Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Senin, 29 Juli 2013

Dicari : Presiden Republik Indonesia



Leadership is a potent combination of strategy and character. But if you must be without one, be without the strategy. —Norman Schwarzkopf

Saat Bung Karno dibuang di Bengkulu. Ia memiliki ruangan yang penuh dengan buku buku yang dibawa terus sejak dari Ende, Flores. Bagaimana tidak, hanya buku buku yang dikirim kepadanya, bisa mengurangi rasa kesepiannya. Banyak yang datang meminjam buku-buku tersebut, termasuk seorang anak residen Bengkulu.

Ia kerap datang dan meminjam buku buku dari perpustakaan Bung Karno. Suatu hari ia bertanya karena selalu memperhatikan Bung Karno yang rajin membolak-balik halaman buku-bukunya. Kenapa Bung Karno seperti giat belajar. Jawab Bung Karno, “ Orang muda, saya harus belajar giat sekali karena mudah-mudahan saya akan menjadi presiden negeri ini “ Kok yakin sekali. Tentu ini bukan asal cuap. Sukarno memiliki segudang alur catatan yang bisa dijual untuk menjadi pemimpin bangsa. Bersaing dengan pemimpin lainnya seperti Hatta, Syahrir atau Cipto Mangunkusumo. Jaman itu belum ada televisi, internet, atau koran yang bisa mendongkrak calon-calon pemimpin melalui iklan.

Sukarno juga memiliki mimpi untuk membawa rakyat dan negerinya menuju alam kemerdekaan. Bukan sekadar, ramalan. Walau tahun-tahun sebelumnya di Ende dia sudah membuat naskah sandiwara berjudul ‘ Indonesia 1945 ‘. Kebetulan ? Entah juga.

Sukarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur dan Mega. Adalah Presiden Indonesia yang terjadi bukan karena kontribusi iklan. Karena situasi, mak jreng. Mereka jadi Presiden. Sukarno karena sudah dikenal, langsung secara aklamasi dipilih oleh peserta sidang PPPKI. Soeharto dipilih MPRS setelah Sukarno mundur. Habibie dan Mega ketiban jabatan karena Presidennya mundur. Gus Dur juga di luar dugaan, akibat kasak kusuk poros tengah. Padahal sehari sebelumnya protocol Istana dan Paspampres sudah berlatih simulasi pelantikan Megawati sebagai Presiden.

SBY mulai memakai kampanye presidennya melalui media, bersaing dengan calon-calon lainnya. Siapa ingat Jawa Pos sering sekali menampilkan sosok SBY. Media juga menampilkan sosoknya sebagai orang yang ditindas, dikuyo-kuyo oleh Megawati dan almarhum Taufik Kiemas. Sementara pada periode keduanya, tentu pencitraan pemimpin yang membawa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, terus dijaga dalam guyuran iklan iklan PIlpres. Kali ini kandidat lain seperti Prabowo yang menggelontorkan belanja iklan yang luar biasa, tidak bisa mengalahkan. Tapi Prabowo mendapatkan suara pemilih yang cukup, untuk membalikan persepsinya sebagai penculik rezim orde baru.

Siapa yang tahu Presiden kita berikutnya ? Baru Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa, Surya Paloh, Wiranto dan tentu saja Prabowo sudah terlihat aktif beriklan, karena memiliki dana yang besar. Sementara kandidat lain seperti JK atau calon yang digadang Partai Demokrat masih malu-malu kucing menunggu tikungan di pinggir jalan.

Sukarno tidak mempunyai tim ekonomi, tim sosial media atau tim kebijakan publiknya. Ia belajar sendiri siang malam membaca buku buku yang dikirimkan. Ini menjadi modal yang membuatnya bertambah pintar dari hari ke hari, ditambah pengalaman melihat secara langsung kehidupan rakyat yang terjajah.

Dia juga tidak perduli dengan gunjingan orang tentang kehidupan rumah tangganya yang kawin cerai. Untung jaman itu belum ada twiter, ketika urusan ranjang dan rumah tangga bisa jadi bahan percakapan sosial media untuk menentukan kualitas seseorang. Dia tahu bahwa rakyat akan memilihnya karena komitmen kebangsaannya. Pengorbanan untuk membawa bangsanya merdeka. Tanpa harus beriklan, rakyat menyambut dan mengelu elukan. Lalu apakah Rakyat sekarang tahu apa yang telah dilakukan Prabowo, Hatta Rajasa, Surya Paloh, Aburizal Bakrie atau kandidat lain ?

Kalau kita membaca quote Norman Schwarzkopf diatas. Jika harus memilih salah satu. Dia lebih memilih karakter daripada strategi. Karakter menjadi tolok ukur seorang pemimpin. Dia dinilai dari kacamata benar salah, mampu atau tidak. Bukan diukur dari neraca agamanya, golongannya atau jumlah gebyar iklannya.

Pencitraan bukan segala galanya. Saya selalu percaya bahwa pemimpin itu dibentuk. Bukan karena lahir atau ada hubungan dengan faktor keturunan. Dengan kerja keras, kemampuan yang diasah, otak encer serta komitmen akan membentuk karakter itu.

Sukarno muda setiap malam melatih berpidato di kamarnya yang temaram untuk menguasai massa. Kadang ia dimarahi penghuni kamar sebelah yang tidak bisa tidur karena suara teriakan Sukarno. Ia banyak membaca semua literature. Pada usia 25 tahun, ia sudah menulis tentang marxisme, nasionalisme dan Islam. Apa yang kita lakukan pada saat kita berusia 25 tahun ?

Klub studi di Bandung juga menjadi media pelatihan debat. Siapa yang menyangsikan pembelaannya di pengadilan colonial ? Bukan tim pengacaramya yang menyusun pembelaaan. Sementara disini, seorang kandidat bisa menyuruh team sosial medianya untuk membangun pencitraan. Jadi bukan salah siapa siapa kalau saja muncul opini bahwa restorative justice bisa diterapkan pada kasus anaknya yang menabrak mati pengguna jalan raya lainnya.

Iklan bisa menyesatkan sekaligus memberi justifikasi, terutama kepada mereka yang gampang terbuai janji manis. Biro Iklan memang saatnya menuai panen dan bukan salahnya juga, karena memang itu pekerjaannya. Memoles kandidat sampai bening. Kita hanya berharap semoga tidak salah pilih kelak. Bukankah mereka yang berkoar koar cenderung menutupi sisi yang tak terlihat.

Kalau sudah begini saya teringat kutipan Lao Tzu. A leader is best when people barely know he exists, when his work is done, his aim fulfilled, they will say: we did it ourselves.
Mungkinkah ? seorang pemimpin tanpa pamrih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.