Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Sabtu, 13 Desember 2014

Ada Uang - Natal Ada

Di Jerman tinggal seorang tukang arloji bernama Herman. Dia tinggal di sebuah kamar yang sempit. Di kamar itu ada sebuah bangku kerja, sebuah lemari tempat kayu dan perkakas kerjanya, sebuah rak untuk tempat piring dan gelas serta tempat tidur lipat di bawah bangku kerjanya.

Selain puluhan arloji yang sudah dibuatnya tidak ada barang berharga lain di kamarnya. Di jendela kaca kamar itu Herman menaruh sebuah jam dinding paling bagus untuk menarik perhatian orang-orang yang lewat. Sejak dulu penduduk kota itu memiliki kebiasaan membawa hadiah Natal ke gereja dan meletakkannya di kaki patung Maria yang sedang memangku bayi Yesus. Setiap orang menabung supaya bisa memberi hadiah yang paling indah pada Yesus. Orang-orang bilang, kalau Yesus suka hadiah yang diberikan kepada-Nya, Ia akan mengulurkan tangan-Nya dari pelukan Maria untuk menerima bingkisan itu. Tentu saja ini legenda.
Meskipun begitu penduduk kota itu selalu berusaha membawa bingkisan yang paling indah. Para penulis puisi membuat syair-syair yang aduhai. Anak-anak pun tak ketinggalan. Setiap orang berlomba memberikan yang terbaik pada Yesus di Hari Natal. Siapa tahu, kata mereka, Yesus mengulurkan tangan menerima pemberian itu. Orang-orang yang tidak punya bingkisan, pergi ke Gereja untuk berbakti pada malam Natal sekaligus menilai bingkisan mana yang terindah. Herman, tukang arloji, adalah salah seorang yang hanya pergi untuk berbakti dan menonton.

Cemoohan pun datang dari jemaat dan bahkan majelis. Bahkan orang miskin pun bisa membeli hadiah mewah sebagai bingkisan natal. Tiap hari Herman bekerja untuk sebuah bingkisan natal. Herman membuat sebuah jam dinding. Mungkin yang paling indah dan belum pernah ada. Setiap bagian dikerjakan dengan hati-hati dan penuh kasih. Bingkainya, jarum-jarumnya, beratnya, dan yang lainnya diukir dengan teliti. Sudah 24 tahun Herman merangkai jam dinding itu. Tanpa uang itulah hasil karya terbaik dari seorang tukang jam.

Masuk tahun ke-25 Herman hampir selesai. Perhatiannya pada hadiah Natal itu membuat dia tidak punya cukup waktu untuk buat arloji dan menjualnya. Kadang Herman tidur dengan perut kosong. Ia makin tambah kurus tetapi jam dindingnya makin tambah cantik. Di jam dinding itu ada kandang, Maria sedang berlutut di samping palung - di dalamnya terbaring bayi Yesus. Di sekeliling palung itu ada Yusuf serta tiga orang majus, gembala-gembala dan dua orang malaikat. Kalau jam dinding itu berdering, orang-orang tadi berlutut di depan palung Yesus dan terdengar lagu Gloria in Excelsis Deo.

Herman puas. Ia menaruh benda itu di jendela kaca kamarnya supaya bisa dilihat orang. Orang-orang yang lewat berdiri berjam-jam mengagumi benda itu. Hari Natal sudah tiba. Pagi itu tiba-tiba ia ingat, sejak pagi dia belum sarapan. Ia segera ke pasar untuk membeli sepotong roti dengan uang terakhir yang ada padanya. Di lemarinya ada sebuah apel. Tetapi ketika ia buka pintu, seorang ibu masuk sambil menangis. Suaminya mengalami kecelakaan, uang keluarga mereka habis sudah akibat pohon natal, kue dan hadiah. Ibu itu kebingungan.

Herman tersenyum. Herman berniat menjual arloji sisa. Herman mengambil jas dinginnya lalu pergi ke pasar dengan satu jam tangan yang unik. Ia tawarkan jam itu di toko arloji. Tapi mereka tidak berminat. Ia pergi ke kantor gadai tapi pegawai-pegawai bilang arloji itu kuno. Akhirnya ia pergi ke rumah walikota. “Tuan, saya butuh uang untuk membeli mainan bagi beberapa anak. Tolong beli arloji ini?” Pak walikota tertawa. “Saya mau beli arloji tetapi bukan yang ini. Saya mau jam dinding yang ada di jendela kaca rumahmu. Berapa pun harganya saya siap.”
“Tidak mungkin tuan. Benda itu tidak saya jual." "Apa? Bagi saya semua mungkin. Pergilah sekarang. Satu jam lagi saya akan kirim polisi untuk ambil jam dinding itu dan kau dapat uang 1000 dolar.” Herman pergi sambil geleng-geleng kepala. Waktu ia tiba dekat rumah, ibu itu dan anak-anaknya sudah menunggu. Baru saja Herman masuk, beberapa orang polisi sudah berdiri di depan. Mereka berteriak agar pintu dibuka. Jam dinding itu mereka ambil dan uang 1000 dolar diberikan pada Herman. Tetapi Herman tidak menerima uang itu. Orang-orang itu pergi membawa jam dinding serta uang tadi. Pada waktu itu lonceng gereja berbunyi. Jalan menuju Gereja penuh manusia. Tiap orang membawa bingkisan di tangan.

Herman kembali pergi dengan tangan kosong. Herman bangkit untuk pergi ke gereja. Saat itu ia melihat apel di dalam lemari. Ia tersenyum dan meraih apel itu. “Inilah satu-satunya yang saya punya, makanan saya pada hari natal. Saya akan berikan ini pada Yesus. Itu lebih baik dari pada pergi dengan tangan kosong.” Gereja penuh. Suasana bukan main semarak. Ratusan lilin menyala dan bau kemenyan terasa di mana-mana. Altar tempat patung Maria memangku bayi Yesus penuh dengan bingkisan. Semuanya indah dan mahal. Di situ juga ada jam dinding buatan tukang arloji itu. Rupanya Pak walikota mempersembahkan benda itu pada Yesus. Herman masuk. Ia melangkah dengan kaki berat menuju altar dengan memegang apel. Semua mata tertuju padanya. Ia mendengar mereka mengejek, makin jelas.

Hati Herman sedih, tetapi ia terus maju. Kepalanya tertunduk. Ia tidak berani memandang orang sekeliling. Jarak altar masih jauh. Herman tahu bahwa ia harus naik anak tangga untuk sampai ke altar. Sekarang kakinya menyentuh anak tangga pertama. Herman berhenti sebentar. Ia tidak punya tenaga lagi. Sejak pagi dia belum makan apa-apa. Tenaganya sudah tidak mampu lagi menapaki tanggal altar. Hanya ejekan jemaat mengiringinya untuk menaiki altar. Herman, tukang arloji yang miskin ini menaiki anak tangga yang terakhir. Ia mengangkat wajahnya. Dengan heran ia melihat patung bayi Yesus yang ada di pangkuan Maria sedang mengulurkan tangan untuk menerima bingkisan Natal darinya. Air mata menetes dari mata tukang arloji itu. Inilah hari Natal yang paling indah dalam hidupnya.

Bagaimana dengan natal indah dalam hidup ini? Apakah akan selalu diartikan dengan acara mewah dan hadiah besar? Pantaslah ada uang, natal ada menggambarkan situasi natal kekinian. Ada uang, natal ada mungkin lebih akan dikenal peribahasa jika ada uang tentu ada barang. Ada uang ada barang, apabila mampu membayar maka akan mendapat barang atau jasa yang lebih secara kualitas maupun kuantitas. Di hari-hari menjelang natal ini membuat saya kembali teringat dengan ada uang ada barang. Tidak ada uang tidak ada hadiah mewah untuk dipamerkan kepada orang lain. Orang kristen mana yang berani menyangkal bahwa gereja-gereja dengan macam-macam ibadah natal di bulan Desember, semua memerlukan uang, demi melancarkan acara.

Para panitia dan majelis berburu-buru mengejarkan target dana untuk membuat acara natal. Natal itu mahal saudaraku. Tak bisa lagi mendapatkan natal secara cuma-cuma. Bahkan ada gereja berani menganggarkan dana sebesar dua miliar demi mendapatkan kegembiraan natal. Peribahasa sepeti ada uang ada barang amat tepat saya pikir untuk gunakan dalam natal di Indonesia sebagai suatu perumpamaan yang mempunyai arti apabila mampu membayar maka akan mendapat acara atau dekorasi natal lebih secara kualitas maupun kuantitas. Semua orang seperti di Jerman tadi, berlomba untuk memberikan hadiah termahal.

Miris? Tapi bukankah seperti itu realita gereja yang terjadi? Natal sebagai momen tepat untuk merayakan kelahiran Kristus malah menjadi pesta heboh dengan puncak acara, hadiah undian. Kalo seperti itu kenapa gereja harus membuat natal? Kenapa tidak mencoba membuat kuis di televisi dengan hadiah mobil dan kipas angin? Bukankah hakikat natal adalah merayakan Yesus Kristus, sebuah bayi kecil menanti hadiah hati dan hidup terbuka dari seluruh umat? Saya pikir musik spesial nan megah bukan hadiah tepat, terlebih mobil dan motor dari dan untuk umat.

Kiranya orang-orang Kristen patut mencontoh Herman, hidup berpusat kepada Tuhan, membuat natal begitu amat istimewa. Bukan soal mendapat, tapi soal memberi dan membagi hidup dengan orang lain. Seperti Herman, Tuhan hanya ingin hati lapang untuk membuat Tuhan hadir dalam setiap hidup, rela membagi uang dan hidup untuk orang lain. Hidup berpusat kepada Tuhan, sinarnya menyinari orang sekitar. Bukankah natal seperti itu adalah sebuah natal indah? Menanti natal bukan dengan cara mengumpulkan dana terlebih menanti hadiah, melainkan melapangkan hati untuk mau diisi oleh Kristus, menyiapkan telapak kaki untuk mau dipimpin turut di jalan Tuhan. Tidakkah kita mencoba membayangkan betapa (seharusnya) natal itu mahal di hati bukan materi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.