“Astaga, Gus
Dur yang terpilih : Presiden baru Indonesia yang mengejutkan“ inilah potret dan
judul dengan huruf tebal yang menghiasi majalah Economist dan juga media-media Indonesia lainnya.
Malam hari sebelumnya, pada hari Senin 10 Oktober
1999. Ketika sebagian masyarakat bertanya-tanya apa yang akan terjadi dalam
panggung politik Indonesia kelak. Sebelumnya pertanggungjawaban Habibie ditolak
sebagian besar anggota majelis. Suasana saat itu sudah sepi dan hanya ada
sekelompok kecil sedang berlatih di ruang auditorium Gedung MPR/DPR. Mereka
berlatih simulasi pelantikan Megawati sebagai Presiden. Ada 2 orang yang
berpura pura menjadi ajudan Megawati berjalan di lorong tengah auditorium,
kemudian mengambil posisi tengah di podium sebagaimana pengambilan sumpah
Kelompok ini juga berlatih seandainya Habibie
dilantik kembali jadi Presiden. Karena lelah, kelompok ini ingin beranjak
pulang, dan seorang ajudan Presiden menanyakan bagaimana jika terpilih adalah
Gus Dur. Namun sebagai jawaban, ia hanya mendengar gelak tawa singkat. Mereka
meninggalkan ruangan dan tidak berlatih simulasi jika Gus Dur terpilih menjadi
Presiden.
Bagaimanapun Gus Dur tidak masuk hitungan, suara
partainya, PKB hanya 13 persen. Terlebih ia mengalami gangguan kesehatan. Baru
sembuh dari stroke, dan praktis buta. Ia juga sulit untuk berjalan. Tampaknya
tak ada gunanya melakukan latihan kalau Gus Dur menang. Esok semua ramalan itu
terbalik. Gus Dur memenangkan pemilihan Presiden.
Gus Dur memang selalu mengejutkan, bagi negerinya,
masyarakat dan orang orang yang berhubungan dengannya. Ketika semua orang
menghujat dan menghalalkan darah Arwendo Atmowiloto yang memasukan Nabi Muhammad
dalam angket orang terpopuler, di tabloid Monitor tahun 1990. Hanya Gus Dur
yang membelanya. Ia mengatakan, Arswendo memang tolol melakukan hal ini, namun
bukan berarti harus memenjarakan dan membreidel harian itu. Cukup diboikot saja
tabloid itu.
Jauh sebelumnya, Gus Dur sudah mengejutkan dengan komitmennya terhadap kebangsaan dan pluralisme. Ketika ia menggiring NU untuk menerima azas Pancasila. Baginya ini sebuah kompromi terbaik, untuk memecahkan masalah sulit mengenai hubungan negara dan agama.
Jauh sebelumnya, Gus Dur sudah mengejutkan dengan komitmennya terhadap kebangsaan dan pluralisme. Ketika ia menggiring NU untuk menerima azas Pancasila. Baginya ini sebuah kompromi terbaik, untuk memecahkan masalah sulit mengenai hubungan negara dan agama.
Ia mendapat pelajaran berharga dari ayahnya, Kiai
Wahid Hasyim tentang arti kemajemukan. Rumah keluarga mereka di bilangan
Matraman selalu dipenuhi tamu tamu dari beraneka ragam suku, agama dan ras,
termasuk orang orang Eropa.
Beberapa kali ketika saya muda, sering mendengar
Gus Dur diundang dan berbicara di hadapan media publik. Barang kali cukup sulit
memahami apa yang dikatakan Gus Dur. Paling tepat berusaha mengartikan yang
tersirat daripada yang tersurat. Sering kali apa yang dikatakan bukanlah apa
yang diketahui, melainkan merupakan apa yang diinginkannya sebagai sesuatu yang
benar.
Gus Dur memang terlalu luas pemikirannya untuk
dijadikan Presiden. Sesuatu yang justru membelenggunya. Wimar Witular
menuliskan kenang kenangnya ketika Gus Dur jatuh dari kekuasaannya.“Tak ada
orang di Indonesia yang sama pemahamannya dengan Gus Dur tentang kebinekaaan, pluralisme,
toleransi etnik, pemahaman agama dan hak asasi manusia. Seandainya ia bukan
presiden, ia mungkin memperoleh hadiah nobel untuk pikirannya. Tapi karena ia
Presiden, ia harus mengelola juga mengawasi anggaran. Ia memang gagal dalam
urusan pemerintahan sehari hari. Namun ia tetap orang baik “.
Ya, saya sepakat Gus Dur adalah orang baik yang
demokratis. Semua orang menghormati pemikirannya. Seorang cendekiawan Perancis,
Andre Feillard dulu pernah mendapat kabar salah bahwa Gus Dur
meninggal. Ia lalu mencari Katedral yang terdekat dan berdoa untuknya, padahal
Andre — seorang atheis — tidak pernah ke
gereja sebelumnya. Gus Dur tertawa ketika diberi tahu kisah ini, Katanya, “ Di Perancis semua
orang yang terbaik memang atheis “. Ia memang tak alergi dengan siapapun,
bahkan seorang atheis.
Kini mungkin Andre Feillard akan kembali ke
Katedral di Paris. Mendoakan Gus Dur, seorang pejuang kemanusiaan dan demokrasi
yang terpisah ribuan mil dari negerinya. Hari ini, 12 tahun yang lalu Gus Dur
mengundurkan diri. Tak banyak memang hal nyata yang ditinggalkan Gus Dur
selepas kepergiannya dari tanah Indonesia ini. Tapi semoga semangat pluralisme
yang dia wariskan tetap dalam taman persemaian negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar