Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?
Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?
Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?
Chris John akhirnya memenangkan pertarungan di Marina Bay Sands, Singapura
melawan petinju Thailand yang lebih muda, Chonlatarn Piriyapinyo. Ia
mempertahankan gelarnya yang ke 17 kali. Walau wajahnya babak belur, terkena
bogem mentah lawan. Chris John masih menebar senyum di konperensi pers. “ Saya
ingin bertinju sampai usia 35 tahun “. Masih ada 2 tahun lagi, kita masih boleh
berbangga memiliki juara dunia.
Apa
yang dinamakan kebanggaan tentang Indonesia. Karena dipuji Perdana Menteri
Inggris bahwa Indonesia kelak akan menjadi negara maju karena kekuatan
perekonomiannya. Tentu bukan sepak bola juga. Kita sendiri bingung antara
terpuruknya prestasi juga mana yang benar atau salah. PSSI atau KPSI. Lalu liga
versi mana yang sebenarnya berhak memutar roda kompetisi. Chris John dicibirkan
ketika memilih dilatih di Australia daripada dilatih pelatih dalam negeri.
Dicap tidak nasionalis. Tapi Dia tetap konsisten dengan pilihannya dan hidup
disiplin dalam ‘ Ausralian’s way ‘ untuk tetap mempertahankan gelarnya demi
keharuman nama negaranya.
Ketika dulu saya bawa syuting untuk iklan minuman energi. Dia tidak mengeluh
dibawa naik turun bukit masuk keluar hutan dengan berjalan kaki selama 2 jam di
Kabupaten Manggarai, Flores. Terus terang saya bangga bisa men’direct’ seorang
juara dunia. Menyuruh lari, berekspresi atau berakting sesuai kebutuhan
shooting board. Kita juga tak tahu apa perlu bangga dengan penganugrahan gelar
pahlawan Sukarno dan Hatta. Dua bapak bangsa yang sekian lama sengaja
ditenggalamkan reputasinya demi kebutuhan rezim orde baru.
Kebanggaan Indonesia mungkin seperti kebanggaan semu, dimana tiba tiba ada kepedihan
dibalik semuanya. Sama seperti cerita para penulis barat tentang negeri Hindia
Belanda dulu, penuh dengan romantisme warna warni keindahan sebuah negeri yang
misterius penuh mimpi. Penuh dengan candi candi yang terpendam. Sampai tahun
1860 ketika Eduard Douwes Dekker memunculkan roman yang menggemparkan, Max
Havelaar. Sebuah sisi lain tentang tanah tragik yang disembunyikan. Penuh
ketidakadilan dari sistem tanam paksa.
Kebanggaan kita meluap lupa ketika Mahkamah Konstitusi membubarkan BP Migas
yang dianggap bertentangan dengan semangat UUD dan cenderung pro ‘ asing ‘
dalam kontrak kerja sama hulu pertambangan. Di sisi lain kita tetap kebingungan
jika ditanya soal Freeport. Berapa nilai isi perut bumi pegunungan disana.
Berapa keuntungan yang masuk ke Indonesia ? Kenapa Indonesia hanya menikmati
royalty 1 persen buat emas, dan 1 – 3,5 persen buat tembaga. Dan segala
kebesaran korporasi asing itu berbanding terbalik dengan kemiskinan suku suku
di pedalaman. Tak jauh dari areal konsensi di Sumatera, anak anak masih sekolah
dengan menyebrangi sungai, karena tidak ada jembatan.
Bagaimana dengan kebanggaan pahlawan kita, yang bertempur di Surabaya ?
Berbekal senjata rampasan dari Jepang dan bambu runcing, sebagaimana kita
membaca di buku buku sejarah. Bung Tomo dan para pemuda melawan tentara Inggris
dan Gurkha. Sampai sekarang kita mengenangnya sebagai peristiwa heroik. Idrus
menulisnya dalam novelnya yang berjudul ‘ Surabaya ‘. Ia menjungkir balikan
kesakralan peristiwa itu. Ia melukiskan pertempuran Surabaya sebagai
pertempuran para bandit. Orang dengan mudahnya dibunuh tanpa selidik, atas
tuduhan mata mata. Perempuan Indo Belanda atau Tionghoa yang diperkosa diantara
reruntuhan puing peperangan. Mereka yang sebelumnya mabuk kemerdekaan, menjadikan
peluru, senjata sebagai berhala baru. Demikian Idrus menceritakan kenangan
buruk itu.
Para pemuda dideskripsikan dengan revolver dan pisau terselip di pinggang,
berjalan dengan pongahnya. Sesekali mengarahkan senjata ke atas dan menembak
membabi buta tanpa tujuan jelas. Bung Tomo tampil sebagai kepala pemberontak,
dengan rambut gondrong dan mengenakan baju lusuh yang baunya apek, memasukan
sentiment anti Tionghoa dalam pidato pidatonya.
Perlahan kebanggaan saya tergerus, tentang negeri besar yang dicita-citakan
Bung Karno akan membawa rakyatnya melalui jembatan emas menuju masyarakat adil
makmur. Bagaimana saya percaya dengan sistem jika anggota DPR terus diberitakan
sebagai pro koruptor dan memeras BUMN. Terus terang ini mengkuatirkan jika kita
sudah apatis. Mengkuatirkan bila permasalahan bangsa dijadikan alasan untuk
golput. Permasalahan bangsa dijadikan alasan untuk tetap diam tanpa mau membuat
sesuatu untuk Indonesia. Tetapi jika Chris John masih optimis bertahan beberapa
tahun lagi.Kenapa kita
tidak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar