Rijkaard adalah pelatih Barcelona kala
itu, waktu di mana saya memutuskan harus mendukung siapa dalam sepakbola
seiring kegemaran saya bermain winning
eleven. Perkara-perkara radikal seperti pilihan untuk mencintai sesuatu
bukanlah hal yang pantas buat diatur-atur. Begitu pula dengan keputusan untuk
menyukai sepakbola, olahraga yang kini menjadi sasaran empuk industrialisasi.
Ada yang menyukainya, ada pula yang tidak. Bagi sebagian orang, sepakbola
memiliki keindahan yang jauh lebih hebat daripada romantisme yang kerap
digadang-gadang Edward Anthony Masen Cullen dan Isabella Marie Swan dalam saga
film “Twilight”. Hal ini bisa didapatkan dengan menggemari Barcelona kala itu.
Eto-Ronaldinho-Giuly serta disokong
Iniesta-Xavi-Motta merupakan permainan indah yang begitu enak dipandang
mata—saya hampir lupa bahwa permainan indah tentu amat tak berarti jika tak
bisa meraih prestasi. Ya pada waktu itu dan tahun terakhir Barcelona hanya
mendapat satu gelar turnamen piala. Hal yang cukup buruk untuk saya yang baru
menggemari Barcelona, saya bahkan ingat bagaimana Gol Reyes bagi Real Madrid
yang menentukan posisi La Liga kala itu.
Permainan indah memang menjadi ciri
permainan Barcelona, permainan yang membuat saya selalu menikmati pertandingan
Barcelona sampai saat ini. Sentuhan kaki lewat operan pendek dan akurasi bahkan
tak jarang operan tak kurang dari satu meter dengan cepat pun dilakukan. Dengan
taktik seperi ini membuat saya tak
begitu kagum dengan rekor akurasi umpan pendek Xavi, Iniesta dan Busquets—mereka
hanya akan mengumpan kepada temannya
dengan amat dekat, cepat, dan tentu
tanpa kawalan. Saya tahu hal ini kelak mungkin akan berubah seiring kebutuhan
sepakbola modern—hal yang coba dibuktikan mantan pelatih Gerardo “Tata” Martino
namun gagal. Sepakbola total yang menjadi akar permainan ini sukses dibawa
Riijkaard dan menjadi darah permainan tim Katalan dan kelak disempurnakan oleh
Guardiola dan Enrique dengan cara mereka masing-masing. Maaf untuk tidak
mencantumkan nama Tata.
Guardiola dan Enrique serta Riijkaard
pun bukan orang asing dalam publik Barcelona sebelum mengambil kepelatihan,
mereka sudah pernah berseragam Biru dan Merah. Mereka adalah orang-orang yang
sering berjalan di pinggir jalan di Barcelona dan mampir hanya untuk sekedar
membeli bakso atau mata pisau cukur. Barcelona adalah tim yang tahu bagaimana
menghargai para mantan pemainnya—tak jarang pemain-pemain Barcelona pun sampai
saat ini selalu ada dalam daftar staf, direksi, atau pelatih. Mereka yang
dibina Barcelona lah yang mempertahankan tradisi dan menjadi urat nadi
Barcelona.
Mempertahankan tradisi kian lama makin
sulit, terlebih pelatih, presiden dan direksi memiliki tuntutan besar demi
menghindari hujatan media dan penggemar. Demi menghindari judul berita utama
bahwa Messi sedang tidak bahagia.
Tradisi Barcelona yang memiliki akademi luar biasa dengan puluhan anak-anak
muda hebat yang kelak menjadi tulang punggung Barcelona di tim utama pun kian
sulit. La Masia (sebutan untuk sekolah Barcelona) dalam era Guardiola
terciptalah pemain hebat seperti Pedro dan
Busquets masuk dalam tim utama. Riijkaard dengan Messi dan Iniesta dan
Enrique dengan Sergi Roberto dan Rafinha. Padahal tradisi yang sistematis ini
adalah alasan utama saya yang bukan warga Katalan ini untuk mencintai klub yang
bermarkas di Nou Camp itu
.
Mencintai klub tanpa memiliki cela
memang tak mungkin pernah ada di industri sepakbola. Hal ini adalah alasan
terkuat kita mencintai sebuah klub, keinginan untuk melihat klub menjadi lebih
baik dalam urusan prestasi dan internal klub. Setiap pelatih memiliki era dan
kebiasaan masing-masing dan selalu memiliki cara baru untuk mencapai
kesuksesan, walau kadang mungkin akan gagal. Sebagai penggemar yang kita
lakukan mungkin hanya mengkritisi kebijakan, mengeluhkan permainan, bersorak
dan merayakan kemenangan, membeli pernak pernik—menggemari dan terus mendukung.
Toh Barcelona tidak akan menjadi bukan sekedar klub kalau tidak mewakili aspirasi
warga Katalan dan penggemar dari benua lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar