Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Sabtu, 10 Januari 2015

Tabula Rasa : Semua Orang (Bahkan Papua) Bisa Memasak (Rendang)

Semua orang bisa memasak, begitu ungkapan dari sebuah animasi dengan tema makanan dari film Ratatouille. Mungkin ungkapan ini bahkan bisa menggambarkan hal yang sama dengan Tabula Rasa. Tabula Rasa hadir dengan rasa baru dalam dunia perfilman, berusaha menendang industri film Indonesia dengan sajian baru nan rancak. Di saat perfilman Indonesia marak diramaikan oleh rumah produksi yang menyajikan menu film adaptasi, Tabula Rasa hadir dengan menu orisinal.

Tabula Rasa adalah film ketiga produksi LifeLike Pictures. Film yang disutradarai oleh sineas muda Adriyanto Dewo dan penulis Tumpal Tampubolon ini menghadirkan sebuah drama keluarga Padang pengelola rumah makan dengan menggunakan kekayaan makanan Indonesia sebagai poros cerita.

Film ini bercerita tentang Hans (Jimmy Kobogau) seorang pemuda Serui, Papua, yang memiliki cita-cita untuk menjadi seorang pemain sepak bola profesional. Mimpinya hampir menjadi kenyataan ketika ia direkrut oleh sebuah klub bola di Jakarta. Namun, nasib berkata lain dan Hans terpaksa harus kehilangan mimpinya. Di tengah rasa putus asa, Hans bertemu dengan Mak (Dewi Irawan) seorang pemilik rumah makan Padang sederhana (Lapau). Mak kemudian mengajak Hans ke rumah makannya. Semangkuk gulai kepala ikan hangat dan kebaikan hati Mak membangkitkan kembali semangat hidup Hans.

Kehadiran Hans mendapat penolakan dari Parmanto (Yayu Unru), juru masak dan Natsir (Ozzol Ramdan), pramusaji. Keadaan menjadi semakin memburuk ketika mereka mendapat saingan sebuah rumah makan baru yang lebih besar, yang persis berada di depan rumah makan mereka. Hans, Mak, Natsir dan Parmanto harus menyelesaikan perselisihan di antara mereka untuk menyelamatkan rumah makan yang sedang sulit karena sepi pengunjung.

Menonton film ini di bioskop hanya membuat saya terbelalak dengan anggun sutradara menyajikan sajian apik dengan gradasi warna dan sinematografi indah. Musik tentu amat menjadi sebuah bumbu penting dalam Tabula Rasa. Tak menyangka film ini sangat mendobrak semangat saya terhadap industri film di Indonesia. Musik dari Indra Perkasa akhirnya banyak membantu. Selain mengolah lagu-lagu lawas, ia juga membuat scoring yang orisinal, di mana beberapa di antaranya secara tematik diulang pada adegan-adegan memasak. Aransemen berwarna baru yang samar-samar memasukkan nuansa kedaerahan itu secara keseluruhan menyatu dengan film sederhana yang tidak sedikit pun menampilkan kemewahan serta wajah-wajah cantik dan tampan ini.

Kontribusi Indra Perkasa yang lebih dikenal sebagai pemusik jazz kontemporer antara lain bersama kelompok Tomorow People Ensemble, terasa mewakili keseluruhan semangat film ini: keberanian menukik buat mendalami tema baru dan menyajikannya secara orisinal. Hanya dengan sikap seperti itulah film Indonesia suatu saat bakal menemukan penonton-penonton baru yang lebih apresiatif untuk bangkit lagi dari keterpurukan.

Dalam film Tabula Rasa, makanan digambarkan sebagai sebuah iktikad baik untuk bertemu—lewat masakan dan makanan mereka bertemu, saling memberikan harapan dan semangat. Lewat masakan dan makanan pula, mereka berusaha saling memahami dan meleburkan perbedaan-perbedaan yang ada. Bagaimana tidak ide film ini orang Papua bahkan bisa memasak rendang dan gulai di rumah makan Padang. Aneh? Tapi semua hanya bisa dibuktikan lewat masakan. Juru masak bisa berasal dari semua orang, bahkan termasuk rumah makan Padang bisa saja berjuru masak orang Papua.

"Film Tabula Rasa bisa dikatakan sebagai film kuliner pertama di Indonesia yang benar-benar memasukkan nilai-nilai sosial budaya kuliner ke dalam cerita." Ungkap Lala Timothy selaku produser. Cita rasa kuliner dalam film ini dengan demikian memang lebih terlihat sebagai perkara budaya dan manusia. Bukan semata persoalan mata, lidah, perut, dan bisa jadi juga status sosial. Tabula Rasa bukan hanya bercerita tentang makanan tetapi juga bercerita tentang keragaman dan kekayaan budaya Indonesia. Mengingatkan kita tentang nilai-nilai budaya Indonesia yang hampir terlupakan, nilai toleransi, tolong menolong dan persatuan. Bhinneka Tunggal Ika lewat makanan.

Kebaruan seperti buah simalakama. Bahkan seperti itu pula untuk perfilman di Indonesia, akan mati tanpa penjelajahan-penjelajahan baru dalam berbagai aspeknya: gagasan, tema, penceritaan, estetika, teknologi, pengetahuan, dan lainnya. Ironisnya, penjelajahan-penjelajahan baru itu pula yang—terutama di awalnya—justru menghambat resepsi pemirsa, bukan cuma penonton di ruang konsumsi tetapi juga para pakar di ruang apresiasi. Gurauan “lebih baik dimakan, meskipun ibu mati tapi kenyang” akhirnya memang pilihan logis. Tunggu. Tabula Rasa bukan seperti itu Tabula Rasa beruntun tidak menjadi buah simalakama, pahit. Tapi memang menjadi rendang, rancak.

Membeli DVD dari Tabula Rasa menjadi tujuan saya berikutnya setelah menonton film ini di layar lebar. Menyaksikan keindahan film ini dalam rumah saya beserta keluarga akan menjadi keluarga. Menikmati film seraya melahap nasi panas dengan gulai kepala ikan dan es teh manis yang tak bisa saya lakukan di bioskop.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.