Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Sabtu, 29 November 2014

Konon Demi Kebaikan

Sempat tertegun dan bergeleng kepala dibuat teman saya belakangan ini. Membuat kembali berpikir ternyata kata-kata “Bohong Tidak Apa-Apa Asalkan Demi Kebaikan” ternyata benar-benar ada. Tak main-main dengan pepatah ini, bahwa bohong pun sekarang lebih cepat diterima dengan label demi kebaikan. Entah bagaimana permulaan mitos menyebalkan ini. Mungkin bohong memiliki perusahaan sendiri, dengan manajerial produk untuk memulihkan kembali nama besar bohong dengan embel demi kebaikan kita semua.

Sebagai manusia hidup penuh dengan tafsir, tak jarang pula tafsir-tafsir ini hidup bersama berdampingan dengan masyarakat Indonesia. Tapi itu dulu, konon karena memang Indonesia dulu menyembah roh-roh nenek moyang dan benda-benda keramat membuat Indonesia menghidupi mitos. Pemahaman mitos itu pun mitos ternyata. Bahkan di era modern dan orang-orang beragama pun tidak imun terhadap mitos. Bahkan untuk mitos, demi kebaikan ini tak berlaku untuk pekerja biasa, relawan pengabdi bahkan karyawan di gedung bertingkat 60 lantai.

Bohong sejatinya adalah keadaan tidak benar, tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Suatu keadaan yang sepatutnya tidak perlu dibenar-benarkan lagi, apalagi oleh mitos manusia. Apapun alasan kebaikan untuk membenarkan ini, tak perlu dilontarkan untuk membenarkan kebohongan. Mungkin jika Pinocchio, si tokoh boneka kayu itu hidup bersama dan menghidupi mitos kebohongan itu baik asalkan demi kebaikan, tentulah ia adalah orang paling bahagia di dunia ini—karena tak perlu lagi melihat hidungnya bertambah panjang.

Mungkin berat tidak berbohong, mungkin karena berbohong terlihat sepele. Mungkin karena hal-hal ini orang pun dengan gampang membuat mitos bahwa berbohong tidak masalah asal berguna, entah berguna untuk lawan percakapan atau diri sendiri. Mungkin sang pembuat mitos ini adalah ahli agama atau pendongeng keliling, sehingga membuat mitos buatan ini dapat tersebar dengan cepat. Mungkin di dalam rumah sang pendongeng ini, dia adalah suami biasa yang demi menyenangkan istrinya, dia harus berbohong. Mungkin ia acap kali ditanya dengan istrinya tentang bagaimana rupanya sekarang—masih cantik atau tidak—terpikirlah sang penutur ini untuk mengawali perjalanan mitos demi kebaikan. Entahlah, karena cerita dan kesimpulan ini pun sebuah karangan.

Dilihat dari karangan di atas, jelas kondisi ini akan menjadi buah simalakama, terpaksalah ia bahkan kita mengambil cara berbohong. Tetapi kenapa tidak mencoba jujur? Bukankah dengan jujur walaupun pahit, si istri kemudian kembali mencoba berbenah untuk mempercantik diri? Bukankah cara atau hal ini membuat pujian dari diri seorang laki-laki kini menjadi mahal dan mewah ketika diucapkan secara jujur?

Pribadi saya tentu sangat menentang ide mitos ini, gerah nampaknya, melakukan kebaikan dengan cara berbohong. Tapi sejatinya memang jalan dosa itu enak, jalan benar itu pahit. Tak dapat disangkal oleh kita, semua orang pernah berbohong, masalahnya adalah bukan seberapa sering atau untuk apa berbohong, tetapi sudah berhenti atau tidak, tidak harus tawar-menawar lagi.

Kita selaku orang beragama sepatutnya meluputkan diri dari kesalahan dan mitos itu. Dengan demikian setiap orang di dunia akan sadar bahwa Tuhan pun ikut bahagia saat mereka memperlakukan sesama dengan baik, tak perlu lagi berbohong demi kebaikan sesama dan diri sendiri. Betapa menyenangkan jika mengetahui bahwa dengan mengambil jalan pahit, malah membuat Tuhan kembali tersenyum.

Seperti seorang ayah melihat anak keturunannya lahir dari rahim istri yang ia sayangi, saya rasa itulah perasaan Tuhan melihat anak-anak di dunia ini bertingkah polos. Dunia ini butuh orang polos, tak perlu lagi menjadi orang licik untuk mendapat keuntungan. Licik ketika melabeli minuman racun dengan label air mineral murni dari gunung. Mitos ini biarlah kembali kepada hakikat mitos, sebuah (hanya) cerita dengan kandungan sebuah tafsir tentang asal usul. Biarkanlah tetap menjadi legenda, bahwa kita dulu memiliki ide dan pemikiran seperti ini.


Tak perlu lagi seperti pedagang menjual produk palsu kepada konsumen dengan embel-embel orisinal. Menjual minuman pelega dahaga kepada kaum musafir tetapi berisi pasir. Bukankah seperti itu pula mitos berbohong? Seperti minuman racun, berbahaya tapi diberikan kepada lawan bicara dalam rupa botol air mineral? Mengerikan jika berpikir hal seperti ini coba ditawarkan oleh teman saya sendiri. Semoga kembali berpikir ulang untuk berbohong demi kebaikan.

1 komentar:

© Agata | WS
x x x x x x x.