Di bulan Desember, nuansa Natal mulai menyelimuti umat Kristen Indonesia.
Natal saya dan pasti pun anda tak akan pernah bisa lepas dari warna hijau dan
selalu merah, kalau tidak di rumah, mungkin di gereja, mungkin pula di
lingkungan Kristen anda. Kenapa merah? Entahlah. Tak ada hubungan pula dengan
lambang bendera Indonesia, apalagi nilai-nilai keberanian. Mungkin ada hubungan
dengan jubah dan topi Santa. Tapi entahlah. Mungkin jika Natal menjadi seorang
Jawa, Bali, Dayak, Papua, Cina, dan Betawi—ia bosan dirinya selalu diberi
teman-teman dan keluarga terdekat dengan barang berwarna merah.
Sial memang si natal ini, sebagian orang Kristen Indonesia lebih gemar
bermerahan dan bersalju. Entah sadar atau tidak natal selalu menjadi merah. Mungkin
agar lagu I’ll Be Home for Christmas,
membuat salju dan kado jadi andalan hiasan. Tapi itu semua hanya membawa
Indonesia terlihat kebarat-baratan. Atau hal yang paling saya takuti orang
Kristen Indonesia punya kiblat menuju barat. Tentu tidak salah, sama sekali
tidak ada tata krama bernatal ala tiap bangsa tertulis di dalam Alkitab. Hanya
Kristus, Yesus Tuhan sang RAJA AGUNG lahir untuk semua bangsa tak terkecuali
negeri dengan beragam suku dan pulau ini.
Di tengah ribuan pulau di Indonesia ini, apakah tidak ada sesuatu yang
bisa menjadi simbol natal ataupun warna suasana natal kita, para orang Kristen
Indonesia. Bukankah ketimbang daun parasit mistletoe, pandan wangi lebih
terlihat lebih Indonesia. Bukankah Natal di Indonesia harus seperti pandan
wangi memiliki aroma harum khas? Atau natal kini tak harus menjadi merah,
mungkin biru sesuai dengan kelautan Indonesia atau hijau perlambangan zamrud
khatulistiwa.
Di khatulistiwa ini, mungkin pemulai budaya Natal ini memang amat
kreatif, sehingga pandai membuat Indonesia merindukan salju di musim
penghujan—tentu saya tak berniat menggantikan hiasan ini dengan pelampung atau
perahu karet—tidak. Tapi bukankah salju di pepohonan Indonesia pada bulan
Desember tidak amat relevan?
Kini kembalikan Natal seperti semula, di bawah Monas Jakarta, di samping
Gedung Sate Bandung, di ujung jembatan Suramadu, di gugusan pantai Bali dan
Papua, di bawah garis Khatulistiwa Kalimantan, di tengah hutan Sumatra, di
dalam gugusan pulau kecil di tengah Sulawesi dan Maluku. Seperti lagu I’ll Be Home for Christmas,natal pun
merindukan pulang kembali pada budaya Indonesia.
Jikalau dengan keragaman seperti ini, kita bisa sekreatif agen pemasaran
natal di barat, tentu pohon jati, pandan wangi dan para orang Kristen Indonesia
akan menyadari semua potensi ini. Semua potensi bangsa untuk memuliakan Sang
bayi mungil—sebuah persembahan mulia untuk Sang pencipta langit dan bumi—Dia
sang pencipta budaya bagi bangsa-bangsa. Ya Natal tak mau selalu merah, lebih
suka menggunakan baju batik seperti pekerja di bangsa ini. Menikmati
hari-hari natal di Indonesia pada nantinya memang akan menjadi unik, bersama
keluarga, apalagi dengan pasangan terkasih dengan perak pernik khas Indonesia.
Tentu tidak lupa dengan es teh hangat dan soto di atas meja. Ah indahnya
jika natal sangat Indonesia. Selamat hari natal Indonesia, jangan sia-siakan budaya ciamik bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar