaum difabel
seperti dipandang sinis sebelah mata. Lalu bagaimana pemerintah seharusnya bisa
menjadi kontribusi besar bagi menciptakan negara ramah bagi kaum difabel dengan
masuk akal dan bertanggung jawab ?
Mendorong media televisi dan film sebagai
pembongkar bentuk-bentuk kekerasan yang selama ini disembunyikan oleh budaya,
serta mengubah pandangan masyarakat yang semula diskriminatif menjadi ramah dan
mulai peduli menempatkan difabel setara dengan dirinya. Dalam perkembangan
sejarah umat manusia, media ini terbukti berpengaruh terhadap pembentukan pola
pikir masyarakat mulai dari promosi suatu produk, hiburan, propaganda sampai
syiar agama bisa memakai media ini.
Bagaimanapun juga film adalah cermin dari
budaya bangsa, sehingga pesan pesan atau muatan yang terkandungnya juga
merupakan refleksi budaya dan perilaku yang terjadi di masyarakat. Bahkan di
negara seperti Rusia dan Amerika, mereka memiliki Festival Cinema for The Deaf,
acara tahunan di Chicago untuk film-film bagi kaum tuna rungu. Kita
membayangkan di antara gegap gempitanya film-film Holywood, mereka masih bisa
memproduksi (dan banyak) film-film khusus dengan adegan tidak memakai dialog
suara, tetapi gerakan-gerakan tangan untuk berkomunikasi. Media televisi dan
film memang dinilai paling pas untuk membangun pola pikir ramah bagi para
difabel.
Lantas bagaimana dengan pemberdayaan serta peran pemerintah? Tentu amat penting. Pasca tumbangnya orde baru, kita memiliki kesempatan yang luar biasa besarnya untuk menaikan kesetaraan komunitas difabel ini, mengapa tidak, dengan memiliki presiden dan ibu negara yang (kebetulan) difabel, seharusnya keramahan ini bisa menjadi program rutin dari pemerintahan mereka. Mengapa sama sekali tidak ada alokasi dana untuk pembuatan iklan layanan masyarakat mengenai aspirasi dan kesetaraan kaum difabel. Ini menjadi bukti ketidakramahan pemerintah terhadap masalah difabel. Padahal banyak BUMN, Bank atau perusahaan rekanan pemerintah yang bisa dengan mudahnya mendanai pembuatan iklan layanan masyarakat ini.
Dengan angka 1 miliar rupiah saja sudah
bisa membuat sebuah iklan layanan masyarakat termasuk dengan biaya pemasangan
di media televisi selama sebulan. Dengan adanya iklan layanan masyarakat yang
ditayangkan berulang, terlebih ditambah jatah penayangan secara gratis dari pemilik
TV swasta, maka akan menggulirkan bola kesadaran kepada seluruh lapisan
masyarakat. Pemilik gedung, manufaktur kendaraan, pengelola fasilitas dan
sarana transportasi umum, sampai perusahaan atau kantor-kantor. Semua akan
terkena imbas. Pola pikir ramah terhadap kaum difabel akan terbentuk. Mau tidak
mau pihak swasta akan berlomba-lomba membuat proyek pelayanan terbaik bagi kaum
difabel. Memberi keramahan untuk difabel membuat kita menciptakan panggung itu
sendiri. Panggung untuk mereka tak lagi sungkan untuk memulai komunikasi,
menampilkan karya dan lainnya.
Siapa tidak mau melihat negara seindah
ini? Di mana kaum difabel dan orang-orang biasa berdampingan, bercakapan,
beranda gurau makan siang bersama sembari menanti jam masuk kerja selepas rehat
siang. Tentu semua orang mau, asalkan media, pemerintah dan pihak lainnya mau
berkumpul bersama dan bersinergi untuk meramahkan difabel negara ini. Tidak
lagi memandang sebelah mata kaum difabel, tapi kembali merangkul sebagaimana
kita merangkul seorang sahabat dengan penuh keramahan ala budaya negara ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar