Ahok memang kerap dikenal dengan berbagai celotehan mendekati umpatan
yang ia lontarkan. Dari umpatan kepada murid-murid dengan menggunakan seragam
sekolah putih abu-abu yang melakukan tindakan kriminal membajak bus kota sampai
umpatan lain kepada warga Muara Baru. Entah apa pikiran Ahok ketika melontarkan
pernyataan itu, begitu kata sebagian warga Jakarta (sensitif ini). Mereka
sampai lupa pencapaian Ahok karena kaget mendengar umpatan dari sang Gubernur
(sekarang).
Seleksi dan pelayanan publik menjadi sorotan utama dari pencapaian Ahok.
Beliau memang tak suka dengan urusan berbelit-belit, termasuk dalam melontarkan
umpatan ketika sedang marah. Bukankah warga Jakarta juga ingin seperti maunya
Ahok? Dan bukankah warga Jakarta memang kerap mendengar umpatan di ibukota yang
keras ini? Bukankah ucapan seperti itu memang pantas untuk orang-orang bebal
yang tidak mau diurus dengan baik?
Lantas jika memang begitu kondisi ini, apa salah Ahok? Mari melihat lebih
jauh dari tatanan pemimpin Jakarta, bahkan bang Ali pun cukup sering memaki
atau kalau kita tarik lebih jauh lagi. Walikota Jakarta yang pertama, Suwiryo
juga pernah marah-marah di depan publik. Kali ini dia berkata pada reporter
harian Merdeka yang ditujukan kepada pemimpin-pemimpin yang mengungsi ke
Yogyakarta agar jangan sok tahu. Karena tidak tahu situasi sehari-sehari yang
dihadapi orang orang Republik yang bertahan di Jakarta menghadapi NICA.
Jadi sebenarnya tidak ada yang aneh, bagi Gubernur atau pemimpin Jakarta
yang temperamental. Saya tidak tahu tentang Foke. Konon beliau adalah sosok
galak dan pemarah. Jadi buat apa omongan Ahok dimasukkan ke hati? Saya pun akan
marah pula jikalau Ahok marah tanpa sebab, tiba-tiba menambahkan kata sialan
dalam jeda atau menambah kalimat “kampret kalian semua” di akhir pidato beliau.
Sepanjang itu bertujuan baik dan membawa efek jera. Kenapa tidak.
Tapi memang repot kalau ukuran orang baik dilihat dari tingkat kesopanan
atau kepatutan. Apalagi ada istilah pemimpin adalah cermin bawahan. Banyak
orang mungkin takut kebiasaan Ahok mengumpat ditiru bawahan. Lantas jika begitu
analoginya, kenapa tidak sekalian mengadaptasi integritas dan etos kerja Ahok?
Bukankah sebaik-baiknya cermin kita perlu sering mengelap/membersihkan,
membersihkan emosi yang tidak bisa dikontrol kemudian tetap becerminkan etos
kerja dan integritas.
Ya susah memang jadi pegawai di sebuah kebun besar seperti Jakarta,
apalagi pelayan Cina dan Kristen, salah-salah jika si pelayan buruk dalam
pekerjaan, semua bisa menjadi masalah besar. Tapi pelayan tetap tidak boleh
mengendurkan semangat pekerjaan, etos kerja dan integritas menjadi umpatan utama
untuk melawan kekampretan Jakarta. Bahkan pula harus diberi bumbu makian untuk
para kampret-kampret yang bebal dan tak mau diurus benar.
Untuk urusan makian Ahok, saya tak akan ambil pusing, masih banyak
permasalahan di ibukota yang lebih memusingkan ketimbang sialan dan umpatan
lain dari seorang Gubernur keturunan Tiong Hoa ini. Lebih baik kita saling
memberi senyuman, jabatan tangan, dan ucapan selamat mengiring dilantiknya Ahok
menjadi Gubernur Jakarta. Sesama warga Jakarta berkumpul dan bersatu membuat
sebuah era baru, Jakarta baru dan sejarah ini baru sedang kita buat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar