Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat - baca dan amati?

Bukankah tulisanmu adalah apa yang kau lihat di setiap keliling dan sekitarmu? - baca di setiap lembar kertas dan layar digitalmu? dan amati di setiap kisah, kenangan, sentuhan pasanganmu?

Sabtu, 31 Oktober 2015

Susahnya Berkarya di Tanah Air Beta


Di sana tempat lahir beta/ Dibuai dibesarkan bunda/ Tempat berlindung di hari tua/ Tempat akhir menutup mata – “Indonesia Pusaka” Ismail Marzuki

Indonesia tanah pusaka! Begitu kira-kira sorak Ismail Marzuki seorang maestro musik dan pelopor seni di Indonesia untuk membakar semangat kemerdekaan pada waktu itu. Tak banyak pahlawan yang lahir dari kalangan seni, namun Ismail Marzuki bisa membuktikan hal tabu tersebut—menjadi pahlawan nasional lewat beragam karya dengan kelas. Berkarya di tempat lahir memang menyenangkan. Menumbuhkan dan membesarkan karya bersama bunda adalah sebuah keistimewaan. Memantapkan karya dengan konsisten hingga hari tua melahirkan sebuah legenda.

Lahir di sebuah tempat bernamakan Indonesia adalah anugerah. Berkarya di tempat lahir beta ini yang merupakan petaka. Hal sama pun dialami oleh Ismail Marzuki pada awal kemerdekaan—dilarang berkarya, karya dihujat karena dinilai sebagai propaganda dan menembus pasar di mana sebagian besar seniman Indonesia berasal dari Belanda dan Jepang—amat sulit. Tempat lahir ini lebih mirip gua beruang, di mana pada masa lahirnya pun, anak-anak Beruang harus segera semandiri mungkin untuk bertahan hidup di alam yang (tentu) tidak ramah.

Tempat lahir beta makin lama menjadi tempat yang tidak ramah untuk menciptakan sebuah karya. Pasca zaman Ismail Marzuki dan era reformasi hanya membuat menelurkan karya kini lebih mudah. Hanya buai yang tak kunjung menjadi besar. Apresiasi hanya sebatas jatuh pada ujung lidah namun kerap tak dihargai. Musik dibajak—dapat dijumpai dalam unggah secara ilegal bahkan lapak-lapak pusat perbelanjaan kesayangan. Film dan karya seni lain hanya dipuji secara mulut atau kicauan dari penikmat ilegal.

Butuh berbagai cara untuk membuai dan kemudian melambungkan berbagai karya hingga keluar tanah air beta. Butuh berbagai cara untuk tidak sekedar bertahan hidup lewat sebuah karya. Dunia digital membuat tanah lahir beta semakin luas tak berbatas, terutama untuk orang-orang kreatif. Pendidikan yang rendah memang menjadi salah satu masalah yang harus diperhatikan Indonesia. Tak heran jika banyak masyarakat di tanah air ini banyak yang tak berkarya, adapun serabutan, seadanya. Tak mampu menembus pasar internasional. Pendidikan adalah hal utama dalam berkarya. Tak perlu selalu dari halaman dan buku paket sekolah—pendidikan dapat didapat dari hal yang terlihat seperti mengancam—dunia digital.  

Jika dulu Ismail Marzuki perlu menjadikan Jepang sebagai pihak kerja sama, tempat berlindung untuk menelurkan sebuah karya, begitu juga dengan para penelur karya di tanah air ini. Memasuki dunia digital tentu tantangan semakin banyak, situs-situs ramai menawarkan untuk mengunduh hasil karya secara ilegal. Namun bukankah seorang Ismail Marzuki, legenda tanah air ini pun pandai mencari tempat berlindung kepada yang mengusik karyanya?

Jika dulu Ismail Marzuki terancam dianggap pemberontak dan mencoba provokasi lewat karya oleh penjajah. Maka lewat penjajah pula, ia menjadikan mereka tempat membuai dan membesarkan karyanya. Sesuatu yang bisa kita dapat dari dunia digital. Belajar dari dunia digital. Berkarya di dunia digital. Ya masalah karya kelak akan gampang ditiru, dicomot tanpa izin adalah perkara lain. Namun menjadikan dunia digital sebagai tempat membuai dan membesarkan karya adalah hal baik.

Lantas bagaimana peran tempat berlindung di hari tua? Tempat di mana kita memutuskan untuk berlindung karena tidak lagi berkarya karena umur yang sudah menggerus pandangan dan genggaman. Tidak ada kata cukup dan pensiun buat seorang pencipta karya! Melihat tanah air ini menjadi tempat ramah untuk sebuah karya adalah tempat berlindung yang mirip dengan surga. Siapa yang tak rindu melihat hasil tangan dan buah pikirnya dipakai abadi oleh tanah air sendiri? Siapa yang tak mau namanya semasyhur Ismail Marzuki yang potongan syairnya pun saya jadikan sebuah tulisan dan karya baru?

Berkarya adalah hal menyenangkan. Untuk berkarya di tanah lahir  beta harapannya menjadi sebuah keistimewaan. Buaian dan menjadikan karya besar dan dikenang adalah sebuah impian. Jika hal itu tercapai, maka nikmat mana lagi yang bisa disangkal selain berlindung dan menutup mata di negara ini? Ismail Marzuki pun sudah membuktikan bahwa beliau bisa menutup mata dengan tenang melihat nama dan patungnya menjadi pusat seni dan budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Agata | WS
x x x x x x x.