Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Sabtu, 17 Oktober 2015

The Martian : Sebuah Musik Disko Bagi Tuan Scott

Musik disko mendendang, kaki-kaki pun seakan tak bisa menolak tarikan untuk menari di lantai dansa. Musik disko perlahan merangkak menjadi musik wajib dalam tumpukan piringan hitam pada setiap rumah. Era awal 70-an The Jackson 5 dengan Michael Jackson dulu mengangkat kembali disko menjadi sebuah musik yang amat digemari. Tanpa disadari kehadiran musik disko menjadi musik pengiring kemunculan sutradara hebat, tuan Scott (Ridley Scott). 

Untuk karier panjang Tuan Scott film bertemakan luar angkasa atau fiksi ilmiah bukanlah hal asing bagi beliau. Tuan Scott dibesarkan oleh deretan film sukses bertemakan luar angkasa dan fiksi ilmiah, Alien salah satunya. Memang mungkin Alien bukanlah film pertama buatan Tuan Scott namun film pada tahun 70-an inilah yang kemudian membesarkan namanya dan menggebrak pasar film—selayaknya musik disko—yang kemudian film-film bertemakan fiksi ilmiah seperti Star Wars dan Star Trek menjadi tren di pasaran.

Era 2010-an pasaran pun bergeser, Tuan Scott masih saja getol membuat film bertemakan fiksi ilmiah, bahkan membuat Prometheus dan kemudian film terakhirnya yang sukses, The Martian. Menelusuri cerita film, awalnya kita bakal disuguhkan oleh pemandangan planet Mars beserta enam kru antariksawan NASA pimpinan Melissa Lewis (Jessica Chastain). Mark Watney (Matt Damon) menjadi bagian dari timnya yang sedang melaksanakan misi khusus. Keakraban dan kehangatan tim antariksawan ini sudah digambarkan sejak awal film. Hingga pada akhirnya, mereka nyaris berbeda pendapat karena adanya badai di Mars. Lewis memerintahkan awaknya supaya meninggalkan Mars demi mencegah robohnya roket mereka.

Malang bagi Mark yang sempat meminta komandannya mencari satu cara agar roketnya tak roboh. Ia mengalami satu kejadian tak terduga hingga rekan-rekannya mengira dirinya telah tewas. Akhirnya, mereka pun meninggalkan Mars tanpa Mark. Tak disangka, Mark masih hidup dan harus menetap sendirian di Mars. Mark pun dituntut dengan semua keahliannya dan musik disko untuk bertahan hidup di Mars selagi menunggu bantuan teman-temannya untuk menemukan dan menyelamatkan Mark dari planet Mars.

Kisah yang diangkat dari novel karya Andy Weir ini coba diangkat Tuan Scott dengan amat apik dan segar. Setelah sebelumnya kita disajikan Gravity dan Interstellar yang digadang-gadang sebagai karya sinematik terbaik tentang luar angkasa yang pernah dibuat, sekarang kita ditawari The Martian. Godaan untuk membandingkan The Martian dengan Gravity dan Interstellar sangat sulit dihindari mengingat tema luar angkasa yang sama pada ketiga film. Bukan itu saja, ansambel Jessica Chastain dan Matt Damon selayaknya pemusik disko yang sudah biasa dengan film bertemakan fiksi ilmiah dan sebelumnya sudah pernah kita saksikan di Interstellar.
Sesederhana cerita dengan premis tentang menjemput kembali orang yang tertinggal di sebuah planet, namun tentu saja dalam ukuran fiksi ilmiah dengan anggaran mencapai 100 juta Dolar lebih narasinya menjadi lebih kompleks. Planet Mars bisa jadi salah satu tempat favorit bagi para sineas.  sudah bolak-balik ia dijadikan panggung buat film-film fiksi ilmiah, dari Aelita produksi tahun 1924, fiksi ilmiah legendaris Total Recall sampai John Carter yang gagal di pasaran itu, tetapi baru kali ini si Planet Merah benar-benar diperlakukan layaknya sebuah planet sejati, dalam artian apa yang sudah dilakukan Tuan Scott bersama timnya adalah sesuatu yang luar biasa ketika mereka mencoba melakukan pendekatan serealistis mungkin dalam menghadirkan sebuah film bertahan hidup di luar angkasa yang menegangkan, tanpa monster hijau tanpa perjalanan waktu dan hal-hal lain yang ajaib.

Ya, tentu saja bertahan hidup adalah kunci utama yang dijual The Martian. Tuan Scott sebenarnya bisa saja mengadaptasi bebas buku, dan kemudian menjadikannya drama solo ala Cast Away-nya Robert Zemeckis, tetapi ia tidak melakukannya. Dalam 141 menit durasi kita tidak akan melulu melihat wajah Matt Damon karena dalam perjalanannya akan ada banyak karakter lain di tempat berbeda yang turut meramaikan ceritanya—bahkan musik disko! Seperti orang-orang NASA pimpinan Teddy Sanders (Jeff Daniels) atau JPL (Jet Propulsion Laboratory) yang sedang kelimpungan memikirkan bagaimana cara menjalankan misi yang hampir mustahil untuk membawa pulang astronotnya. Dari sini kemudian setnya terbagi dua, satu sisi yang jauh kita akan melihat bagaimana karakter Mark berjuang bertahan hidup di planet asing, bagaimana Mark menjalani sol (sebutan hari dalam ukuran Mars) demi sol seorang diri. Sementara di satu sisi lain yang berjarak 35 juta kilo meter kita akan melihat perjuangan lain ketika tidak hanya NASA, namun elemen manusia bersatu memikirkan cara terbaik untuk menyelamatkan Mark.

Dengan durasi sepanjang ini, butuh sesuatu untuk membuat penontonnya betah berlama-lama di bangkunya, dan Scott tahu benar bagaimana menjaga ritme The Martian dengan baik. Hampir tidak ada momen membosankan di dalamnya. Setiap adegan diisi dengan efektif dan jauh dari kesan lambat, belum lagi ditambah elemen humor yang memberi variasi santai di suasana serius. Yang disayangkan dalam The Martian adalah banyak karakter yang terbuang percuma dan seperti salah tempat. Jessica Chastain misalnya. Sebagai kapten pesawat antariksa Hermes yang beranggotakan Michael Pena, Kate Mara, Sebastian Stan,  dan Aksel Hennie, Chastain memang punya semua pesona sebagai seorang pemimpin, tetapi dengan kapasitasnya  sebagai aktris besar dirasa mubazir untuk porsi yang tidak terlalu besar. Lalu ada nama Kristen Wiig yang seperti salah tempat. Jujur siapa saja bisa menggantikan Wiig di perannya yang tak penting itu, beruntung interaksi Jeff Daniels, Chiwtel Ejiofor dan Sean Bean masih bermain bagus dan menghasilkan konflik menarik tersendiri untuk menutupi beberapa kekurangan.

The Martian adalah salah satu kisah apik fiksi ilmiah hasil Tuan Scott. Tak heran kemudian diganjar banyak nominasi penghargaan Oscar. Tuan Scott mencoba sedikit mengusik pasar film pahlawan super dengan adaptasi novel ini—setidaknya seperti musik disko yang selalu akan ada di hati penggemarnya dan siapa sangka jika Up Town Funk yang bernuansa disko berhasil mendobrak pasar bertengger cukup lama di Billboard. Jika kerumitan Intestellar itu adalah musik Jazz, Gravity dengan visual menakjubkan adalah musik pop maka tepatlah The Martian adalah sebuah musik disko.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.