Ketika kita bicara Korea (baca : Korea Selatan)
sekarang apalagi jika bukan film drama dan musiknya yang kini tengah
digandrungi para remaja kita. Tentu saja bukan hanya itu, teknologi, efisiensi
kultur kerja sampai sepak bola menjadikan Korea mendapatkan peran sebagai
bangsa yang kaya nan produktif. Langkah pesat Korea ini seperti drama, menjadikan
kita sebagai penontonnya. Coba tengok perjalanan sejarah mereka dan bandingkan
dengan kita sendiri. Ketika kita sudah merdeka, mereka tak jauh lebih miskin
dari kita, sampai kemudian mereka melalui perang saudara yang memisahkan bagian
utara dan selatan.
Mereka memiliki Jenderal Park Chung Hee yang mirip-mirip peran antogonisnya dengan Soeharto dalam membangun negeri. Bedanya karena Korea Selatan tak punya sumber daya alam, kecuali tanah-tanah berbatu. Maka dia memiliki orientasi ekspor, kalau perlu ambil teknologi luar serta mengembangkan. Sementara Soeharto dengan perannya dalam menggiatkan penananam modal asingnya serta mengundang investor menguras sumber daya alam kita.
Tidak hanya itu. Tahun 60-an, sepak bola Korea
Selatan masih ternganga melihat kelihaian Ramang, Soecipto Suntoro mengolah
bola. Sementara akhir 70-an, Korea Selatan meminjam pelatih bulutangkis Olih
Solichin dari Bandung untuk mengembangkan bulutangkis di negeri ginseng sana.
Kini Park Ji Sung sudah melanglang buana sampai Manchester United, sementara
kita masih berkutat PSSI versi siapa yang berhak memutar kompetisi. Di sisi
lain, pebulutangkis kita malah keok kalau
bertemu pemain Korea Selatan.
Tidak itu saja. Mereka bikin TV, komputer sampai kapal selam. Sekali lagi kita (baca : Indonesia dengan 260 juta penduduknya) memang pasar yang bagus untuk ekspor teknologi mereka. Tidak ada yang salah, ketika pasar global tidak lagi menyekat pergerakan barang antar negara. Mungkin kita juga diuntungkan dengan kemampuan daya beli yang cukup, dan terus terang bagi pekerja kreatif seperti saya. Teknologi memang berjalan seiring dengan proses penciptaan kreasi.
Tidak itu saja. Mereka bikin TV, komputer sampai kapal selam. Sekali lagi kita (baca : Indonesia dengan 260 juta penduduknya) memang pasar yang bagus untuk ekspor teknologi mereka. Tidak ada yang salah, ketika pasar global tidak lagi menyekat pergerakan barang antar negara. Mungkin kita juga diuntungkan dengan kemampuan daya beli yang cukup, dan terus terang bagi pekerja kreatif seperti saya. Teknologi memang berjalan seiring dengan proses penciptaan kreasi.
Apa yang terjadi bila kemampuan sebuah telpon
genggam, didisain untuk kebutuhan yang para pengguna media sosial, editor,
desainer grafis, kutu buku, ilmuwan sampai ibu-ibu yang suka meramu resep
masakan. Ini bukan kegilaan sesaat, kalau Samsung bisa merangkum semua
kebutuhan semua. Saya memikirkan betapa dimanjakannya konsumen alat canggih
(baca : tablet) dengan lompatan kepraktisan teknologi yang ditawarkan Samsung.
Hadirin para penonton drama, Korea tidak sekadar
membuat mesin cuci atau TV saja. Ini pun bukan sekadar tablet komputer. Ini
alat inspirasi bagi penemuan karya kreatif. Teknologi sangat terkait dengan
proses kreatif sekarang. Pendesain, potografer, videografer, semua orang-orang
kreatif semestinya mengapresiasi dengan kehadiran gadget ini.
Cukup sudah kita bicara tentang Korea. Ini membuat
kita jengkel sesunguhnya, karena kita begitu jauh tertinggal dengan bangsa yang
justru awalnya tidak lebih miskin dari kita. Tapi mau apa? Para penonton drama
korea sekalian, bukan hanya kita Amerika pun jengkel karena produk unggulannya
harus bersaing dengan produk Korea, sampai sampai ke Pengadlan untuk menentukan
siapa yang berhak atas desain dan fitur teknologinya. Lebih jengkel lagi jika
saya tidak bisa memiliki tablet keluaran Samsung ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar