Selain puluhan arloji yang sudah dibuatnya tidak ada
barang berharga lain di kamarnya. Di jendela kaca kamar itu Herman menaruh
sebuah jam dinding paling bagus untuk menarik perhatian orang-orang yang lewat. Sejak dulu penduduk kota itu memiliki kebiasaan
membawa hadiah Natal ke gereja dan meletakkannya di kaki patung Maria yang
sedang memangku bayi Yesus. Setiap orang menabung supaya bisa memberi hadiah
yang paling indah pada Yesus. Orang-orang bilang, kalau Yesus suka hadiah yang
diberikan kepada-Nya, Ia akan mengulurkan tangan-Nya dari pelukan Maria untuk
menerima bingkisan itu. Tentu saja ini legenda.
Meskipun begitu penduduk kota itu selalu berusaha
membawa bingkisan yang paling indah. Para penulis puisi membuat syair-syair
yang aduhai. Anak-anak pun tak ketinggalan. Setiap orang berlomba memberikan
yang terbaik pada Yesus di Hari Natal. Siapa tahu, kata mereka, Yesus
mengulurkan tangan menerima pemberian itu. Orang-orang yang tidak punya
bingkisan, pergi ke Gereja untuk berbakti pada malam Natal sekaligus menilai
bingkisan mana yang terindah. Herman, tukang arloji, adalah salah seorang yang
hanya pergi untuk berbakti dan menonton.
Cemoohan pun datang dari jemaat dan bahkan majelis.
Bahkan orang miskin pun bisa membeli hadiah mewah sebagai bingkisan natal. Tiap hari Herman bekerja untuk sebuah bingkisan natal. Herman membuat
sebuah jam dinding. Mungkin yang paling indah dan belum pernah ada. Setiap
bagian dikerjakan dengan hati-hati dan penuh kasih. Bingkainya, jarum-jarumnya,
beratnya, dan yang lainnya diukir dengan teliti. Sudah 24 tahun Herman
merangkai jam dinding itu. Tanpa uang itulah hasil karya terbaik dari seorang tukang jam.
Masuk tahun ke-25 Herman hampir selesai. Perhatiannya pada
hadiah Natal itu membuat dia tidak punya cukup waktu untuk buat arloji dan
menjualnya. Kadang Herman tidur dengan perut kosong. Ia makin tambah kurus
tetapi jam dindingnya makin tambah cantik. Di jam dinding itu ada kandang,
Maria sedang berlutut di samping palung - di dalamnya terbaring bayi Yesus. Di
sekeliling palung itu ada Yusuf serta tiga orang majus, gembala-gembala dan dua
orang malaikat. Kalau jam dinding itu berdering, orang-orang tadi berlutut di
depan palung Yesus dan terdengar lagu Gloria
in Excelsis Deo.
Herman puas. Ia menaruh benda itu di jendela kaca
kamarnya supaya bisa dilihat orang. Orang-orang yang lewat berdiri berjam-jam
mengagumi benda itu. Hari Natal sudah tiba. Pagi itu tiba-tiba ia ingat, sejak
pagi dia belum sarapan. Ia segera ke pasar untuk membeli sepotong roti dengan
uang terakhir yang ada padanya. Di lemarinya ada sebuah apel. Tetapi ketika ia
buka pintu, seorang ibu masuk sambil menangis. Suaminya mengalami kecelakaan, uang
keluarga mereka habis sudah akibat pohon natal, kue dan hadiah. Ibu itu
kebingungan.
Herman tersenyum. Herman berniat menjual arloji sisa. Herman mengambil jas dinginnya lalu pergi ke pasar
dengan satu jam tangan yang unik. Ia tawarkan jam itu di toko arloji. Tapi
mereka tidak berminat. Ia pergi ke kantor gadai tapi pegawai-pegawai bilang
arloji itu kuno. Akhirnya ia pergi ke rumah walikota. “Tuan, saya butuh uang
untuk membeli mainan bagi beberapa anak. Tolong beli arloji ini?” Pak walikota
tertawa. “Saya mau beli arloji tetapi bukan yang ini. Saya mau jam dinding yang
ada di jendela kaca rumahmu. Berapa pun harganya saya siap.”
“Tidak mungkin tuan. Benda itu tidak saya
jual." "Apa? Bagi saya semua mungkin. Pergilah sekarang. Satu jam lagi saya
akan kirim polisi untuk ambil jam dinding itu dan kau dapat uang 1000 dolar.” Herman pergi sambil geleng-geleng kepala. Waktu ia
tiba dekat rumah, ibu itu dan anak-anaknya sudah menunggu. Baru saja Herman
masuk, beberapa orang polisi sudah berdiri di depan. Mereka berteriak agar
pintu dibuka. Jam dinding itu mereka ambil dan uang 1000 dolar diberikan pada
Herman. Tetapi Herman tidak menerima uang itu. Orang-orang itu pergi membawa
jam dinding serta uang tadi. Pada waktu itu lonceng gereja berbunyi. Jalan
menuju Gereja penuh manusia. Tiap orang membawa bingkisan di tangan.
Herman kembali pergi dengan tangan kosong. Herman
bangkit untuk pergi ke gereja. Saat itu ia melihat apel di dalam lemari. Ia
tersenyum dan meraih apel itu. “Inilah satu-satunya yang saya punya, makanan
saya pada hari natal. Saya akan berikan ini pada Yesus. Itu lebih baik dari
pada pergi dengan tangan kosong.” Gereja penuh. Suasana bukan main semarak. Ratusan
lilin menyala dan bau kemenyan terasa di mana-mana. Altar tempat patung Maria
memangku bayi Yesus penuh dengan bingkisan. Semuanya indah dan mahal. Di situ
juga ada jam dinding buatan tukang arloji itu. Rupanya Pak walikota
mempersembahkan benda itu pada Yesus. Herman masuk. Ia melangkah dengan kaki
berat menuju altar dengan memegang apel. Semua mata tertuju padanya. Ia
mendengar mereka mengejek, makin jelas.
Hati Herman sedih, tetapi ia terus maju. Kepalanya
tertunduk. Ia tidak berani memandang orang sekeliling. Jarak altar masih jauh.
Herman tahu bahwa ia harus naik anak tangga untuk sampai ke altar. Sekarang
kakinya menyentuh anak tangga pertama. Herman berhenti sebentar. Ia tidak punya
tenaga lagi. Sejak pagi dia belum makan apa-apa. Tenaganya sudah tidak mampu lagi menapaki tanggal altar. Hanya ejekan jemaat
mengiringinya untuk menaiki altar. Herman, tukang arloji yang miskin ini
menaiki anak tangga yang terakhir. Ia mengangkat wajahnya. Dengan heran ia
melihat patung bayi Yesus yang ada di pangkuan Maria sedang mengulurkan tangan
untuk menerima bingkisan Natal darinya. Air mata menetes dari mata tukang
arloji itu. Inilah hari Natal yang paling indah dalam hidupnya.
Bagaimana dengan natal indah dalam hidup ini? Apakah akan
selalu diartikan dengan acara mewah dan hadiah besar? Pantaslah ada uang, natal
ada menggambarkan situasi natal kekinian. Ada uang, natal ada mungkin lebih
akan dikenal peribahasa jika ada uang tentu ada barang. Ada uang ada barang, apabila
mampu membayar maka akan mendapat barang atau jasa yang lebih secara kualitas
maupun kuantitas. Di hari-hari menjelang natal ini membuat saya kembali
teringat dengan ada uang ada barang. Tidak ada uang tidak ada hadiah mewah
untuk dipamerkan kepada orang lain. Orang kristen mana yang berani menyangkal
bahwa gereja-gereja dengan macam-macam ibadah natal di bulan Desember, semua
memerlukan uang, demi melancarkan acara.
Para panitia dan majelis berburu-buru mengejarkan
target dana untuk membuat acara natal. Natal itu mahal saudaraku. Tak bisa lagi
mendapatkan natal secara cuma-cuma. Bahkan ada gereja berani menganggarkan dana
sebesar dua miliar demi mendapatkan kegembiraan natal. Peribahasa sepeti ada
uang ada barang amat tepat saya pikir untuk gunakan dalam natal di Indonesia
sebagai suatu perumpamaan yang mempunyai arti apabila mampu membayar maka akan
mendapat acara atau dekorasi natal lebih secara kualitas maupun kuantitas.
Semua orang seperti di Jerman tadi, berlomba untuk memberikan hadiah termahal.
Miris? Tapi bukankah seperti itu realita gereja
yang terjadi? Natal sebagai momen tepat untuk merayakan kelahiran Kristus malah
menjadi pesta heboh dengan puncak acara, hadiah undian. Kalo seperti itu kenapa
gereja harus membuat natal? Kenapa tidak mencoba membuat kuis di televisi
dengan hadiah mobil dan kipas angin? Bukankah hakikat natal adalah merayakan
Yesus Kristus, sebuah bayi kecil menanti hadiah hati dan hidup terbuka dari seluruh
umat? Saya pikir musik spesial nan megah bukan hadiah tepat, terlebih mobil dan
motor dari dan untuk umat.
Kiranya orang-orang Kristen patut mencontoh Herman,
hidup berpusat kepada Tuhan, membuat natal begitu amat istimewa. Bukan soal
mendapat, tapi soal memberi dan membagi hidup dengan orang lain. Seperti
Herman, Tuhan hanya ingin hati lapang untuk membuat Tuhan hadir dalam setiap
hidup, rela membagi uang dan hidup untuk orang lain. Hidup berpusat kepada
Tuhan, sinarnya menyinari orang sekitar. Bukankah natal seperti itu adalah
sebuah natal indah? Menanti natal bukan dengan cara mengumpulkan dana terlebih
menanti hadiah, melainkan melapangkan hati untuk mau diisi oleh Kristus,
menyiapkan telapak kaki untuk mau dipimpin turut di jalan Tuhan. Tidakkah kita
mencoba membayangkan betapa (seharusnya) natal itu mahal di hati bukan materi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar