If someone insults you, take it as a compliment
that they spend so much time thinking about you, when you don’t give a second
thinking about them – Habibie
Tiba
tiba seantero negeri kebakaran jenggot karena ucapan mantan Menteri Penerangan
Malaysia yang mengecam BJ Habibie sebagai ‘anjing imperialis’ . Ini sehubungan
dengan undangan Mantan Deputy Perdana Menteri Anwar Ibrahim ke BJ Habibie untuk
memberikan pidato di perhelatannya. Mungkin BJ Habibie juga tidak perduli. Bisa
jadi dia teringat Soekarno – Hatta pun kerap disebut ‘budak fasisme‘. Tapi
siapa yang ingat, kalau BJ Habibie dulupun ketika menjadi Presiden RI pernah
menyinggung Lee Kuan Yew dengan menyebut Singapore sebagai ‘ little red dot ‘.
Manusia
Indonesia memang pemarah. Supir nabrak motor, pasti digebuki si supir walau
yang salah bisa jadi pengendara motornya. Suporter bola yang nyasar bisa dikeroyok. Ibu-ibu Garut
juga marah, karena hak hak perempuan yang dilecehkan oleh sang Bupati. Bukan
karena kawin siri atau istri kesekian, tapi karena proses perceraiannya dengan
melalui SMS. Padahal tahun 50an KOWANI, Korps Wanita Indonesia marah dan
melakukan demo karena mengkritik keputusan Bung Karno mengawini Hartini. Ibu
Ibu Indonesia tidak terima kalau presidennya melakukan poligami. Sutan
Syahrirpun marah karena merasa kebisingan dengan suara falsnya Sukarno yang
bernyanyi nyanyi di kamar mandi, di tempat pembuangannya. Orang Indonesia marah
ketika apa yang mereka gumamkan tak terdengar oleh pemerintah. Padahal hanya
sebuah gumaman.
Ketika ia menjadi Menteri Riset dan Teknologi, muncul sebuah ide yang digadang-gadangkan sebagai mashab ekonomi bau . “Habibienomics“, tentang nilai tambah teknologi maju bagi bangsa Indonesia. Habibie yang sukses membuat pesawat terbang, tapi tidak mampu menjualnya secara menguntungkan. Sukses menjadi ironi ketika pesawat pesawat itu hanya ditukar dengan beras ketan dari Thailand. Kemarahan Habibie muncul karena PT Dirgantara dibiarkan berantakan oleh Pemerintahan baru, hanya disalurkan dalam bentuk konsistensi tulisan. Ia sedih melihat ahli-ahli pesawat didikannya menjadi diaspora engineering pesawat terbang di belahan dunia lain, sementara yang tersisa di Bandung harus banting stir menjadi membuat antenna decoder.
Dua
puluh tahun lalu insinyur kita sudah bisa bersaing dengan insinyur Korea. Kita
bisa buat pesawat , disaat insinyur Korea sudah bisa buat mobil. Tidak usah
bicara Cina yang saat itu hanya bisa merakit panci. Sekarang kita sudah mandeg karena sudah kekenyangan dengan
segala euphoria demokrasi. Sementara
Korea tidak hanya bikin mobil atau TV. Mereka juga bikin komputer, telepon
seluler. Demikian juga Cina membanjiri pasar Indonesia dengan barang barang
elektronik murah, termasuk handphone dan gadgdet mirip-mirip Iphone. Kita adalah pasar bukan lagi
manufaktur.
Terus
terang ini membuat gua lebih marah,
karena janji janji demokrasi dan kehidupan adil makmur dilain pihak membuat
kita ketinggalan sepersekian lompatan ruang waktu dari bangsa bangsa lain. Saya pun berpikir bahwa amarah itu
penting. Menunjukan ke’aku’an. Berpikir kita memiliki emosi dan semangat
sekaligus. Bukan bangsa yang lembek. Cacingpun akan menggeliat jika diinjak,
begitu kata orang bijak. Kita bisa mengarahkan kemarahan ke energi positif.
Katakanlah jadi sebuah optimisme. Ubah kemarahan menjadi sebuah tindakan. Karena
jika kita apatis artinya kita mati secara perlahan.
Namun
kitapun sudah tak bisa lagi menumpahkan kemarahan kepada siapapun tentang
kisruh persepakbolaan nasional. Mau marah kemana ? PSSI yang tak becus atau
KPSI yang bergaya punya legitimasi. Kalau kita melihat moto diatas, kita rakyat
– karena ada yang menganggap sepak bola adalah suara rakyat – memikirkan
sedemikian rupa sementara para pengurus bola sama sekali tidak memikirkan sepak
bola kecuali kedudukannya dan rebutan lahan.
Habibie
mungkin membiarkan kemarahan tentara yang menganggapnya sebagai biang kerok
lepasnya Timor Timur. Dia dianggap Presiden yang tidak punya wibawa, sehingga
kemanapun dia pergi saat itu, harus menggandeng Wiranto sebagai bemper
pelindungnya. Namun kita bisa sadar, begitu banyak orang pintar di negeri ini. Karaeng
Pattingaloang adalah Perdana Menteri Kerajaan Makasar pada tahun 1639 –
1653. Ia seperti Habibie juga pintar sains dan teknologi. Ia bisa berbahasa
asing. Portugis, Spanyol sampai Latin. Pattingaloang selalu membawa
buku matematika di tangannya. Senantiasa belajar siang malam. Bedanya dengan
Habibie yang tidak bisa dagang. Pattingaloang
pintar berdagang dan menjalin bisnis dengan pedagang Goa, Portugis, Spanyol,
Belanda, Siam sampai Philipina. Dia membawa kemakmuran bagi rakyat Makasar.
Saya tidak marah dengan kegagalan
Habibie membawa bangsa ini menuju era lompatan teknologi. Bukan salah dia seluruhnya.
Banyak faktor yang tidak bisa diabaikan. Hanya sedikit terusik, dengan predikat bangsa yang paling update, pemakai
terbesar gadget di dunia. Sementara sisi lain si Sampang, pulau Madura, tak
jauh dari Surabaya, kota nomer dua terbesar. Rakyat masih antri beras murah
yang dijatah 5 kg per keluarga.
Namun
ini resiko pertumbuhan kelas menengah yang ironisnya tidak mencerminkan
pemerataan kemakmuran yang selalu dijanjikan. Habibie melupakan rasa
frustasinya terhadap negeri ini dengan merawat dan mencintai istrinya Ainun
sampai akhir kematian menjemput istrinya. Sukarno mengijinkan Syahrir dibawa
berobat ke luar negeri atas biaya negara. Bahkan Syahrir tak pernah dendam
kepada Sukarno. Ketika ia ditangkap, ia berpesan kepada Subadio – sejawatnya.
Berpesan, bantulah Sukarno jika dia membutuhkan bantuan.
Anger
Management. Begitulah kita mengatur amarah kita atas kegagalan arah tujuan
bangsa kita. Habibiepun tersenyum melupakan impian tentang N 2130. Pesawat jet
pertama Indonesia yang direncanakan terbang tahun 2006. Ia bangga bisa membuat
film sekarang, tentang kisah cintanya terhadap istrinya. Perlahan ia tersenyum
kepada Bunga Citra Lestari yang memerankan Ainun. Sesekali ia memotret dengan
gadgdetnya situasi syuting pengambilan gambarnya.
Habibie pun tersenyum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar