Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?
Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?
Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?
Kibarannya
membanggakan. Merah-Putih berkibar gagah di tiang bambu depan rumah batu. Rumah
sepetak kecil, alasnya tanah, dan atapnya genteng berlumut. Berlokasi di tepi
rel kereta tak jauh dari Stasiun ibukota, rumah batu itu polos tanpa polesan
material mewah.
Pemiliknya jelas masih miskin. Namun, dia pasang tinggi bendera
kebanggaannya. Seakan dia kirim pesan bagi ribuan penumpang kereta yang tiap
hari lewat di depan rumahnya: Kami juga pemilik sah republik ini. Kami percaya di bawah bendera ini kami juga
akan sejahtera!
Yang miskin
telah menyatakan hak mereka untuk mencinta dan bangga kepada negerinya.
Keseharian hidupnya mungkin sulit, mungkin serba kerontang. Mungkin tak punya
tabungan di bank, tetapi tabungan cintanya kepada republik ini luar biasa
banyak. Negeri ini masih dicintai
dan dibanggakan rakyatnya tanpa syarat.
Yang miskin sudah memberikan sedikit bagian dari mereka pada bangsa ini
tanpa sering mempertanyakan bagaimana hak mereka dari bangsa negara. Negeri ini
berisi orang-orang hebat yang berjiwa besar. Mereka sering kali tidak
mempertanyakan—pemerintah pun lebih sering lupa dan mengabaikan.
Lupa akan
hak dari orang-orang tepi rel kereta. Lupa akan hak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta memperoleh layanan kesehatan. Yang miskin sering tak mendapat hak mereka
akan keadilan di negeri yang mereka junjung ini.
Semua paham
adanya hak untuk mendapat kesejahteraan bagi semua. Itu bukan sekadar hak
tetapi sebuah janji negeri ini kepada rakyatnya. Kini bendera itu sudah tegak,
makin tinggi, dan di bawah kibarannya, janji kemerdekaan harus dilunasi untuk
semua. Ini sebuah janji yang harus kita lunasi bersama. Republik ini menjamin
beragam hak bagi rakyat demi sebuah kata merdesa.
Bayangkan di
kampung kecil pinggiran kota, di rumah kayu ala kadarnya. Kabel listrik
berseliweran dipakai gantungan dan aliran listriknya pun kecil. Di bawah sinar
lampu seadanya beberapa orang bersila di atas tikar membincangkan bagaimana kan
majukan Indonesia di kampungnya. Mereka belum sejahtera dan mereka akan turut
merayakan hari Hak Asasi Manusia (HAM)!
Tidak pantas rasanya terus-menerus merayakan hari HAM sambil berbisik
memohon maaf bagi mereka yang belum terlindungi, belum tercerdaskan, dan belum
tersejahterakan. Bangun kesadaran baru bahwa usaha ini sebagai pemenuhan janji.Sebagai janji ia mengikat, bisa mengajak
semua ikut melunasinya dan sekaligus agar semua lebih yakin bahwa janji itu
untuk dilunasi.
Perayaan
hari Hak Asasi Manusia bukan sekadar pengingat gelora perjuangan memperjuangkan
hak bermasyarakat. Merayakan hari HAM adalah meneguhkan janji. Wujudkan impian
pemilik rumah batu itu, yang menerawang kibaran Merah-Putih di rumahnya sambil
tersenyum membayangkan bahwa dia dan anak-cucunya akan tersejahterakan dan
tercerdaskan. Semua akan bangga
jika perayaan hari HAM adalah perayaan lunasnya hak asasi bagi tiap anak
bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar