Di sana tempat lahir beta/ Dibuai dibesarkan bunda/
Tempat berlindung di hari tua/ Tempat akhir menutup mata – “Indonesia
Pusaka” Ismail Marzuki
Indonesia tanah pusaka! Begitu kira-kira sorak Ismail Marzuki seorang
maestro musik dan pelopor seni di Indonesia untuk membakar semangat kemerdekaan
pada waktu itu. Tak banyak pahlawan yang lahir dari kalangan seni, namun Ismail
Marzuki bisa membuktikan hal tabu tersebut—menjadi pahlawan nasional lewat beragam
karya dengan kelas. Berkarya di tempat lahir memang menyenangkan. Menumbuhkan
dan membesarkan karya bersama bunda adalah sebuah keistimewaan. Memantapkan
karya dengan konsisten hingga hari tua melahirkan sebuah legenda.
Lahir di sebuah tempat bernamakan Indonesia adalah anugerah. Berkarya di
tempat lahir beta ini yang merupakan petaka. Hal sama pun dialami oleh Ismail
Marzuki pada awal kemerdekaan—dilarang berkarya, karya dihujat karena dinilai
sebagai propaganda dan menembus pasar di mana sebagian besar seniman Indonesia berasal
dari Belanda dan Jepang—amat sulit. Tempat lahir ini lebih mirip gua beruang,
di mana pada masa lahirnya pun, anak-anak Beruang harus segera semandiri
mungkin untuk bertahan hidup di alam yang (tentu) tidak ramah.
Tempat lahir beta makin lama menjadi tempat yang tidak ramah untuk
menciptakan sebuah karya. Pasca zaman Ismail Marzuki dan era reformasi hanya
membuat menelurkan karya kini lebih mudah. Hanya buai yang tak kunjung menjadi
besar. Apresiasi hanya sebatas jatuh pada ujung lidah namun kerap tak dihargai.
Musik dibajak—dapat dijumpai dalam unggah secara ilegal bahkan lapak-lapak
pusat perbelanjaan kesayangan. Film dan karya seni lain hanya dipuji secara
mulut atau kicauan dari penikmat ilegal.
Butuh berbagai cara untuk membuai dan kemudian melambungkan berbagai karya hingga
keluar tanah air beta. Butuh berbagai cara untuk tidak sekedar bertahan hidup
lewat sebuah karya. Dunia digital membuat tanah lahir beta semakin luas tak
berbatas, terutama untuk orang-orang kreatif. Pendidikan yang
rendah memang menjadi salah satu masalah yang harus diperhatikan Indonesia. Tak
heran jika banyak masyarakat di tanah air ini banyak yang tak berkarya, adapun
serabutan, seadanya. Tak mampu menembus pasar internasional. Pendidikan adalah
hal utama dalam berkarya. Tak perlu selalu dari halaman dan buku paket
sekolah—pendidikan dapat didapat dari hal yang terlihat seperti mengancam—dunia
digital.
Jika dulu Ismail Marzuki perlu menjadikan Jepang sebagai pihak kerja sama,
tempat berlindung untuk menelurkan sebuah karya, begitu juga dengan para
penelur karya di tanah air ini. Memasuki dunia digital tentu tantangan semakin
banyak, situs-situs ramai menawarkan untuk mengunduh hasil karya secara ilegal.
Namun bukankah seorang Ismail Marzuki, legenda tanah air ini pun pandai mencari
tempat berlindung kepada yang mengusik karyanya?
Jika dulu Ismail Marzuki terancam
dianggap pemberontak dan mencoba provokasi lewat karya oleh penjajah. Maka
lewat penjajah pula, ia menjadikan mereka tempat membuai dan membesarkan
karyanya. Sesuatu yang bisa kita dapat dari dunia digital. Belajar dari dunia
digital. Berkarya di dunia digital. Ya masalah karya kelak akan gampang ditiru,
dicomot tanpa izin adalah perkara lain. Namun menjadikan dunia digital sebagai
tempat membuai dan membesarkan karya adalah hal baik.
Lantas bagaimana peran tempat
berlindung di hari tua? Tempat di mana kita memutuskan untuk berlindung karena
tidak lagi berkarya karena umur yang sudah menggerus pandangan dan genggaman.
Tidak ada kata cukup dan pensiun buat seorang pencipta karya! Melihat tanah air
ini menjadi tempat ramah untuk sebuah karya adalah tempat berlindung yang mirip
dengan surga. Siapa yang tak rindu melihat hasil tangan dan buah pikirnya
dipakai abadi oleh tanah air sendiri? Siapa yang tak mau namanya semasyhur
Ismail Marzuki yang potongan syairnya pun saya jadikan sebuah tulisan dan karya
baru?
Berkarya adalah hal menyenangkan. Untuk
berkarya di tanah lahir beta harapannya
menjadi sebuah keistimewaan. Buaian dan menjadikan karya besar dan dikenang
adalah sebuah impian. Jika hal itu tercapai, maka nikmat mana lagi yang bisa
disangkal selain berlindung dan menutup mata di negara ini? Ismail Marzuki pun
sudah membuktikan bahwa beliau bisa menutup mata dengan tenang melihat nama dan
patungnya menjadi pusat seni dan budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar