Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Kamis, 14 Februari 2013

Habibie Pun Tersenyum


If someone insults you, take it as a compliment that they spend so much time thinking about you, when you don’t give a second thinking about themHabibie

     Tiba tiba seantero negeri kebakaran jenggot karena ucapan mantan Menteri Penerangan Malaysia yang mengecam BJ Habibie sebagai ‘anjing imperialis’ . Ini sehubungan dengan undangan Mantan Deputy Perdana Menteri Anwar Ibrahim ke BJ Habibie untuk memberikan pidato di perhelatannya. Mungkin BJ Habibie juga tidak perduli. Bisa jadi dia teringat Soekarno – Hatta pun kerap disebut ‘budak fasisme‘. Tapi siapa yang ingat, kalau BJ Habibie dulupun ketika menjadi Presiden RI pernah menyinggung Lee Kuan Yew dengan menyebut Singapore sebagai ‘ little red dot ‘. 

     Manusia Indonesia memang pemarah. Supir nabrak motor, pasti digebuki si supir walau yang salah bisa jadi pengendara motornya. Suporter bola yang nyasar bisa dikeroyok. Ibu-ibu Garut juga marah, karena hak hak perempuan yang dilecehkan oleh sang Bupati. Bukan karena kawin siri atau istri kesekian, tapi karena proses perceraiannya dengan melalui SMS. Padahal tahun 50an KOWANI, Korps Wanita Indonesia marah dan melakukan demo karena mengkritik keputusan Bung Karno mengawini Hartini. Ibu Ibu Indonesia tidak terima kalau presidennya melakukan poligami. Sutan Syahrirpun marah karena merasa kebisingan dengan suara falsnya Sukarno yang bernyanyi nyanyi di kamar mandi, di tempat pembuangannya. Orang Indonesia marah ketika apa yang mereka gumamkan tak terdengar oleh pemerintah. Padahal hanya sebuah gumaman.

     Ketika ia menjadi Menteri Riset dan Teknologi, muncul sebuah ide yang digadang-gadangkan sebagai mashab ekonomi bau . “Habibienomics“, tentang nilai tambah teknologi maju bagi bangsa Indonesia. Habibie yang sukses membuat pesawat terbang, tapi tidak mampu menjualnya secara menguntungkan. Sukses menjadi ironi ketika pesawat pesawat itu hanya ditukar dengan beras ketan dari Thailand. Kemarahan Habibie muncul karena PT Dirgantara dibiarkan berantakan oleh Pemerintahan baru, hanya disalurkan dalam bentuk konsistensi tulisan. Ia sedih melihat ahli-ahli pesawat didikannya menjadi diaspora engineering pesawat terbang di belahan dunia lain, sementara yang tersisa di Bandung harus banting stir menjadi membuat antenna decoder.

     Dua puluh tahun lalu insinyur kita sudah bisa bersaing dengan insinyur Korea. Kita bisa buat pesawat , disaat insinyur Korea sudah bisa buat mobil. Tidak usah bicara Cina yang saat itu hanya bisa merakit panci. Sekarang kita sudah mandeg karena sudah kekenyangan dengan segala euphoria demokrasi. Sementara Korea tidak hanya bikin mobil atau TV. Mereka juga bikin komputer, telepon seluler. Demikian juga Cina membanjiri pasar Indonesia dengan barang barang elektronik murah, termasuk handphone dan gadgdet mirip-mirip Iphone. Kita adalah pasar bukan lagi manufaktur.

     Terus terang ini membuat gua lebih marah, karena janji janji demokrasi dan kehidupan adil makmur dilain pihak membuat kita ketinggalan sepersekian lompatan ruang waktu dari bangsa bangsa lain. Saya pun berpikir bahwa amarah itu penting. Menunjukan ke’aku’an. Berpikir kita memiliki emosi dan semangat sekaligus. Bukan bangsa yang lembek. Cacingpun akan menggeliat jika diinjak, begitu kata orang bijak. Kita bisa mengarahkan kemarahan ke energi positif. Katakanlah jadi sebuah optimisme. Ubah kemarahan menjadi sebuah tindakan. Karena jika kita apatis artinya kita mati secara perlahan.

     Namun kitapun sudah tak bisa lagi menumpahkan kemarahan kepada siapapun tentang kisruh persepakbolaan nasional. Mau marah kemana ? PSSI yang tak becus atau KPSI yang bergaya punya legitimasi. Kalau kita melihat moto diatas, kita rakyat – karena ada yang menganggap sepak bola adalah suara rakyat – memikirkan sedemikian rupa sementara para pengurus bola sama sekali tidak memikirkan sepak bola kecuali kedudukannya dan rebutan lahan.

     Habibie mungkin membiarkan kemarahan tentara yang menganggapnya sebagai biang kerok lepasnya Timor Timur. Dia dianggap Presiden yang tidak punya wibawa, sehingga kemanapun dia pergi saat itu, harus menggandeng Wiranto sebagai bemper pelindungnya. Namun kita bisa sadar, begitu banyak orang pintar di negeri ini. Karaeng Pattingaloang adalah Perdana Menteri Kerajaan Makasar pada tahun 1639 – 1653. Ia seperti Habibie juga pintar sains dan teknologi. Ia bisa berbahasa asing. Portugis, Spanyol sampai Latin. Pattingaloang selalu membawa buku matematika di tangannya. Senantiasa belajar siang malam. Bedanya dengan Habibie yang tidak bisa dagang. Pattingaloang pintar berdagang dan menjalin bisnis dengan pedagang Goa, Portugis, Spanyol, Belanda, Siam sampai Philipina. Dia membawa kemakmuran bagi rakyat Makasar.

     Saya tidak marah dengan kegagalan Habibie membawa bangsa ini menuju era lompatan teknologi. Bukan salah dia seluruhnya. Banyak faktor yang tidak bisa diabaikan. Hanya sedikit terusik, dengan predikat bangsa yang paling update, pemakai terbesar gadget di dunia. Sementara sisi lain si Sampang, pulau Madura, tak jauh dari Surabaya, kota nomer dua terbesar. Rakyat masih antri beras murah yang dijatah 5 kg per keluarga.

     Namun ini resiko pertumbuhan kelas menengah yang ironisnya tidak mencerminkan pemerataan kemakmuran yang selalu dijanjikan. Habibie melupakan rasa frustasinya terhadap negeri ini dengan merawat dan mencintai istrinya Ainun sampai akhir kematian menjemput istrinya. Sukarno mengijinkan Syahrir dibawa berobat ke luar negeri atas biaya negara. Bahkan Syahrir tak pernah dendam kepada Sukarno. Ketika ia ditangkap, ia berpesan kepada Subadio – sejawatnya. Berpesan, bantulah Sukarno jika dia membutuhkan bantuan.
     Anger Management. Begitulah kita mengatur amarah kita atas kegagalan arah tujuan bangsa kita. Habibiepun tersenyum melupakan impian tentang N 2130. Pesawat jet pertama Indonesia yang direncanakan terbang tahun 2006. Ia bangga bisa membuat film sekarang, tentang kisah cintanya terhadap istrinya. Perlahan ia tersenyum kepada Bunga Citra Lestari yang memerankan Ainun. Sesekali ia memotret dengan gadgdetnya situasi syuting pengambilan gambarnya. 

Habibie pun tersenyum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.