Sebagai manusia hidup penuh dengan tafsir, tak jarang
pula tafsir-tafsir ini hidup bersama berdampingan dengan masyarakat Indonesia. Tapi
itu dulu, konon karena memang Indonesia dulu menyembah roh-roh nenek moyang dan
benda-benda keramat membuat Indonesia menghidupi mitos. Pemahaman mitos itu pun
mitos ternyata. Bahkan di era modern dan orang-orang beragama pun tidak imun
terhadap mitos. Bahkan untuk mitos, demi kebaikan ini tak berlaku untuk pekerja
biasa, relawan pengabdi bahkan karyawan di gedung bertingkat 60 lantai.
Bohong sejatinya adalah keadaan tidak benar, tidak
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Suatu keadaan yang sepatutnya tidak
perlu dibenar-benarkan lagi, apalagi oleh mitos manusia. Apapun alasan kebaikan
untuk membenarkan ini, tak perlu dilontarkan untuk membenarkan kebohongan.
Mungkin jika Pinocchio, si tokoh boneka kayu itu hidup bersama dan menghidupi
mitos kebohongan itu baik asalkan demi kebaikan, tentulah ia adalah orang
paling bahagia di dunia ini—karena tak perlu lagi melihat hidungnya bertambah
panjang.
Mungkin berat tidak berbohong, mungkin karena
berbohong terlihat sepele. Mungkin karena hal-hal ini orang pun dengan gampang
membuat mitos bahwa berbohong tidak masalah asal berguna, entah berguna untuk
lawan percakapan atau diri sendiri. Mungkin sang pembuat mitos ini adalah ahli
agama atau pendongeng keliling, sehingga membuat mitos buatan ini dapat
tersebar dengan cepat. Mungkin di dalam rumah sang pendongeng ini, dia adalah
suami biasa yang demi menyenangkan istrinya, dia harus berbohong. Mungkin ia
acap kali ditanya dengan istrinya tentang bagaimana rupanya sekarang—masih
cantik atau tidak—terpikirlah sang penutur ini untuk mengawali perjalanan mitos
demi kebaikan. Entahlah, karena cerita dan kesimpulan ini pun sebuah karangan.
Dilihat dari karangan di atas, jelas kondisi ini akan
menjadi buah simalakama, terpaksalah ia bahkan kita mengambil cara berbohong.
Tetapi kenapa tidak mencoba jujur? Bukankah dengan jujur walaupun pahit, si
istri kemudian kembali mencoba berbenah untuk mempercantik diri? Bukankah cara
atau hal ini membuat pujian dari diri seorang laki-laki kini menjadi mahal dan
mewah ketika diucapkan secara jujur?
Pribadi saya tentu sangat menentang ide mitos ini,
gerah nampaknya, melakukan kebaikan dengan cara berbohong. Tapi sejatinya
memang jalan dosa itu enak, jalan benar itu pahit. Tak dapat disangkal oleh
kita, semua orang pernah berbohong, masalahnya adalah bukan seberapa sering
atau untuk apa berbohong, tetapi sudah berhenti atau tidak, tidak harus
tawar-menawar lagi.
Kita selaku orang beragama sepatutnya meluputkan diri
dari kesalahan dan mitos itu. Dengan demikian setiap orang di dunia akan sadar
bahwa Tuhan pun ikut bahagia saat mereka memperlakukan sesama dengan baik, tak
perlu lagi berbohong demi kebaikan sesama dan diri sendiri. Betapa menyenangkan
jika mengetahui bahwa dengan mengambil jalan pahit, malah membuat Tuhan kembali
tersenyum.
Seperti seorang ayah melihat anak keturunannya lahir
dari rahim istri yang ia sayangi, saya rasa itulah perasaan Tuhan melihat
anak-anak di dunia ini bertingkah polos. Dunia ini butuh orang polos, tak perlu
lagi menjadi orang licik untuk mendapat keuntungan. Licik ketika melabeli
minuman racun dengan label air mineral murni dari gunung. Mitos ini biarlah
kembali kepada hakikat mitos, sebuah (hanya) cerita dengan kandungan sebuah
tafsir tentang asal usul. Biarkanlah tetap menjadi legenda, bahwa kita dulu
memiliki ide dan pemikiran seperti ini.
Tak perlu lagi seperti pedagang menjual produk palsu
kepada konsumen dengan embel-embel orisinal. Menjual minuman pelega dahaga
kepada kaum musafir tetapi berisi pasir. Bukankah seperti itu pula mitos
berbohong? Seperti minuman racun, berbahaya tapi diberikan kepada lawan bicara
dalam rupa botol air mineral? Mengerikan jika berpikir hal seperti ini coba
ditawarkan oleh teman saya sendiri. Semoga kembali berpikir ulang untuk
berbohong demi kebaikan.
demi kebaikan 'pun bukannya tetep ja bohong
BalasHapus