Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Sabtu, 14 Desember 2013

Masih Hutang Janji

 

Kibarannya membanggakan. Merah-Putih berkibar gagah di tiang bambu depan rumah batu. Rumah sepetak kecil, alasnya tanah, dan atapnya genteng berlumut. Berlokasi di tepi rel kereta tak jauh dari Stasiun ibukota, rumah batu itu polos tanpa polesan material mewah.

 

Pemiliknya jelas masih miskin. Namun, dia pasang tinggi bendera kebanggaannya. Seakan dia kirim pesan bagi ribuan penumpang kereta yang tiap hari lewat di depan rumahnya: Kami juga pemilik sah republik ini. Kami percaya di bawah bendera ini kami juga akan sejahtera!

 

Yang miskin telah menyatakan hak mereka untuk mencinta dan bangga kepada negerinya. Keseharian hidupnya mungkin sulit, mungkin serba kerontang. Mungkin tak punya tabungan di bank, tetapi tabungan cintanya kepada republik ini luar biasa banyak. Negeri ini masih dicintai dan dibanggakan rakyatnya tanpa syarat.

 

Yang miskin sudah memberikan sedikit bagian dari mereka pada bangsa ini tanpa sering mempertanyakan bagaimana hak mereka dari bangsa negara. Negeri ini berisi orang-orang hebat yang berjiwa besar. Mereka sering kali tidak mempertanyakan—pemerintah pun lebih sering lupa dan mengabaikan.

 

Lupa akan hak dari orang-orang tepi rel kereta. Lupa akan hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh layanan kesehatan. Yang miskin sering tak mendapat hak mereka akan keadilan di negeri yang mereka junjung ini.

 

Semua paham adanya hak untuk mendapat kesejahteraan bagi semua. Itu bukan sekadar hak tetapi sebuah janji negeri ini kepada rakyatnya. Kini bendera itu sudah tegak, makin tinggi, dan di bawah kibarannya, janji kemerdekaan harus dilunasi untuk semua. Ini sebuah janji yang harus kita lunasi bersama. Republik ini menjamin beragam hak bagi rakyat demi sebuah kata merdesa.

 

Bayangkan di kampung kecil pinggiran kota, di rumah kayu ala kadarnya. Kabel listrik berseliweran dipakai gantungan dan aliran listriknya pun kecil. Di bawah sinar lampu seadanya beberapa orang bersila di atas tikar membincangkan bagaimana kan majukan Indonesia di kampungnya. Mereka belum sejahtera dan mereka akan turut merayakan hari Hak Asasi Manusia (HAM)!

 

Tidak pantas rasanya terus-menerus merayakan hari HAM sambil berbisik memohon maaf bagi mereka yang belum terlindungi, belum tercerdaskan, dan belum tersejahterakan. Bangun kesadaran baru bahwa usaha ini sebagai pemenuhan janji.Sebagai janji ia mengikat, bisa mengajak semua ikut melunasinya dan sekaligus agar semua lebih yakin bahwa janji itu untuk dilunasi.

 

Perayaan hari Hak Asasi Manusia bukan sekadar pengingat gelora perjuangan memperjuangkan hak bermasyarakat. Merayakan hari HAM adalah meneguhkan janji. Wujudkan impian pemilik rumah batu itu, yang menerawang kibaran Merah-Putih di rumahnya sambil tersenyum membayangkan bahwa dia dan anak-cucunya akan tersejahterakan dan tercerdaskan. Semua akan bangga jika perayaan hari HAM adalah perayaan lunasnya hak asasi bagi tiap anak bangsa.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.