Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Minggu, 24 Februari 2013

Kenapa Kita Tidak?

 

     Chris John akhirnya memenangkan pertarungan di Marina Bay Sands, Singapura melawan petinju Thailand yang lebih muda, Chonlatarn Piriyapinyo. Ia mempertahankan gelarnya yang ke 17 kali. Walau wajahnya babak belur, terkena bogem mentah lawan. Chris John masih menebar senyum di konperensi pers. “ Saya ingin bertinju sampai usia 35 tahun “. Masih ada 2 tahun lagi, kita masih boleh berbangga memiliki juara dunia. 

 

     Apa yang dinamakan kebanggaan tentang Indonesia. Karena dipuji Perdana Menteri Inggris bahwa Indonesia kelak akan menjadi negara maju karena kekuatan perekonomiannya. Tentu bukan sepak bola juga. Kita sendiri bingung antara terpuruknya prestasi juga mana yang benar atau salah. PSSI atau KPSI. Lalu liga versi mana yang sebenarnya berhak memutar roda kompetisi. Chris John dicibirkan ketika memilih dilatih di Australia daripada dilatih pelatih dalam negeri. Dicap tidak nasionalis. Tapi Dia tetap konsisten dengan pilihannya dan hidup disiplin dalam ‘ Ausralian’s way ‘ untuk tetap mempertahankan gelarnya demi keharuman nama negaranya.

 

     Ketika dulu saya bawa syuting untuk iklan minuman energi. Dia tidak mengeluh dibawa naik turun bukit masuk keluar hutan dengan berjalan kaki selama 2 jam di Kabupaten Manggarai, Flores. Terus terang saya bangga bisa men’direct’ seorang juara dunia. Menyuruh lari, berekspresi atau berakting sesuai kebutuhan shooting board. Kita juga tak tahu apa perlu bangga dengan penganugrahan gelar pahlawan Sukarno dan Hatta. Dua bapak bangsa yang sekian lama sengaja ditenggalamkan reputasinya demi kebutuhan rezim orde baru.

 

     Kebanggaan Indonesia mungkin seperti kebanggaan semu, dimana tiba tiba ada kepedihan dibalik semuanya. Sama seperti cerita para penulis barat tentang negeri Hindia Belanda dulu, penuh dengan romantisme warna warni keindahan sebuah negeri yang misterius penuh mimpi. Penuh dengan candi candi yang terpendam. Sampai tahun 1860 ketika Eduard Douwes Dekker memunculkan roman yang menggemparkan, Max Havelaar. Sebuah sisi lain tentang tanah tragik yang disembunyikan. Penuh ketidakadilan dari sistem tanam paksa.

 

     Kebanggaan kita meluap lupa ketika Mahkamah Konstitusi membubarkan BP Migas yang dianggap bertentangan dengan semangat UUD dan cenderung pro ‘ asing ‘ dalam kontrak kerja sama hulu pertambangan. Di sisi lain kita tetap kebingungan jika ditanya soal Freeport. Berapa nilai isi perut bumi pegunungan disana. Berapa keuntungan yang masuk ke Indonesia ? Kenapa Indonesia hanya menikmati royalty 1 persen buat emas, dan 1 – 3,5 persen buat tembaga. Dan segala kebesaran korporasi asing itu berbanding terbalik dengan kemiskinan suku suku di pedalaman. Tak jauh dari areal konsensi di Sumatera, anak anak masih sekolah dengan menyebrangi sungai, karena tidak ada jembatan.

 

     Bagaimana dengan kebanggaan pahlawan kita, yang bertempur di Surabaya ? Berbekal senjata rampasan dari Jepang dan bambu runcing, sebagaimana kita membaca di buku buku sejarah. Bung Tomo dan para pemuda melawan tentara Inggris dan Gurkha. Sampai sekarang kita mengenangnya sebagai peristiwa heroik. Idrus menulisnya dalam novelnya yang berjudul ‘ Surabaya ‘. Ia menjungkir balikan kesakralan peristiwa itu. Ia melukiskan pertempuran Surabaya sebagai pertempuran para bandit. Orang dengan mudahnya dibunuh tanpa selidik, atas tuduhan mata mata. Perempuan Indo Belanda atau Tionghoa yang diperkosa diantara reruntuhan puing peperangan. Mereka yang sebelumnya mabuk kemerdekaan, menjadikan peluru, senjata sebagai berhala baru. Demikian Idrus menceritakan kenangan buruk itu.

 

     Para pemuda dideskripsikan dengan revolver dan pisau terselip di pinggang, berjalan dengan pongahnya. Sesekali mengarahkan senjata ke atas dan menembak membabi buta tanpa tujuan jelas. Bung Tomo tampil sebagai kepala pemberontak, dengan rambut gondrong dan mengenakan baju lusuh yang baunya apek, memasukan sentiment anti Tionghoa dalam pidato pidatonya.

 

     Perlahan kebanggaan saya tergerus, tentang negeri besar yang dicita-citakan Bung Karno akan membawa rakyatnya melalui jembatan emas menuju masyarakat adil makmur. Bagaimana saya percaya dengan sistem jika anggota DPR terus diberitakan sebagai pro koruptor dan memeras BUMN. Terus terang ini mengkuatirkan jika kita sudah apatis. Mengkuatirkan bila permasalahan bangsa dijadikan alasan untuk golput. Permasalahan bangsa dijadikan alasan untuk tetap diam tanpa mau membuat sesuatu untuk Indonesia. Tetapi jika Chris John masih optimis bertahan beberapa tahun lagi.Kenapa kita tidak?

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.