Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Senin, 09 Desember 2013

Pemuda : Berjuang Melawan atau Pelaku?


 

Ada yang menarik dalam Kongres Pemuda tahun 1928, untuk pertama kalinya para pemuda memaksa diri untuk menerima bahasa Indonesia sebagai simbol perjuangan melawan penjajahan. Pengorbanan besar dari para pemuda untuk melepaskan identitas etnis mereka dan mencoba memakai bahasa baru yang justru asing bagi mereka. Sebuah langkah sederhana yang menjadi simbol komitmen pemuda untuk semangat cinta tanah air. 

 

Saat itu para pemuda dengan semangat cinta tanah airnya bersama-sama, turun tangan mencari yang menjadi kebutuhan penyelenggaraan kongres.  Maruto Nitimihadjo, sebagai mahasiswa Recht Hoge School, pun ikut menyumbang sedikit dana dari pendapatan tambahannya sebagai pengajar kursus jurnalistik. Muhammad Yamin yang mengusulkan memakai bahasa pengantar, bahasa Indonesia dalam kongres ini, mau tidak mau, pun harus ikut turun tangan menjadi penerjemah, bagi yang kurang mengerti bahasa Indonesia dengan baik. WR Supratman juga tidak pernah berpikir berapa honor yang harus diterima, untuk memainkan melodi  Indonesia Raya didepan peserta kongres.

 

Lalu apa yang diharapkan jika negeri yang dinamakan Indonesia ini merdeka kelak? Ketika impian para pemuda akhirnya tercapai. Apakah mereka para pemuda akan tetap tulus, ikhlas dan mengesampingkan kepentingan pribadinya dalam mengisi kemerdekaan. Setelah masa kemerdekaan, semuanya terasa sederhana—sesederhana hidangan nasi goreng dalam jamuan sidang kabinet pada 1945—namun dalam kesederhanaan ini para pemuda, pejuang dan termasuk pegawai Pemerintah tega mengkorup jatah distribusi beras untuk rakyat.

 

Kemerdekaan Indonesia disatu sisi membuat bangsa Indonesia menjadi serakah karena daulat resmi sebagai pemilik tanah air. Sudah sekian lama kolonialisme menghisap kekayaan negeri. Kini saatnya bangsa sendiri mengambil kesempatan yang tertunda.

 

Kelak maraknya korupsi membuat Hatta patah arang. Dalam suratnya kepada Dr. HP Jacobs Hatta tertulis, korupsi merupakan salah satu alasannya mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Menurut Hatta, korupsi yang merajalela sejak tampuk perekonomian dipegang pemerintah Indonesia sendiri. Mereka para pelaku korupsi justru para pemuda pemuda yang berjuang turun tangan melawan Belanda. Setelah jaman berubah mereka masuk dalam partai dan sistem pemerintahan yang dibuat untuk memperkaya diri sendiri.

 

Bagaimana dengan pemuda dan korupsi pada era post modern ini, masa yang konon katanya pemuda harus mengambil bagian. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan korupsi di Indonesia saat ini terus mengalami proses dinamisasi, kaderisasi dan regenerasi. Pelaku korupsi di Indonesia sekarang semakin muda, cenderung dilakukan oleh orang-orang berumur di bawah 40 tahun. Angelina Sondakh, Gayus, Dana Widyatmika, Nazaruddin, Neneng, sampai Tubagus Chaeri Wardana. Mereka kaum muda yang semestinya menjadi penggerak reformasi kini justru masuk ke dalam sistem korup—menyuap, mengakali hukum dan serakah—sampai akhirnya Menteri Pemuda sendiri pun didakwa sebagai tersangka korupsi. 

 

Dulu pemuda berdesakan mengusir penjajah keluar dari ibu pertiwi, jaman sekarang para pemuda malah berdesak-desakan di ruang tahanan KPK. Bagaimana dengan kita pemuda hari ini? Mungkin ada benarnya ucapan selamat pagi dari akun twitter @turuntangan. Hari ini menjadi sebuah refleksi untuk kita—di era yang semua orang bisa dengan mudah jatuh dalam godaan korupsi—di sebelah mana kita? Di bagian para pemuda yang turun tangan berjuang membela tanah air? Atau di bagian para pemuda yang turun tangan menguras  kekayaan ibu pertiwi?

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.