Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?
Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?
Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?
“Malam
kudus Kurnia dan berkat tercermin, bagi kami terus, di wajah Mu Anak kudus”
Inilah
sepenggal ragam suara nan berirama beriringan disenandungkan dalam malam natal.
Sebuah pengharapan dalam penantian di malam natal ketika lagu ini mulai
dinyanyikan. Sebuah penggambaran natal sebagai malam suci tanpa bunyi atau
suara apa pun, hening.
Malam suci
dengan keheningan menjadi sebuah gambaran Joseph Mohr (penulis lirik
lagu Silent Night) yang tepat untuk
menikmati sebuah santapan malam natal bersama keluarga di Austria. Tentu di
Indonesia pun sama. Tetapi apakah sebuah penantian akan kasih dan keadilan akan
selalu diiringi dengan diam dan hening? Mungkin benar. Bukankah di malam natal
kita selalu diiring Malam Kudus kepada
sebuah kegelapan, tanpa cahaya dan keheningan?
Malam kudus seolah-olah mengajak kita untuk masuk ke dalam dunia sebenarnya.
Dunia yang kerap kali malah menjadi keseharian kita. Dunia yang membuat kita
terlena karena sunyi dan hening, tanpa cahaya dan gelap. Kondisi yang tak
pantas untuk kita yang menantikan akan keadilan di Indonesia, yang
berpengharapan kepada Yesus Kristus. Malam
kudus tidak lagi emas, ketika kita harus malah diam dan larut dalam
keheningannya.
Tidak selalu
diam sama dengan emas. Diam hanya menjadikan kita sebagai pemimpi emas, bukan
penuai. Emas mahal berupa keadilan dan kesuksesan negara itu tak bisa kita
peroleh dengan hanya diam—hanya larut dalam lamunan malam kudus. Pelantun malam kudus pun harus bertindak.
Di tengah
hening malam, pelantun malam kudus
harus gundah—harus tidak sabar dan tidak nyaman—dengan kondisi petang. Harus
mulai berpikir melakukan sesuatu. Hidupkan api lilin dan tidak tinggal
diam. Malam kudus memang tidak akan
berhenti dalam kesunyian, ada sebuah pengharapan baru dinyalakan.
Kelak api kecil
inilah yang menyebar di semua lilin para pelantun malam kudus. Cahayanya terang bersinar. Sekarang lilin akan
pengharapan ini adalah emas—tidak lagi diam. Sebuah emas yang bercahaya,
semangat sinarnya menyebar dan menghangatkan ke setiap pelantun malam kudus.
Malam kudus di Indonesia tidak lagi diam. Kini malam kudus di Indonesia menjadi emas dengan sebuah tindakan. Para
pelantun pun tidak lagi hanya menjadi pemimpi tapi menjadi penuai emas di masa
depan. Bersinarlah Indonesia seiring pengharapan dan penyalaaan lilin kami para
pelantun malam kudus!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar