Dan sejarah akan menulis, di sana, di antara benua Asia dan Australia, antara Lautan Teduh dan Lautan Indonesia, adalah hidup sesuatu bangsa yang mula-mula mencoba untuk hidup kembali sebagai bangsa. ( Sukarno. “ Tahun Vivere Pericoloso “ 17 Agustus 1964 )
Saya salah satu di antara
orang beruntung hidup di Indonesia. Hidup berasal dari kalangan ekonomi
menengah. Berkeluarga lengkap dan sehat pula—tidak ada dalam keadaan sakit. Bekerja
dengan kucuran uang cukup pula—cukup untuk membuat dapur berasap. Kami berempat
di rumah pun terdidik. Tidak ada pernah setetes kekurangan jatuh kepada saya
sampai saat ini.
Hari ini hari pendidikan,
tak cukup banyak orang beruntung di Indonesia. Tapi lebih tak beruntung bila
tak terdidik. Tak sampai benua Asia dan Australia, Indonesia tak pantas
dikatakan bangsa bila tanpa pendidikan. Kasihan semangat Sukarno jika melihat
kondisi Indonesia hari ini. Masih cukup banyak tempat-tempat di sudut
Indonesia, masih tak tersentuh pendidikan.
Terutama anak-anak di daerah pedalaman dan perbatasan Indonesia. Adapun sekolah, namun serba terbatas. Terbatas akan bangunan sekolah maupun sumber daya manusia. Tidak meratanya pendidikan juga merupakan salah satu masalah besar pendidikan di Indonesia. Miris ketika melihat bangunan sekolah di kota-kota besar berdiri megah ditambah dengan berbagai ekstrakurikuler yang menunjang pendidikan anak, sedangkan ada beberapa sekolah di Indonesia yang hanya beratapkan jerami dan beralaskan tanah tanpa keramik. Atap bocor ketika hujan turun atau bangunan sekolah roboh diterpa angin kencang.
Tidak ada guru yang cukup untuk mengajarkan mereka bahasa asing ataupun guru yang mampu mengembangkan minat dan bakat mereka di bidang seni. Ada pun dengan semua itu dorongan dari orangtua pun tak cukup. Masih banyak orangtua melahirkan anak-anak mereka sebagai tambahan pegawai rumah. Untuk membantu mereka bekerja demi mengepulkan asap dapur. Cukup banyak orangtua tidak sadar bahwa pendidikan bagi anak-anak mereka itu penting. Jauh lebih penting menangkap ikan untuk lauk hari ini.
Terutama anak-anak di daerah pedalaman dan perbatasan Indonesia. Adapun sekolah, namun serba terbatas. Terbatas akan bangunan sekolah maupun sumber daya manusia. Tidak meratanya pendidikan juga merupakan salah satu masalah besar pendidikan di Indonesia. Miris ketika melihat bangunan sekolah di kota-kota besar berdiri megah ditambah dengan berbagai ekstrakurikuler yang menunjang pendidikan anak, sedangkan ada beberapa sekolah di Indonesia yang hanya beratapkan jerami dan beralaskan tanah tanpa keramik. Atap bocor ketika hujan turun atau bangunan sekolah roboh diterpa angin kencang.
Tidak ada guru yang cukup untuk mengajarkan mereka bahasa asing ataupun guru yang mampu mengembangkan minat dan bakat mereka di bidang seni. Ada pun dengan semua itu dorongan dari orangtua pun tak cukup. Masih banyak orangtua melahirkan anak-anak mereka sebagai tambahan pegawai rumah. Untuk membantu mereka bekerja demi mengepulkan asap dapur. Cukup banyak orangtua tidak sadar bahwa pendidikan bagi anak-anak mereka itu penting. Jauh lebih penting menangkap ikan untuk lauk hari ini.
2 Mei ini bukan
memperingati guru, tak pula ingin berbicara soal murid. Hari ini kita berbicara
tentang pendidikan—masalah terdidik atau tidak terdidik. Berkeluarga lengkap
dan sehat pun tak cukup beruntung bila tak terdidik. Karena andai saat tidak
lagi sehat, kita hanya akan diam atau lari ke dukun jika sakit. Ada masalah di
pendidikan kali ini. Mendidik cuma sebatas menjadi pekerjaan oleh para guru.
Tanpa visi. Tanpa ingin mencoba hidup sebagai bangsa.
Mendidik adalah tanggung
jawab orang terdidik. Dengan tegas Anies Baswedan mengumandangkan kalimat
tersebut. Sebuah solusi realistis karena 1000 mahasiswa lulus pada tiap kali
wisuda satu universitas, tapi mereka hanya mengejar isi dompet. Tapi lupa
dengan tanggung jawab moral sebagai orang terdidik!
Ini harus jadi gerakan
semesta. Para wisudawan harus ditanamkan nilai ini. Apapun bidang studi mereka,
karena mengajar tak cuma harus berdiri di depan papan tulis. Memberi inspirasi
dengan bidang masing-masing pun sudah mengajar. Tugas orang beruntung memang
bertambah. Orang beruntung harus memikirkan masa depan. Memikirkan pendidikan
buat generasi di bawah untuk membuat negeri ini berisi orang-orang beruntung.
Beruntung karena sehat. Beruntung karena ekonomi dimapankan terlebih beruntung
karena terdidik.
Demi Indonesia di antara
Asia Australia dan di antara lautan
teduh dan lautan Indonesia—Indonesia harus bisa membuktikan diri sebagai sebuah
bangsa. Selamat hari pendidikan.
Kak Robin, terima kasih karena sudah mengingatkan kembali bahwa pendidikan itu tak cuma sekedar tugas guru namun tugas bagi kita semua yang terdidik. Dimana yang aku lihat khususnya orang tua terkadang sibuk dan melimpahkan tugas mendidik hanya pada guru disekolah dan guru private. Itu orang yang beruntung bisa mendapatkan pendidikan karena mampu. Seperti yang dituliskan, untuk yang tidak beruntung bagaimana? kita punya tugas tambahan untuk membantu mendidik, memberikan ilmu yang kita punya untuk mereka. semoga kita semua orang yang telah terdidik ingat dan mengambil peran untuk memberikan ilmu kepada semua lewat cara kita masing-masing.
BalasHapusTerimakasih juga Tere. Jadi bekal untuk kita sebagai orang tua kedepan juga untuk tidak terlalu sibuk dan malah membenani pihak-pihak dalam dunia pendudukan. Semoga beruntung Tere :)
Hapus