Entah mengapa terlalu banyak dari kita
mengeluh soal betapa tidak adilnya hidup yang diberikan Tuhan kepada kita?
Entah mengapa keluhan ini terdengar lebih gaung ketimbang gundah para pasangan
LDR ataupun beda agama yang menjadikan lagu “Peri
Cinta” sebagai mars kisah mereka. Kondisi tidak adil dalam hidup,
menjadikan orang-orang kini berpikir dunia pasti akan lebih baik jika keadilan
ditegakkan. Sebuah dongeng di mana keadilan adalah satu-satunya jawaban untuk
membuat dunia lebih baik bahkan memiliki kecenderungan sempurna.
Mengikat sama Putus. Menggantung sama tinggi. Mereka ingin sebuah tindakan
yang sepadan untuk sebuah tindakan—setiap hak dan kewajiban—tanpa ada
perbedaan. Menimbang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang
benar, mengembalikan hak yang empunya dan jangan berlaku zalim. Kondisi ideal
seperti ini yang membuat orang berpikir, jika dunia berdampingan dengan adil
maka akan membuatnya jauh lebih baik.
Situasi ini kian lama kian berubah
ketika mereka mulai dirugikan karena sebuah perihal sepele. Satu botol untuk
setiap orang terasa adil bagi panitia untuk tiap pelari dari berbagai negara.
Namun tidak bagi pelari Rusia untuk berlomba lari di Arab Saudi. Dunia yang
benar-benar adil sangat tidak menyenangkan. Tidak ada cukup ruang untuk
berpikir dan toleransi untuk setiap akibat dari beragam sebab. Itu sebabnya
sampai kapan pun, dunia pun tidak perlu repot-repot untuk menegakkan keadilan
tanpa berimbang dengan tumbuhnya kasih sayang. Ingat bahwa kita tumbuh dan
besar di dunia ini karena keadilan yang sama untuk diizinkan hidup dan kasih
sayang dari orang tua.
Dalam urusan ini, dunia perlu menengadahkan
kepalanya dan melihat Indonesia. Sebuah negara yang tumbuh dengan getaran
perasaan ujar Soekarno. Dalam urusan kamar tidur di dunia, mereka menciptakan
bantal untuk membuat kepala merasa adil dan tidak iri kepada badan soal
kenyamanan beristirahat. Di setiap tempat tidur di Indonesia, negara ini
menciptakan bantal sebagai kalang hulu ditambah bantal kecil berbentuk bulat
panjang yang dinamakan guling untuk menyalurkan sebuah pelukan hangat untuk
sebuah kasih sayang.
Hidup tidak akan selalu adil. Kita
harus menyadari bahwa kemenangan perlombaan tidak selalu untuk yang tercepat,
dan keunggulan perjuangan bukan untuk yang kuat. Orang tercepat tidak selalu
memenangkan pertandingan, bahkan orang yang terkuat dalam pertempuran, dan orang
bijaksana tidak menutup kemungkinan untuk miskin dan malang, dan orang yang
penuh ide kreatif dan terampil tidak selalu terkenal. Namun tentu tidak pantas
untuk dikeluhkan terutama melayangkan kepada Tuhan—meragukan kebesaran akan
rencana Sang Sutradara.
Kekakuan dunia ini jika benar-benar
adil tidak serta merta membuat para penghuninya mengabaikan keadilan. Keadilan
yang dibutuhkan dunia ini adalah kondisi adil yang tidak akan pernah berpaling
dan menyimpang dari kebenaran, seperti ikat pinggang yang tetap terikat pada
pinggang namun berdampingan dengan kasih sayang yang memiliki lubang untuk
sebuah kelonggaran. Tahu kapan ikat pinggang harus dikencangkan. Tahu kapan renggangan
ikatan harus dilonggarkan.
Keadilan adalah bagaimana kita
menempatkan sesuatu sesuai dengan kondisi dan kadar dan porsinya. Dunia butuh
keadilan yang seperti itu—tidak kaku, terus dinamis dengan dasar toleransi, beriringan
dengan kasih—namun tak mengurangi esensi sebuah keadilan. Bukankah Tuhan, Sang
pencipta dunia dan pengatur kehidupan ini juga dalam Maha adil-Nya selalu
berdampingan dengan Maha kasih-Nya? Saya hanya takut jika para pengeluh di atas
mengaung menuntut keadilan di dunia dan melupakan Tuhan yang penuh dengan kasih
sayang, seberapa banyak dari mereka yang melakukan kesalahan lantas segera
dihukum oleh Tuhan lewat jatuhan bantal guling raksasa dari langit, misalnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar