Tabula Rasa adalah film ketiga produksi LifeLike Pictures. Film yang
disutradarai oleh sineas muda Adriyanto Dewo dan penulis Tumpal
Tampubolon ini menghadirkan sebuah drama keluarga Padang pengelola
rumah makan dengan menggunakan kekayaan makanan Indonesia sebagai poros cerita.
Film ini bercerita tentang Hans (Jimmy Kobogau)
seorang pemuda Serui, Papua, yang memiliki cita-cita untuk menjadi seorang
pemain sepak bola profesional. Mimpinya hampir menjadi kenyataan ketika ia
direkrut oleh sebuah klub bola di Jakarta. Namun, nasib berkata lain dan Hans
terpaksa harus kehilangan mimpinya. Di tengah rasa putus asa, Hans bertemu dengan Mak (Dewi
Irawan) seorang pemilik rumah makan Padang sederhana (Lapau). Mak kemudian
mengajak Hans ke rumah makannya. Semangkuk gulai kepala ikan hangat dan
kebaikan hati Mak membangkitkan kembali semangat hidup Hans.
Kehadiran Hans mendapat penolakan dari Parmanto (Yayu
Unru), juru masak dan Natsir (Ozzol Ramdan), pramusaji. Keadaan
menjadi semakin memburuk ketika mereka mendapat saingan sebuah rumah makan baru
yang lebih besar, yang persis berada di depan rumah makan mereka. Hans, Mak,
Natsir dan Parmanto harus menyelesaikan perselisihan di antara mereka untuk
menyelamatkan rumah makan yang sedang sulit karena sepi pengunjung.
Menonton film ini di bioskop hanya membuat saya
terbelalak dengan anggun sutradara menyajikan sajian apik dengan gradasi warna
dan sinematografi indah. Musik tentu amat menjadi sebuah bumbu penting dalam
Tabula Rasa. Tak menyangka film ini sangat mendobrak semangat saya terhadap
industri film di Indonesia. Musik dari Indra Perkasa
akhirnya banyak membantu. Selain mengolah lagu-lagu lawas, ia juga membuat scoring
yang orisinal, di mana beberapa di antaranya secara tematik diulang pada
adegan-adegan memasak. Aransemen berwarna baru yang samar-samar memasukkan
nuansa kedaerahan itu secara keseluruhan menyatu dengan film sederhana yang
tidak sedikit pun menampilkan kemewahan serta wajah-wajah cantik dan tampan ini.
Kontribusi
Indra Perkasa yang lebih dikenal sebagai pemusik jazz kontemporer antara lain
bersama kelompok Tomorow People Ensemble,
terasa mewakili keseluruhan semangat film ini: keberanian menukik buat
mendalami tema baru dan menyajikannya secara orisinal. Hanya dengan sikap
seperti itulah film Indonesia suatu saat bakal menemukan penonton-penonton baru
yang lebih apresiatif untuk bangkit lagi dari keterpurukan.
Dalam film Tabula Rasa, makanan digambarkan sebagai
sebuah iktikad baik untuk bertemu—lewat masakan dan makanan mereka bertemu,
saling memberikan harapan dan semangat. Lewat masakan dan makanan pula, mereka
berusaha saling memahami dan meleburkan perbedaan-perbedaan yang ada. Bagaimana
tidak ide film ini orang Papua bahkan bisa memasak rendang dan gulai di rumah
makan Padang. Aneh? Tapi semua hanya bisa dibuktikan lewat masakan. Juru masak
bisa berasal dari semua orang, bahkan termasuk rumah makan Padang bisa saja
berjuru masak orang Papua.
"Film
Tabula Rasa bisa dikatakan sebagai film kuliner pertama di Indonesia yang
benar-benar memasukkan nilai-nilai sosial budaya kuliner ke dalam cerita."
Ungkap Lala Timothy selaku produser. Cita rasa kuliner dalam film ini dengan demikian memang lebih
terlihat sebagai perkara budaya dan manusia. Bukan semata persoalan mata,
lidah, perut, dan bisa jadi juga status sosial. Tabula Rasa bukan hanya bercerita tentang makanan tetapi juga bercerita
tentang keragaman dan kekayaan budaya Indonesia. Mengingatkan kita tentang
nilai-nilai budaya Indonesia yang hampir terlupakan, nilai toleransi, tolong
menolong dan persatuan. Bhinneka Tunggal Ika lewat makanan.
Kebaruan seperti buah simalakama. Bahkan seperti itu
pula untuk perfilman di Indonesia, akan mati tanpa penjelajahan-penjelajahan
baru dalam berbagai aspeknya: gagasan, tema, penceritaan, estetika, teknologi,
pengetahuan, dan lainnya. Ironisnya, penjelajahan-penjelajahan baru itu pula
yang—terutama di awalnya—justru menghambat resepsi pemirsa, bukan cuma penonton
di ruang konsumsi tetapi juga para pakar di ruang apresiasi. Gurauan “lebih
baik dimakan, meskipun ibu mati tapi kenyang” akhirnya memang pilihan logis.
Tunggu. Tabula Rasa bukan seperti itu Tabula Rasa beruntun tidak menjadi buah
simalakama, pahit. Tapi memang menjadi rendang, rancak.
Membeli DVD dari Tabula Rasa menjadi tujuan saya
berikutnya setelah menonton film ini di layar lebar. Menyaksikan keindahan film
ini dalam rumah saya beserta keluarga akan menjadi keluarga. Menikmati film seraya
melahap nasi panas dengan gulai kepala ikan dan es teh manis yang tak bisa saya
lakukan di bioskop.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar