Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?
Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?
Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?
Ada yang menarik
dalam Kongres Pemuda tahun 1928, untuk pertama kalinya para pemuda memaksa diri
untuk menerima bahasa Indonesia sebagai simbol perjuangan melawan penjajahan.
Pengorbanan besar dari para pemuda untuk melepaskan identitas etnis mereka dan
mencoba memakai bahasa baru yang justru asing bagi mereka. Sebuah langkah
sederhana yang menjadi simbol komitmen pemuda untuk semangat cinta tanah
air.
Saat itu
para pemuda dengan semangat cinta tanah airnya bersama-sama, turun tangan
mencari yang menjadi kebutuhan penyelenggaraan kongres. Maruto
Nitimihadjo, sebagai mahasiswa Recht Hoge
School, pun ikut menyumbang sedikit dana dari pendapatan tambahannya
sebagai pengajar kursus jurnalistik. Muhammad Yamin yang mengusulkan memakai
bahasa pengantar, bahasa Indonesia dalam kongres ini, mau tidak mau, pun harus
ikut turun tangan menjadi penerjemah, bagi yang kurang mengerti bahasa
Indonesia dengan baik. WR Supratman juga tidak pernah berpikir berapa honor
yang harus diterima, untuk memainkan melodi Indonesia Raya didepan peserta kongres.
Lalu apa
yang diharapkan jika negeri yang dinamakan Indonesia ini merdeka kelak? Ketika
impian para pemuda akhirnya tercapai. Apakah mereka para pemuda akan tetap
tulus, ikhlas dan mengesampingkan kepentingan pribadinya dalam mengisi
kemerdekaan. Setelah masa kemerdekaan, semuanya terasa sederhana—sesederhana
hidangan nasi goreng dalam jamuan sidang kabinet pada 1945—namun dalam
kesederhanaan ini para pemuda, pejuang dan termasuk pegawai Pemerintah tega
mengkorup jatah distribusi beras untuk rakyat.
Kemerdekaan
Indonesia disatu sisi membuat bangsa Indonesia menjadi serakah karena daulat
resmi sebagai pemilik tanah air. Sudah sekian lama kolonialisme menghisap
kekayaan negeri. Kini saatnya bangsa sendiri mengambil kesempatan yang tertunda.
Kelak
maraknya korupsi membuat Hatta patah arang. Dalam suratnya kepada Dr. HP Jacobs
Hatta tertulis, korupsi merupakan salah satu alasannya mengundurkan diri
sebagai Wakil Presiden. Menurut Hatta, korupsi yang merajalela sejak tampuk
perekonomian dipegang pemerintah Indonesia sendiri. Mereka para pelaku korupsi
justru para pemuda pemuda yang berjuang turun tangan melawan Belanda. Setelah
jaman berubah mereka masuk dalam partai dan sistem pemerintahan yang dibuat
untuk memperkaya diri sendiri.
Bagaimana
dengan pemuda dan korupsi pada era post
modern ini, masa yang konon katanya pemuda harus mengambil bagian. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan korupsi di Indonesia saat ini terus
mengalami proses dinamisasi, kaderisasi dan regenerasi. Pelaku korupsi di
Indonesia sekarang semakin muda, cenderung dilakukan oleh orang-orang berumur
di bawah 40 tahun. Angelina Sondakh, Gayus, Dana Widyatmika, Nazaruddin,
Neneng, sampai Tubagus Chaeri Wardana. Mereka kaum muda yang semestinya menjadi
penggerak reformasi kini justru masuk ke dalam sistem korup—menyuap, mengakali
hukum dan serakah—sampai akhirnya Menteri Pemuda sendiri pun didakwa sebagai
tersangka korupsi.
Dulu pemuda
berdesakan mengusir penjajah keluar dari ibu pertiwi, jaman sekarang para pemuda
malah berdesak-desakan di ruang tahanan KPK. Bagaimana dengan kita pemuda hari
ini? Mungkin ada benarnya ucapan selamat pagi dari akun twitter @turuntangan.
Hari ini menjadi sebuah refleksi untuk kita—di era yang semua orang bisa dengan
mudah jatuh dalam godaan korupsi—di sebelah mana kita? Di bagian para pemuda
yang turun tangan berjuang membela tanah air? Atau di bagian para pemuda yang
turun tangan menguras kekayaan ibu pertiwi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar