Tidak sama sekali. Badoet menawarkan hal yang lebih relevan—hal yang lebih dekat untuk
kita para penikmat film Indonesia ini. Ya mungkin saya harus kaget karena
konsep dan ide badut datang dari Daniel
Topan. Saya tak pernah membayangkan ide sehebat ini, datang dari seorang
aktor yang saya nilai tak pandai berlakon. Film Badoet benar-benar tersaji dengan arahan cermat Awi Suryadi, mulai dari plot dasar
cerita yang begitu menarik, alur cerita, latar, musik dan tatanan sinematografi
dengan baik menemani penonton menikmati kengerian film ini. Mungkin menjadi
film terbaik Awi Suryadi di
sepanjang kariernya.
Berlatar rumah susun pinggiran kota
Jakarta, membuat Badoet terasa
begitu dekat dengan penikmat film horor Indonesia. Kamar rusun sempit, tempat
cuci, lapangan, karnaval, semua latar amat dieksekusi dengan baik. Saya suka
ide bagaimana untuk tidak buru-buru memunculkan sosok utama film ini, bahkan
terkadang hanya bayangan dan balon yang menandakan kehadiran si karakter utama.
Saya senang dengan bagaimana cara Awi
Suryadi membagikan kengerian ini kepada penonton lewat film ini mulai dari detail
dari tiap sudut bangunan rumah susun dan terlebih akting para pemain.
Berawal dari sebuah rumah susun dan
orang-orang yang menjalani keseharian, anak-anak bermain ke sana ke mari, serta
interaksi yang cukup akrab antara penghuni rumah satu dengan yang lain.
Keakraban itu pula yang membuat kabar seorang anak satu per satu meninggal
dengan tragis. Hal ini membuat Donald (Daniel Topan),
Farel (Christoffer Nelwan), dan Kayla
(Aurellie Moeremans), tiga
pemuda penghuni rusun tersebut terdorong untuk mengungkap misteri sosok badut
ini, dan di waktu bersamaan, mereka mulai alami teror yang tak bisa dijelaskan.
Sebuah hal menarik di kisah ini adalah tiga anak muda penghuni rusun ini tidak
mencari masalah sendiri, seperti di kebanyakan cerita film horor Indonesia
lain. Cerita menarik karena mereka memiliki alasan untuk lebih peduli dengan
tragedi ini.
Daniel
Topan pun menjadi sosok luar biasa di film ini, saya
hampir melupakan bahwa ia pernah bermain konyol di Oo Nina Bobo dan Danau Hitam.
Lakon apik Daniel Topan pun disambut
dengan Christopher Nelwan yang
menjadi sosok kumal dan cenderung tak terurus. Sebuah karakter yang belum
ditampilkan Chris Nelwan dalam
film-film sebelumnya, dan mungkin sekaligus memantapkan karier sebagai bagian
dari industri film Indonesia. Ya saya pikir tidak ada plot terlewatkan dan
tidak disia-siakan dalam film ini.
Hubungan dan koneksi antar Daniel Topan
dan Christopher Nelwan dengan akun
anonim di twitter dan anak-anak
penghuni rusun dijalin secara amat baik. Menarik bagaimana Awi Suryadi memutuskan Ratu
Felisha untuk tidak menjadi ikon seksi di Badoet. Ratu Felisha
yang berperan sebagai ibu salah satu anak dan pemilik rusun memainkan porsinya
dengan amat pas dan bagus.
Di tengah kesuraman rumah susun dan
kesuntukan melihat duet laki-laki yang tinggal dalam satu kamar, menampilkan Aurellie Moeremans benar-benar
membuat suasana menjadi lebih baik. Karakter Aurellie
Moeremans benar-benar memanjakan mata dibalik kengerian sosok badut yang kian
lama makin mengusik bangku penonton. Ketegangan
dalam film ini terus menerus dibangun perlahan menanjak seiring bergulirnya
durasi dan beriringan dengan plot yang dibangun tanpa pernah sekalipun menurun.
Kombinasi sempurna dari setiap bagian film memenuhi harapan saya dengan
keringat dingin dan kengerian.
Badoet datang dengan harapan
untuk sinema Indonesia yang sejatinya masih memiliki harapan untuk menghasilkan
tontonan seram yang mencengkam keinginan para penontonnya untuk kembali mau
duduk dan menonton tontonan bagus lainnya. Saya beruntung menjadi bagian dari
penonton film ini, pulang dengan memuaskan dan berharap film ini bisa saya
koleksi DVD-nya dan menawarkan kepada teman-teman lain dan dengan bangga
berkata, Ini film horor Indonesia. 8/10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar