Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Rabu, 24 Desember 2014

Natal Tak Mau Selalu Merah

Sudahkah membuat tumpukan kardus berbungkus kado dengan pita merah di bawah pohon natal? Sudahkah membuat gantungan permen, santa dan hiasan merah lain di pohon natal? Atau tumpukan sebaran kapas seraya di dalam rumah ada salju? Begitulah kira-kira gambaran suasana natal kita ini—dari tahun ke tahun—entah dari mana ide suasana natal ini dimulai.

Di bulan Desember, nuansa Natal mulai menyelimuti umat Kristen Indonesia. Natal saya dan pasti pun anda tak akan pernah bisa lepas dari warna hijau dan selalu merah, kalau tidak di rumah, mungkin di gereja, mungkin pula di lingkungan Kristen anda. Kenapa merah? Entahlah. Tak ada hubungan pula dengan lambang bendera Indonesia, apalagi nilai-nilai keberanian. Mungkin ada hubungan dengan jubah dan topi Santa. Tapi entahlah. Mungkin jika Natal menjadi seorang Jawa, Bali, Dayak, Papua, Cina, dan Betawi—ia bosan dirinya selalu diberi teman-teman dan keluarga terdekat dengan barang berwarna merah.

Sial memang si natal ini, sebagian orang Kristen Indonesia lebih gemar bermerahan dan bersalju. Entah sadar atau tidak natal selalu menjadi merah. Mungkin agar lagu I’ll Be Home for Christmas, membuat salju dan kado jadi andalan hiasan. Tapi itu semua hanya membawa Indonesia terlihat kebarat-baratan. Atau hal yang paling saya takuti orang Kristen Indonesia punya kiblat menuju barat. Tentu tidak salah, sama sekali tidak ada tata krama bernatal ala tiap bangsa tertulis di dalam Alkitab. Hanya Kristus, Yesus Tuhan sang RAJA AGUNG lahir untuk semua bangsa tak terkecuali negeri dengan beragam suku dan pulau ini.
Di tengah ribuan pulau di Indonesia ini, apakah tidak ada sesuatu yang bisa menjadi simbol natal ataupun warna suasana natal kita, para orang Kristen Indonesia. Bukankah ketimbang daun parasit mistletoe, pandan wangi lebih terlihat lebih Indonesia. Bukankah Natal di Indonesia harus seperti pandan wangi memiliki aroma harum khas? Atau natal kini tak harus menjadi merah, mungkin biru sesuai dengan kelautan Indonesia atau hijau perlambangan zamrud khatulistiwa.

Di khatulistiwa ini, mungkin pemulai budaya Natal ini memang amat kreatif, sehingga pandai membuat Indonesia merindukan salju di musim penghujan—tentu saya tak berniat menggantikan hiasan ini dengan pelampung atau perahu karet—tidak. Tapi bukankah salju di pepohonan Indonesia pada bulan Desember tidak amat relevan?

Kini kembalikan Natal seperti semula, di bawah Monas Jakarta, di samping Gedung Sate Bandung, di ujung jembatan Suramadu, di gugusan pantai Bali dan Papua, di bawah garis Khatulistiwa Kalimantan, di tengah hutan Sumatra, di dalam gugusan pulau kecil di tengah Sulawesi dan Maluku. Seperti lagu I’ll Be Home for Christmas,natal pun merindukan pulang kembali pada budaya Indonesia.

Jikalau dengan keragaman seperti ini, kita bisa sekreatif agen pemasaran natal di barat, tentu pohon jati, pandan wangi dan para orang Kristen Indonesia akan menyadari semua potensi ini. Semua potensi bangsa untuk memuliakan Sang bayi mungil—sebuah persembahan mulia untuk Sang pencipta langit dan bumi—Dia sang pencipta budaya bagi bangsa-bangsa. Ya Natal tak mau selalu merah, lebih suka menggunakan baju batik seperti pekerja di bangsa ini. Menikmati hari-hari natal di Indonesia pada nantinya memang akan menjadi unik, bersama keluarga, apalagi dengan pasangan terkasih dengan perak pernik khas Indonesia. Tentu tidak lupa dengan es teh hangat dan soto di atas meja. Ah indahnya jika natal sangat Indonesia. Selamat hari natal Indonesia, jangan sia-siakan budaya ciamik bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.